Militer Australia Hina Pancasila, Tahukan Anda Begini Sejarah Lahirnya Pancasila
Kapan tepatnya diciptakan? Siapa penciptanya? Kenapa yang dipilih justru lambang ini, bukan yang lain? Inilah sejarah lahirnya Garuda Pancasila
Rancangan lain yang terlihat dalam koleksi ini menokohkan figur Garuda dan sudah agak mirip-mirip dengan lambang negara kita.
Di dalam lingkaran sebelah atas tertulis dengan huruf latin Republik Indonesia Serikat, Burung Garuda berdiri atas sebuah bantalan bunga teratai (padma).
Kepala Garuda ini digambarkan menurut contoh-contoh klasik dari candi atau pahatan lain, yakni kepala burung dengan rambut ikal.
Tangan Garuda memegang perisai yang terbagi menjadi empat bidang. Di tengah perisai ada garis melintang yang menggambarkan khatulistiwa.
Pada perisai terlihat gambar Banteng (lambang kekuatan, keberanian, keuletan), yang kedua (menurut arah jarum jam) pohon beringin (kekuatan hidup), tiga batang padi lambang kemakmuran dan akhirnya keris, lambang keadilan.
Rancangan yang mirip dengan gambar di halaman 6 kiri atas juga berbentuk bundar dengan Garuda di atas bantalan teratai.
Hanya perisai itu tak tampak jelas bahwa dipegang oleh Garuda, sebab hanya kelihatan jari kedua: tangannya sedikit menyembul di atas perisai. Garuda memakai mahkota, kalung dan anting-anting, sayapnya mengarah ke bawah.
Di tengah perisai terbagi empat atau masih ada tambahan suatu perisai kecil bergambar banteng.
Gambar di dalam perisai ialah batang padi, pohon beringin, batang padi, dan keris. Tulisan dengan huruf Arab-Melayu berbunyi “Republik Indonesia Serikat”.
Dibawah Pohon Sukun
Lima butir Pancasila yang kita kenal sekarang ini ternyata lahir di bawah pohon sukun. Pohon sukun itu terletak sekitar 700 meter dari kediaman Soekarno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, ketika diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1934.
Pada 14 Januari 1934, Bung Karno bersama sang istri, Inggit Garnasih serta ibu mertua, Ibu Amsi, dan anak angkatnya, Ratna Djuami, tiba di rumah tahanan yang terletak di Kampung Ambugaga, Ende. Kehidupan Soekarno dan keluarga di Ende serba sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk politik seperti di kota besar.
Dibuangnya Soekarno ke daerah terpencil dengan penduduk berpendidikan rendah memang sengaja dilakukan Belanda untuk memutus hubungan Soekarno dengan para loyalisnya. Dikutip dari buku Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara, Soekarno jadi lebih banyak berpikir daripada sebelumnya. Ia mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam hingga belajar soal pluralisme dengan bergaul bersama pastor-pastor di Ende.
Tak banyak yang bisa dilakukan Bung Karno di tempat pengasingan yang begitu jauh dari Ibu Kota itu. Sehari-hari, Soekarno memilih berkebun dan membaca. Untuk membunuh kebosanannya dengan aktivitas yang monoton itu, jiwa seni Bung Karno kembali tumbuh. Ia mulai melukis hingga menulis naskah drama pementasan.
Di sela kegiatan seninya, Soekarno berkirim surat dengan tokoh Islam di Bandung bernama T. A. Hassan dan berdiskusi cukup sering dengan pastor Pater Huijtink. Dari sinilah Soekarno menjadi lebih relijius dan memaknai keberagaman secara lebih dalam.