Opini

Ungkapan Kepunan Wujud Kearifan Lokal dan Solidaritas

Inilah sebuah kearifan lokal yang menjadi bagian dari pedoman bagi sebagian masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.

Editor: fitriadi
zoom-inlihat foto Ungkapan Kepunan Wujud Kearifan Lokal dan Solidaritas
Bangkapos.com/Dok
Emil Mahmud

Oleh Emil Mahmud - Wartawan Bangka Pos

SUASANA pagi di sebuah warung kopi (warkop) di sudut Kota Pangkalpinang sedikit berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya.

Kali ini, pengunjung warkop yang menduduki setiap kursi tampak mengobrol hingga berbincang serius.

Biasanya ada perdebatan kecil yang mereka bahas. Masing-masing mereka membahas permasalahan yang tidak sama.

Namun, pagi itu suasana dalam ruangan warkop seakan pecah dan mendadak gaduh. Pasalnya, ulah dari salah seorang pengunjung yang tanpa sengaja menjungkirbalikkan cangkir kopi rekannya.

Alhasil, kejadian itu mengundang perhatian pengunjung warkop yang merupakan para penikmat kopi di sana. Tidak jelas, apakah topik yang mereka bahas kali ini. Hanya saja, yang telontar ada ungkapan bernada tinggi; awas, 'kepunan'!

"Kepunan" yang secara definisi katanya berasal dari bahasa daerah Bangka, adalah seruan dari kata peringatan keras. Yakni imbauan agar jangan coba-coba melawan pantangan apabila menolak sesuatu yang telah ditawari orang lain kepada kita. Sebab, mitosnya bakal mengalami kejadian terburuk celaka apabila akan menempuh perjalanan.

Sekaitan adanya melontarkan ungkapan itu, sehingga membuat sejumlah orang yang mendengar ungkapan di warkop itu pun terhenyak.

Sesaat itu juga, seorang yang semula terburu-buru hendak berlalu lantas berbalik hanya untuk meraih cangkir kopi temannya.

Selanjutnya, dia menempelkan di bibirnya, meski cukup secicip saja sebelum betul-betul berlalu meninggalkan warkop tersebut.

Setelah ditilik awal mulanya, ternyata ada seseorang yang hendak menghampiri warkop lalu seketika berlalu.

Orang dimaksud tampak ingin lekas meninggalkan warkop, sebelum dirinya sempat menyicip seduhan kopi dan makanan di sana. Entah ada urusan apa yang memanggilnya untuk segera berlalu dari warkop pagi itu.

Padahal yang bersangkutan sempat ditawari agar menyempatkan sejenak untuk menyeruput kopi bersama-sama. Namun, dia mencoba untuk mengabaikan bahkan menolak tawaran untuk ngopi saat itu.

Ilustrasi di atas, sejauh ini telah menjadi mitos bagi sebagian masyarakat Bangka Belitung. Bahwasanya, apabila ada yang menolak tawaran untuk mencicip kopi maupun makanan serta yang menawarkan menimpali, Awas Kepunan, maka bakal ditimpa celaka.

Lantas, apakah pelajaran berharga yang bisa dipetik dari situ? Satu sisi penting di situ adalah perlunya satu sikap santun untuk mau menghargai orang lain.

Artinya, tidak menganggap remeh setiap kerelaan orang lain terhadap kita memberikan sesuatu.

Meskipun, tawaran itu datang saat kondisi sedang tidak/belum membutuhkan pemberian orang lain.

Inilah sebuah kearifan lokal yang menjadi bagian dari pedoman bagi sebagian masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung.

Konteks kearifan lokal tersebut juga sekaitan dengan kultur yang berlatar khas Melayu dan Tionghoa, serta etnis/suku yang datang dari luar Babel.

Terkait ancaman radikalisme, terorisme serta penyakit ideologi yang menghinggapi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di Kepulauan Babel relatif kurang populis bagi masyarakatnya.

Selama ini pula bagi masyarakat Babel menjadi sulit untuk menerima paham yang bertentangan dengan falsafah hidup serta pedoman hidup bernegara itu.

Prinsip bagi masyarakat setempat masih memilih sikap untuk "Dak kawah nyusah" atau tidak mau susah/repot jika dihadapkan dengan urusan remeh temeh.

Lagi pula, untuk paham-paham yang bertentangan dengan semangat empat pilar yaitu; Pancasila dan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.

Pada kondisional itu, wujud kearifan lokal, yang bersumber dari tradisi masyarakat yang turun temurun menjadi rujukan dalam mempedomani falsafah hidup bernegara.

Sebaliknya, masyarakat Bangka dan Belitung cenderung untuk lebih menerima paham yang memuat nilai-nilai solidaritas.

Terbukti, acara "Nganggung" berupa ritual maupun seremoni bersifat massal, tetapi penyelenggaraannya ditanggulangi bersama-sama. Di antaranya, konsumsi disiapkan masing-masing kepala keluarga lalu disantap bersama-sama dengan saling mencicipi satu sama lainnya sajian yang diantar ke tempat acaranya.

Karenanya, ancaman gerakan radikalisme, ancaman aksi terorisme serta segenap upaya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan NKRI di daerah lainnya akhirnya sulit tumbuh di Babel.

Kekuatan solidaritas masyarakat serta kearifan lokal lainnya, yakni semboyan; Tonghin Fangin Jitjong (Melayu dan Tionghoa adalah sama).

Alhasil, perbedaan suku, agama, rasa, agama dan antar golongan (SARA) bukan sebuah hal yang sensitif di daerah kepulauan ini.

Akulturasi paling harmonis antara etnis mayoritas terbesar di Kepulauan Babel telah terbukti di provinsi berjulukan "Negeri Serumpun Sebalai".

Kini Provinsi Kepulauan Babel melekat ikon; Negeri Laskar Pelangi.

Sebagaimana pemandangan dari fenomena alam bernama; Pelangi, yang terdiri dari warnanya berbeda, tetapi indah dipandang mata. (*)

Sumber: bangkapos
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved