HATI-hati Cetak Sertifikat Vaksin Mirip Kartu ATM, Ini Risiko yang Terjadi Menurut Pakar Siber
Tahukah Anda bahwa pencetakan sertifikat vaksin di kartu itu memiliki risiko dan berbahaya?
BANGKAPOS.COM - Beberapa bulan terakhir, ramai masyarakat yang mencetak sertifikat vaksin berbentuk kartu.
Kartu mirip ATM itu mudah dibawa karena bisa dimasukkan ke dalam dompet.
Pemilik tinggal menunjukkan kartu ini saat diperlukan.
Baca juga: Harga Terbaru Uang Koin Rp1000 Bergambar Kelapa Sawit, Bank Indonesia dan Kolektor Buka Fakta
Inisiasi muncul dari tangan-tangan kreatif orang Indonesia.
Kemudian memanfaatkan situasi pandemi untuk mencari keuntungan.
Fakta di lapangan, sertifikat vaksin berbentuk kartu memang lebih simpel dan mudah dibawa.
Tak mengherankan, banyak yang rela merogoh koceh Rp10 ribu sampai Rp20 ribu untuk satu kartu.
Tahukah Anda bahwa pencetakan sertifikat vaksin di kartu itu memiliki risiko dan berbahaya?
Baca juga: Fakta Tentang Vaksin Sinovac, Astrazeneca dan Moderna yang Dipakai Indonesia Untuk Menangani Pandemi
Hal itu diungkapkan pakar keamanan siber yang juga merupakan Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja.
Bahkan dia sampai meminta pemerintah pusat untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat.
Menurutnya perlu disampaikan soal potensi risiko kebocoran data melalui kartu vaksinasi.
Baca juga: Pedagang Ini Nekat Gunakan Daging Manusia Sebagai Topping Mie, Kondisi Dapur Mengerikan, Ada Bercak
Dikatakannya saat ini mara masyarakat yang menyetak kartu sertifikat vaksinasi Covid-19 melalui pihak ketiga.
"Masyarakat harus tahu ada risiko saat menyetak sertifikat vaksin melalui pihak ketiga, ada potensi kebocoran data yang tak diinginkan.
Karena data mereka bisa disalahgunakan tanpa sepengetahuan pemilik sertifikat.
Jadi itu masalah yang harus dijelaskan oleh pemerintah terkait boleh tidaknya menyetak sertifikat vaksin," kata Ardi saat dikonfirmasi, Kamis (12/8/2021).
Sangat besar kemungkinan data diri berupa nomor induk kependudukan (NIK) masyarakat dicuri oleh pihak yang tak bertanggung jawab saat pencetakan dilakukan.
"Saya harus sampaikan bahwa sertifikat vaksin itu mengandung data-data pribadi yang tak boleh diketahui orang lain, selain kita.
Jadi di luar kita, enggak boleh orang tahu, karena kan ada NIK di sertifikat, kedua ada
QR code, itu kan bisa di-scan, ketika di-scan mungkin ada orang yang punya alat membaca QR code itu, keluar lah data pribadi kita.
Ini risiko yang harus diwaspadai," ujarnya.
NIK, sambung Ardi, sama seperti layaknya kunci brankas yang menyimpan harta seseorang, sehingga harus dilindungi setiap individu.
Memberikan NIK secara tak berhati-hati diibaratkannya seperti membuka peluang terjadinya kejahatan siber.
Membiarkan kartu sertifikat vaksin disimpan pihak ketiga juga berpotensi diduplikasinya
data sehingga seseorang yang belum divaksinasi bisa memiliki kartu sertifikat palsu.
"Kalau memang orang ini sertifikat vaksinnya dipakai orang lain.
Dia bisa masuk ke tempat-tempat yang butuh syarat vaksinasi.
Kita kan enggak tahu itu orang udah divaksin apa belum, bisa saja disalahgunakan, padahal dia lagi kondisi terpapar, masuk mal, kita enggak tahu.
Karena sudah ngeliat sertifikat kartu, sudah boleh gitu saja masuk," kata Ardi.
Hal yang lebih membahayakan adalah ketika data diri tersebut berpindah ke tangan orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Apalagi, NIK berisi data diri yang menyangkut privasi seseorang.
Terdapat kemungkinan data diri tersebut diretas dan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu.
"Kita kan enggak tahu apakah percetakan ini menyimpan datanya, atau dimusnahkan, atau dijual ke pinjol lalu rumahnya disamperin debt collector, bisa saja ya.
Makanya saya bilang, NIK itu kunci gembok.
Kalau kuncinya sudah dipegang, bisa masuk ke akun media sosial kita atau ke akun bank, itu yang bahaya," ujarnya. (Abs)
Artikel ini telah tayang di wartakotalive.com