Imlek 2022
Identik Warna Merah, Ini Sejarah Imlek yang Sudah Ada Sejak Awal Masehi
Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti malam pergantian tahun. Di China perayaan imlek disebut juga "festival menyambut musim semi
Penulis: Nur Ramadhaningtyas | Editor: Ardhina Trisila Sakti
BANGKAPOS.COM - Identik dengan warna merah, Imlek merupakan tradisi yang dirayakan oleh masyarakat Tinghoa di seluruh dunia.
Perayaan ini sudah ada sejak awal masehi, kisaran 4.000 tahun yang lalu.
Mengutip wikipedia.org, perayaan tahun baru imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal ke-15.
Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti "malam pergantian tahun".
Baca juga: Video Goyangan 13 Detik Gisel Ini Masih Banjir Tontonan, Ngaku Rasanya Paling Enak
Baca juga: Beningnya Maria Vania Pose Depan Kaca Pakai Tank Top dan Rok Mini, Pantesan Billy Syahputra Kepincut
Di China perayaan imlek disebut juga "festival menyambut musim semi".
Hal tersebut dikarenakan China merupakan negara dengan empat musim, yang satu di antaranya adalah musim semi.
Setiap bulan Februari, China sedang mengalami musim semi.
Maka dari itu, Tahun Baru China juga bisa disebut sebagai perayaan menyambut musim semi yang hangat.
Festival Musim Semi pada awalnya merupakan hari seremonial untuk berdoa kepada dewa untuk musim tanam dan panen yang baik.
Sebagai masyarakat agraris, panen adalah segalanya. Orang-orang juga berdoa kepada leluhur mereka, karena mereka diperlakukan sebagai dewa (lihat Mulan untuk referensi).
Sementara kata imlek hanya ditemukan di Indonesia lantaran tidak adanya musim semi.
Kata Imlek sendiri berasal dari dialek Hokkian yang dalam bahasa Mandarin disebut yin li.
Yin li berarti lunar calendar atau kalender lunar, artinya penanggalan yang dihitung berdasarkan peredaran Bulan.
Menurut salah satu legenda, ada monster bernama Nian yang muncul pada malam tahun baru.
Nian muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak, dan bahkan penduduk desa.
Untuk melindungi diri mereka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun.
Dipercaya bahwa dengan melakukan hal itu, maka Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil panen.
Baca juga: Tante Ernie Diam Begini Saja Sudah Bikin Laki-laki Gagal Fokus, Intip Senyumnya di Dekat Batu Karang
Pada suatu waktu, penduduk melihat Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah.
Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu.
Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian.

Adat-adat pengusiran Nian ini kemudian berkembang menjadi perayaan tahun baru.
Pada orde baru dipimpin Soeharto, tradisi Imlek sempat dilarang.
Presiden Soeharto pada saat itu mengeluarkan Intruksi Presiden tentang pembatasan agama, kepercayaan dan adat Tiongkok.
Di mana upacara agama, kepercayaan dan adat tersebut boleh dirayakan hanya di lingkungan keluarga dalam ruang tertutup.
Kebijakan refresif tersebut muncul lantaran kekhawatiran pemerintah orde baru akan kembalinya benih-benih komunis.
Lalu pada masa kepresidenan Gus Dur akhirnya warga Tionghoa mulai bernapas lega.
Gus Dur sebagai presiden ke 4 itu membuka kembali kebebasan beragama.
Hingga pergantian presiden di bawah Megawati Soekarnoputri, Imlek kemudian ditetapkan menjadi hari raya nasional.
(Bangkapos.com/Nur Ramadhaningtyas)