Kisah Menegangkan Dua Pilot Pembelot Kuba dan Korea Utara, Bertaruh Nyawa Bawa Lari Pesawat Tempur

Kisah seorang personel militer yang berkhianat terhadap negaranya memang selalu menarik untuk disimak

Editor: Iwan Satriawan
20thcenturyaviationmagazine.com
Mayor Orestes Lorenzo Perez, pilot AU Kuba 

BANGKAPOS.COM--Kisah seorang personel militer yang berkhianat terhadap negaranya memang selalu menarik untuk disimak.

Salah satunya kisah anggota militer Kuba yang berkhianat ke Amerika Serikat, musuh dari Kuba dan pilot pembelot Korea Utara berikut ini.

------

Waktu itu September 1953, perang sudara di Korea sudah berakhir hampir dua bulan sebelumnya. Ini adalah masa gencatan senjata yang telah disepakati kedua belah pihak.

Hari itu, No Kum-Sok memutuskan tidak mau berperang untuk Korea Utara lagi. Ia memutuskan membelot. Dengan membawa MiG-15, ia kabur menuju Zona Demiliterisasi (DMZ). Di zona ini, tidak diperkenankan adanya aktivitas militer.

Dengan kecepatan 600 mil per jam, Kum-Son hanya membutuhkan waktu 17 menit untuk menyeberangi perbatasan yang dijaga ketat di Kimpo Air Base. Baik North Korean Fighters ataupun South Korean Forces gagal mengejarnya.

Perjalanannya semakin aman lantaran radar besar Amerika Serikat sedang tidak dioperasikan.

Meski demikian, karena tidak familiar dengan kondisi Kimpo, ia masuk dari sisi yang salah sehingga mendarat di sisi yang salah pula. Pesawatnya hampir menabrak F-86 Sabre milik Amerika Serikat.

Kapten Dave William, pilot Amerika yang mengemudi F-86 Sabre, langsung membanting pesawatnya dengan kekuatan penuh. Melalui radio ia mengumpat, “MiG sialan!”

Tak gentar, Kum-Sok tetap memutuskan mendaratkan dan memarkirkan pesawatnya di antara dua pesawat tempur F-86. Turun dari pesawatnya, ia merobek gambar Kim Il Sung, pemimpin Korea Utara.

Ngomong-ngomong, pendaratannya dari sisi yang salah ternyata menguntungkannya. Ada anggapan, jika ia masuk dari sisi yang benar, bisa jadi ia ditembak oleh pesawat Amerika Serikat.

Aksi pembelotan ini ternyata mendapat apresiasi besar dari lawan-lawan Korea Utara. Ia dianugerahi uang 100 ribu dolar AS dengan menjadi orang Korea Utara pertama yang membelot menggunakan pesawat tempur negaranya.

Tapi Kum-Sok mengaku tidak pernah mendengar soal hadiah itu.

Setelah itu, Kum-Sok pergi ke AMerika Serikat. Di sana ia bertemu dengan ibunya yang melarikan diri terlebih dahulu selama masa perang. Di Negeri Paman Sam itu pula Kum-Sok memutuskan untuk menetap bersama istri, dua putra, dan seorang putri.

 Mayor Orestes Lorenzo Perez, pilot AU Kuba yang membelot ke Amerika Serikat

Pembelotan Perez terjadi pada 20 Maret 1991 ketika sebuah pesawat jet MiG-23BN milik AU Kuba yang diterbangkan Perez muncul di wilayah pangkan udara AL Key West, Florida.

Seperti dikutip harian The New York Times, Perez membelot saat dia tengah dalam sebuah misi latihan bersama AU Kuba saat itu.

Setelah menyerahkan diri kepada aparat militer AS, singkat cerita Mayor Perez mendapatkan suaka politik dari pemerintah AS.

Sayangnya, istrinya Maria Victoria dan kedua anaknya Reyniel dan Alejandro, saat itu masih berusia 11 dan enam tahun, dicegah pemerintah Kuba menyusul Perez ke AS.

Dalam perjuangan mendapatkan kembali keluarganya, Perez mendapatkan bantuan dari Yayasan Valladares, sebuah organisasi yang berbasis di Virginia yang fokus menekan pemerintah Kuba dalam isu-isu HAM.

Dengan bantuan yayasan ini, Perez melakukan banyak hal untuk menekan pemerintah Kuba, memberi kesaksian di komisi HAM PBB, hingga menggelar aksi mogok makan di Spanyol.

Semua dia lakukan agar pemerintahan Fidel Castro mengizinkan istri dan kedua anaknya meninggalkan Kuba dan berkumpul bersama dia.

Bahkan aksi Mayor Perez ini menarik perhatian Presiden George Bush yang bahkan mendesak Presiden Fidel Castro untuk mengizinkan keluarga sang pilot beremigrasi ke Amerika.

Sayangnya semua upaya itu gagal meluluhkan hati pemerintah Kuba. Alhasil, Perez kemudian berencana menjemput keluarganya meski risikonya sangat besar.

Dia sempat berpikir untuk menggunakan helikopter yang akan didaratkannya di dekat kediaman istrinya di Havana. Namun, akhirnya rencana itu dibatalkan karena ongkosnya terlalu mahal.

Masalah yang dihadapi Perez ini kemudian sampai ke telinga Elena Diaz-Versin Amos, seorang janda kaya kelahiran Kuba.

Mendengar kisah Perez itu, dia kemudian menyumbangkan uang tunai 30.000 dolar AS atau sekarang setara dengan Rp400 juta ke Yayasan Valladares.

Uang itu kemudian digunakan untuk membeli pesawat Cessna bermesin ganda produksi 1961 yang akan digunakan Perez menjemput anak dan istrinya.

Direktur eksekutif Yayasan Valladares Kristina Arriaga mengatakan, meski berpengalaman menjadi pilot pesawat jet, Perez tetap harus berlatih menggunakan pesawat sipil itu.

Dia melakukan uji terbang di Georgia, sebelum terbang bersama seorang kopilot ke Marathon Key, 160 kilometer sebelah barat daya Miami.

Sebelum terbang, Perez seorang pembawa pesan dari Meksiko ke Kuba. Dia membawa surat untuk sang istri agar dia menyewa sebuah mobil dan membawa kedua putra mereka ke sebuah lokasi.

Lokasi penjemputan yang dipilih adalah sebuah jembatan terkenal di dekat ruas jalan pesisir timur Kuba di provinsi Matanzas.

Misi 100 menit

Setelah mendarat di Marathon Key, pada 19 Desember 1992, sang kopilot tinggal di kepulauan tersebut dan Perez terbang sendiri ke arah selatan menuju Kuba.

Demi menghindari deteksi radar militer Kuba, Perez mematikan semua peralatan elektronik termasuk radio.

Dia juga terbang sangat rendah, hanya sekitar tiga meter dari permukaan laut, ketika sudah memasuki wilayah udara Kuba.

Sekitar pukul 17.43, Perez akhirnya sukses mendarat di jalan raya yang menghubungkan Matanzas ke Varadero.

Mendaratnya sebuah Cessna di jalanan itu tentu mengejutkan, bahkan seorang pengemudi truk nyaris menabrak pesawat kecil itu.

Dengan secepat mungkin, Perez menyuruh istri dan kedua anaknya naik ke dalam pesawat berkursi empat itu.

Saat itu, kedua putranya ingin memeluk Perez, tetapi karena waktu yang singkat sang pilot pembelot harus segera mengudara sebelum terdeteksi aparat keamanan Kuba.

Perez mengenang, setelah pesawat Cessna itu mengudara barulah istri dan kedua putranya merasa lega dan mereka menangis bahagia.

Perez terbang mengikuti rute yang sama dan mendarat kembali di Marathon Key. Misi nekat Perez itu sukses besar dan hanya membutuhkan waktu sekitar 100 menit.

Tak lama setelah pendaratan itu, Perez dan keluarganya bertemu dengan petugas FBI serta departemen imigrasi dan naturalisasi di Miami.

Setelah dilakukan verifikasi ketat, pemerintah AS akhirnya yakin bahwa ketiga orang yang dibawa Perez dari Kuba memang adalah anak dan istrinya.

Kini Perez dan keluarganya menetap di kota Springfield, Virginia. Dia bekerja menjadi pilot di sebuah maskapai penerbangan swasta, sementara istrinya meneruskan profesi sebagai dokter gigi.(*)

Sumber: Intisari
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved