Banyak LGBT Tertekan, Ingin Punya Keturunan tapi Tak Kesampaian

Banyak LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, dan Transgender) hidup tertekan.

Editor: fitriadi
www.suarakita.org
ilustrasi 

BANGKAPOS.COM, SEMARANG - Banyak LGBT (Lesbi, Gay, Biseksual, dan Transgender) hidup tertekan. Sebagian dari mereka ingin kembali hidup normal dan memiliki keturunan namun belum menemukan cara untuk mewujudkannya.

Sinta, sebut saja demikian, bahkan berniat bunuh diri ketika orang lain mengetahui orientasi seksualnya dan mendapatkan cemoohan.

“Dulu saya sempat ingin bunuh diri juga. Akhirnya saya terima apa adanya sampai sekarang dan hidup bersama pasangan saya," ungkap cewek berwajah cantik ini kepada Tribun Jateng di Semarang, pekan lalu.

Sinta pernah mengalami pengalaman pahit. Teman-teman satu kosnya mencemooh dirinya sebagai orang tidak normal, sehingga dia berulang kali pindah tempat kos.

"Mungkin sudah lebih dari delapan kali pindah kos. Tapi yang sekarang sudah nyaman kok tempatnya. Penghuni kos lainnya cuek, sepertinya tahu kalau saya lesbi dan tidak pernah ngata-ngatain yang aneh-aneh," kata wanita berusia sekitar 29 tahun itu.

Sinta menyadari orientasi seksualnya ketika ia masih kuliah di satu universitas swasta di Kota Semarang. "Waktu itu saya selalu membayangkan berhubungan dengan teman cewek. Saya berpikir, kok saya selalu membayangkan cewek daripada cowok," herannya. Ia menegaskan tiga saudara perempuannya semua normal.

Ia kemudian memastikan orientasi seksualnya kala bertemu seorang lesbi. Mereka kemudian berteman hingga akhirnya menjalin hubungan. "Pasangan saya itu yang membantu saya untuk menenangkan diri," bebernya.

Dalam pekerjaan sehari-hari sebagai seorang sales promotion girl (SPG) di sebuah mal di Semarang, Sinta mengaku tidak mengalami kendala apapun. Teman kerjanya tidak ada yang tahu bahwa dirinya lesbi. Ia sering mengajak pasangan wanitanya ikut acara kantor. Hanya saja, ia memperkenalkan pasangannya itu sebagai sahabat.

Berparas rupawan membuat Sinta ditaksir banyak pria. "Pernah ada cowok yang mendekati saya. ‎Dia kaya dan ganteng. Tapi saya tetap tidak tertarik. Makanya saya tolak," ucapnya.

Sakit hati dibilang banci

Adit (25), sebut saja demikian, seorang gay asal Kota Semarang juga tertekan menghadapi situasinya saat ini. Sejumlah teman yang akhirnya mengetahui orientasi seksualnya, kerap mengejek dirinya dengan sebutan homo atau banci.

"Rasanya sakit kalau dibilang banci. Kalau dibilang homo, tidak terlalu. Pas awal tahu begini, dan diejek teman, rasanya tertekan. Seperti langit mau runtuh," katanya, kemarin.

Kepada Tribun Jateng, ia menegaskan ingin sembuh dan hidup normal. Ia bahkan menargetkan akan menikah dengan seorang perempuan ketika berusia 30 tahun‎. “Saya ingin mendapatkan keturunan,” tandas seorang staf di perguruan tinggi di Semarang.

Adit menuturkan, dirinya menjadi gay karena faktor lingkungan. Anak keempat dari lima bersaudara ini mengatakan, saat kecil ia sering didandani seperti cewek oleh kakak-kakak perempuannya. Ia memakai jarik dan dihiasi bunga di telinga. Bahkan, ia sering dibelikan boneka barbie oleh sang kakak.

"Saya sering melihat kakak-kakak diapeli cowok. Saya tertarik dan iri melihatnya. Timbul perasaan juga kalau saya ingin diapeli cowok. Mungkin dari situ kemudian saya tertarik pada cowok," jelasnya.

Adit menyadari ketertarikan pada laki-laki semasa duduk di bangku kelas 2 SMA sekitar tahun 2006. Ia kemudian berpacaran dengan seorang gay. Perilaku Adit akhirnya terbongkar dan diketahui keluarga pada 2008.

"Saat itu, kakak ipar membuka komputer saya. Dia menemukan foto-foto mesra saya dengan pacar (laki-laki). Padahal folder itu sudah saya kunci tapi kakak ipar masih bisa membobolnya. Akhirnya foto itu dicetak dan ditunjukan ke keluarga. Itu kali pertama keluarga mengetahui kalau saya gay," ceritanya.

Orangtua Adit langsung marah. Mereka mendiamkan Adit selama tiga bulan. Hingga kini orangtua Adit enggan membahas atau berbicara langsung dengan Adit terkait orientasi seksualnya.

Orang pertama kali mengetahui dan diajak berbicara terkait dirinya seorang gay adalah adik bungsunya. Sang adik itu pula yang menjadi mata-mata di keluarga ketika ada pembahasan mengenai dirinya.

"Pernah dilapori kalau keluarga kumpul dan akan membawa saya ke psikiater. Saya akan dibawa berobat. Tapi orangtua tidak pernah berbicara atau menegur langsung ‎ke saya. Mungkin karena khawatir kalau saya pergi dari rumah. Saya itu orangnya ngambekan, jadi kalau ada yang bikin saya marah atau jengkel, saya pergi dari rumah," ucapnya

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved