Kisah Kelam Prostitusi Pakai Korek Api di Yogyakarta Era 1980-an Itu Kini Melenggang ke Perancis

Jarwo mengambil kesempatan tersebut, dengan sebatang korek api yang ia nyalakan di bawah meja untuk melihat “barang” Diah

Editor: Iwan Satriawan
TWITTER
ILUSTRASI 

“Mengapa ada perempuan yang mau memperlihatkan alat kelaminnya untuk dilihat banyak sekali orang dengan harga Rp 1.000 (melalui korek api),” ujar Wregas, saat ditemui Tribun Baliusai pemutaran film di Ubud Writers and Readers Festival 2016.

Fenomena tersebut memang sudah tidak tampak lagi saat ini.

Namun Wregas Bhanuteja (24), sineas muda asal Kota Gudeg ini kembali mengemasnya dalam film pendek bertajuk “Prenjak”.

Prenjak adalah nama dari satu jenis burung.

Lalu apa kemudian yang menjadi korelasi antara burung dan isi film tersebut?

“Prenjak ini jenis burung yang hanya mau berkicau ketika ada pasangannya. Kalau sendiri dia diam. Seperti Diah yang ditinggalkan pasangannya, dia harus bekerja keras dan ekstra. Kalau pasangannya tidak meninggalkannya, mungkian Diah tidak perlu menderita seperti itu, bisa berkicau bersama,” tutur Wregas.

Ini juga salah satu yang mengantarkan Wregas menjadi pemenang Festival Film Cannes 2016 dengan kategori film pendek di Festival Film Cannes 2016, di Perancis.

Adegan demi adegan dibuat nyata. Baik itu scene yang menunjukkan alat kelamin sekalipun, walau bukan milik pemeran di film tersebut.

Wregas bekerja sama dengan model untuk mendapat gambar tersebut.

Karena menurutnya film adalah refleksi kehidupan nyata, bukan imitasi, itu yang ingin ia sampaikan kepada penontonnya.

Bukan berarti tidak ada kekhawatiran akan dianggap vulgar atau porno, karena memang film ini bukan ditujukan untuk itu.

Namun lebih sensitif pada keterkaitan antara feminisme, budaya dan situasi ekonomi yang dialami perempuan.

“Kalau yang saya kahawatirkan justru bukan pemerintah. Tapi ketika film ini semakin kuat diberitakan, justru malah ormas-ormas yang ribut. Mengira film ini porno karena memperlihatkan alat kelamin,” ujarnya.

Ia mengakui film ini bukan yang bisa dinikmati penonton Indonesia dengan budaya ketimurannya yang kental, justru cenderung Eropa sebagai pasar filmnya.

Sehingga ia tidak memaksakan filmnya harus ditonton di sini.

“Saya tidak memaksakan orang untuk menonton film saya. Ini memang lebih cocok untuk pasar Eropa dibanding Indonesia. Suka atau tidak itu tergantung selera yang menonton,” tutur Wregas. (*)

Sumber: Tribun Bali
Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved