Berita WIKI

Kisah si Hantu Timah, di Lokasi Ini Cadangan Mineral Melimpah, Begini Analisa Ilmiahnya  

Ismail (35), mengeluh. Cadangan pasir timah yang dulu memlipah di dusunnya, kini tinggal kenangan. Ia pun terpaksa menambang di kampung seberang...

(bangkapos.com/ferylaskari)
Tampak pekerja tambang beroperasi di lubang camui tambang pasir timah inkonvensional (TI) di Kabupaten Bangka. 

Jadi yang terbentuk bukan batu granit, tetapi batu basalt dan breksi. Kemudian setelah Masa Mesozoikum terjadi lagi proses magmatisme yang membentuk Batu Granite Tanjungpandan, disusul oleh Ademelit Baginda yang tidak terjadi endapan timah sekunder. Baru pada zaman Kapur terbentuklah Garnodiorit Burungmandi dan diorite Kuarsa Batubesi yang mengandung banyak hematite/batubesi dan timah primer. Sejak akhir Kapur  sampai  Kuarter  berlangsung proses  denudasi  dan  erosi  serta menghasilkan  endapan  pasir karbonatan  dan  endapan  alluvium (Baharuddin dan Sidarto, 1995).

Sejak zaman ini terjadi erosi dan denudasi yang menghasilkan endapan pasir karbonatan dan endapan alluvium. Endapan inilah yang mengakibatkan didaerah Belitung lebih  banyak tedapat kaolin, batubesi, pasir kuarsa dibandingkan timah sekunder.

Deposit timah primer di Pulau Belitung banyak ditemukan di Kelapa Kampit, Tikus, Selumar, Burungmandi, Batubesi, Selumar, dll. Kebanyakan dari daerah ini cebakan timah primer berada dalam batuan yang keras. Jadi dari sejarah geologi inilah kita tahu bahwa Pulau Bangka dan Pulau Belitung itu berbeda penyebaran cebakan timahnya. Kalau Pulau Bangka, cebakan sekundernya di sungai-sungai purba, lebih ekonomis dan berlimpah dibandingkan di cebakan primer (tubuh batuan granite). Sedangkan Pulau Belitung cebakan primernya lebih ekonomis dan jumlahnya lebih banyak daripada cebakan sekunder.

Hal ini disebabkan adanya perbedaan  keadaan  paleogeografis kedua  pulau  pada  Zaman Tersier dan Kuarter. Dari sinilah semuanya menjadi modal dalam proses penambangan dengan menggunakan metoda yang benar, tidak asal tambang dan merusak lingkungan terutama khusus untuk penambangan di cebakan sekunder/bukan ditubuh batu granitnya. Menjadi jawaban untuk masyarakat bahwa timah itu bukan berhantu tetapi karena banyaknya sungai-sungai purba yang menyebabkan transportasi dan perpindahan timah sangat cepat. Karena itu kalau mau menambang di cebakan sekunder pikirkan keekonomisan, kelimpahan, pencemaran airnya dan kecelakaan yang mengakibatkan kematian karena longsor dan pergerakan tanah. (SUMBER BACAAN PROSIDING PIT 37 IKATAN AHLI GEOLOGI INNDONESIA, 2008).

Pada  zaman  Kuarter,  terdapat perbedaan  mencolok  pada  kondisi geografis  antara  Pulau  Bangka  dan Belitung. Perbedaan  ini  sangat berpengaruh  dalam  intensitas pelapukan, erosi, dan transportasi. Pada  Zaman  Kuarter  Pulau  Bangka diduga  tersusun  dari  sejumlah  daratan kecil yang  terpisah  satu  sama  lain dan dihubungkan  oleh  perairan  (SutedjoSujitno,  Personal  Communication,2008).

Hal  ini disimpulkan berdasarkan pola penyebaran rawa-rawa pada masa sekarang, interpolasi  dari  letak  sungai-sungai utama  sekarang dan penelitian mengenai  batas  pantai  tua  Pulau Sumatera  pada  Zaman  Kuarter.  Pada zaman  Kuarter  lebar  Pulau  Sumatera tidak seperti sekarang, melainkan  lebih sempit. 

Berdasarkan  bukti-bukti  dan penelitian  yang  telah  dilakukan,  pada masa  Kerajaan  Sriwijaya,  Kota Palembang terletak di pinggir pantai.  Pada masa  sekarang  kita  bisa melihat Kota  Palembang  berada  sekian kilometer  dari  pantai  barat  Pulau Sumatera.  Dapat  diperkirakan  adanya peristiwa penurunan muka air laut yang sangat  besar  dan  transport  sedimen yang  sangat  intensif. 

Jika  Sumatera saja  mengalami  hal  seperti  ini  pada masa  itu,  bagaimana  jika  kita bandingkan  dengan  Pulau  Bangka yang  jauh  lebih  kecil?  Besar kemungkinan  pada  masa  itu  Pulau Bangka  hanyalah  kumpulan  daratan-daratan  kecil  yang  menjulang  tinggi menyerupai  pegunungan  karena berlitologikan granit.

Kemudian laut-laut kecil  yang  menghubungkan  daratan-daratan ini menerima transport sedimen yang  berasal  dari  pelapukan  dan  erosi dari daratan-daratan  tersebut. Sebegitu intensifnya  pelapukan,  erosi,  dan transportasi  yang  terjadi  sampai-sampai  granit  berbutir  kasar  yang harusnya  berada  jauh  di  bawah permukaan  bumi  tersingkap  di permukaan pada  topografi cukup  tinggi sekarang.  

Dan  laut-laut  kecil  yang tadinya  menghubungkan  daratan-daratan,  berubah  menjadi  rawa-rawa dan  flood  plain.  Deposit  timah  primer yang  tadinya  berada  dekat  dengan granit,  mengalami  transportasi  ke tempat  yang  lebih  jauh,  berupa cebakan sekunder.  Letak  geografis  Pulau  Bangka  pada masa  itu  adalah  tepat  di  sebelah Cekungan  Busur  Belakang  Sumatera (Sumatera’s  Back  Arc  Basin).  

Pada masa  itu  Pulau  Bangka  ibarat  puncak gunung  yang  berada  tepat  di  sebelah cekungan  sedimentasi.  Proses pengikisan  yang  terjadi  sangatlah intensif, karena morfologi Pulau Bangka mendekati  gunung  jika  dibandingkan dengan  dengan  Cekungan  Busur Belakang  Sumatera. 

Faktor  iklim,  dan litologi  sangat  berperan  dalam intensitas  pelapukan  yang  terjadi, sedangkan  kemiringan  lereng,  dan gravitasi  berpengaruh  pada  erosi  dan transportasi  yang  terjadi.  Dapat diperkirakan  pada  waktu  itu  intensitas dan  transportasi di Pulau Bangka lebih  tinggi  daripada  Pulau  Belitung yang  terletak  di  sebelah  timur  Pulau Bangka, dan berjarak lebih jauh dengan cekungan belakang Sumatera.

Berbeda halnya dengan Pulau Belitung, di mana  pada  zaman  tersebut  pulau  ini kemungkinan besar telah terbentuk dan tidak  terpisah-pisah  seperti  Pulau Bangka.  Hal  ini  disimpulkan berdasarkan sedikitnya  daerah  rawa-rawa,  dan  pola  aliran  sungai  yang tersebar  hampir  merata  di  seluruh pulau.  

Pada  Zaman  Kuarter  peristiwa yang  terjadi  adalah  peneplainasi,  yaitu proses  terbentuknya  peneplain  yang sekarang  meliputi  tiga perempat  dari  luas keseluruhan  pulau  ini.  Di  masa  lalu, Pulau  Belitung  hampir  seluruhnya sudah  menyatu  dan  tidak  terpotong oleh  selat-selat,  sehingga  proses  erosi dan  transportasi  terjadi  tidak  seintensif seperti di Pulau Bangka.(*)

Sumber: bangkapos.com
Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved