Militer dan Kepolisian
Inilah Dua Batalion Ukraina yang Bakal Mati-matian Hadapi Rusia, Batalion Azoz dan Batalion Lansia
Perlawanan Ukraina tidak hanya terdiri dari pasukan resminya saja, namun terdapat kelompok relawan yang memiliki satu tujuan memperjuangkan
Penulis: Iwan Satriawan CC | Editor: Iwan Satriawan
BANGKAPOS.COM-Serangan Rusia ke Ukraina mau tak mau membuat Ukraina harus mengerahkan segala sumber daya yang mereka miliki untuk mempertahankan negaranya.
Pasukan Rusia termasuk pasukan tentara terkuat di bumi, dengan kemampuan militernya tepat di bawah militer Amerika Serikat (AS).
Meski begitu, kemampuan pasukan Ukraina tidak bisa dianggap sebelah mata.
Perlawanan Ukraina tidak hanya terdiri dari pasukan resminya saja, namun terdapat kelompok relawan yang memiliki satu tujuan memperjuangkan kedaulatan Ukraina.
Salah satunya adalah Azov Battalion.
Baca juga: Gelar Operasi Militer ke Ukraina, Putin Ancam Berikan yang Terburuk Bagi Siapapun yang Ganggu Rusia
Melansir National Geographic, Batalion Azov atau Azov Battalion adalah kelompok relawan yang ikut bersama dengan tentara Ukraina memperjuangkan kedaulatan Ukraina.

Batalyon Azov merupakan tentara Neo-Nazi yang terbentuk pada 2014.
Mulanya Batalyon Azov dibentuk melalui pendukung militan klub sepak bola Metalist Kharkiv untuk menghancurkan pasukan separatis pro-Rusia.
Secara organisasi, tentara sukarelawan ini dipimpin oleh Andriy Biletsky yang dikenal sebagai seorang fasis kejam.
Saat ini Batalyon Azov telah terintegrasi penuh dalam militer Ukraina.
Baca juga: Rusia Resmi Umumkan Perang dengan Ukraina, Simbol Z di Kendaraan Perang Rusia Jadi Misteri
Pada 2015, jumlah anggota Batalyon Azov telah mencapai 1.400 personel, namun diduga kini anggotanya semakin bertambah.
Empat tahun lalu, Hope note hate menyebutkan bahwa Batalyon Azov telah bekerja sama dengan kelompok inggris yang disebut Divisi Misantropik.
Tujuannya antara lain adalah untuk merekrut aktivis sayap kanan Inggris agar ikut serta terjun medan laga Ukraina.
Batalyon Azov memiliki tradisi Neo-Nazi, mereka mengklaim sebagai pengikut dari Hitler Ukraina subdivisons SS dan pro-Hitler.
“Setelah kudeta tahun 2014, Ukraina telah berubah menjadi sumber neo-Nazi dari seluruh dunia,” ujar Petro Symonenko pemimpin dari Partai Komunis Ukraina.
Faiz Fadhlurrakhman mengungkapkan konflik itu dalam penelitiannya yang bertajuk Kejahatan Perang Azov Battalion Dalam Konflik Rusia-Ukraina 2014: Perspektif Konstruktivis,
terbit pada 2017. Faiz menemukan setidaknya ada tiga kebejatan yang dilakukan oleh Batalyon Azov.
Baca juga: Siap Perang, Ukraina Dapat Pasokan Rudal Anti-Pesawat Stinger, Momok Menakutkan Rusia di Afganistan
Tindakanya dinilai mencederai Geneva convention I hingga IV.
Pada 9 mei 2014, Batalyon Azov melakukan serangan terhadap aktivis pro-Rusia dalam parade Victory Day
di Mariupol.
Parade tersebut merupakan peringatan penyerahan oleh Nazi Jerman yang bertepatan dengan kedatangan presiden Rusia Vladimir Putin ke Crimea pertama kali setelah dianeksasi.
Peristiwa berdarah tersebut diawali dengan kontak senjata tentara Ukraina dan Batalyon Azov melawan aktivis pro-Rusia. Batalyon Azov melakukan penyerangan terhadap para aktivis yang sedang melakukan parade, alhasil 25 masyarakat sipil terluka.
Pada Agustus 2015, Batalyon Azov melakukan kemah musim panas dengan kegiatan berupa pelatihan dan doktrin militeristik terhadap anak dibawah umur.
Pada Additional Protocol I Geneva Conventions menjelaskan pelarangan ikut serta anak-anak dalam konflik bersenjata dan perekrutan terhadap anak dibawah umur.
Tindakan kemah musim panas yang dilakukan oleh Batalyon Azov dinilai telah mencederai konvensi di atas.
Padahal pemerintah Ukraina telah melakukan pengaturan bahwa perekrutan tentara memenuhi syarat di atas umur 15 tahun. Peraturan tersebut dijelaskan dalam
Ukraine Military service law 1992
Batalyon Azov juga pernah melakukan penyiksaan terhadap masyarakat sipil dan tawanan perang yang telah tertangkap. Batalyon Azov dan SBU (
Security Service of Ukraine), melakukan penangkapan maupun patroli di wilayahnya.
Faiz menganggap, bahwa penyiksaan terhadap warga sipil dan tawanan perang merupakan salah satu penerapan atas nilai-nilai Neo-Nazi.
Penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi tertuang dalam laporan yang ditulis oleh Grigoriev: "
WAR CRIMES OF THE ARMED FORCES AND SECURITY FORCES OF UKRAINE: torture and inhumane treatment Second report.
Disebutkan Batalyon Azov melakukan penyiksaan fisik maupun psikologi terhadap para tawanan.
“Saya tidak terlibat dalam aksi militer, saya juga tidak mendaftar dalam pasukan pertahanan diri, namun Batalyon Azov menangkapku,” ungkap Robert Aniskin salah satu korban penyiksaan, “Mereka memukuli saya dengan popor senapan selama menangkap, kemudian mereka menggunakan alat kejut listrik dan memukuli saat menginterogasi saya.”
Penyiksaan serupa juga terjadi pada Igor Ljamin, salah satu korban penyiksaan yang ditangkap pada 14 september 2014.
“Terakhir kali, saya digantung dua puluh menit, kemudian membawa saya ke bawah, mulai menuangkan air pada saya dan memberi saya kejutan listrik,” ungkap Igor.
Batalion Babushka

Valentyna Konstantinovska, 79, menyatakan siap angkat senjata dan melawan tentara Rusia baik bertempur maupun tarung satu lawan satu untuk melindungi kotanya jika Presiden Vladimir Putin memerintahkan invasi ke Ukraina.
Setelah menjadi sukarelawan sejak konflik pecah di negara itu pada 2014, Konstantinovska dan pasukan "babushka", yaitu nenek-nenek, telah menggali parit, menyediakan persediaan, membuat jaring, menawarkan perawatan medis, dan bahkan membangun menara pengintai, seperti dilaporkan Al Jazeera, Selasa (15/2/2022).
Saat ketegangan dengan Rusia memasuki minggu kritis di mana Amerika Serikat memperingatkan bahwa pasukan Rusia dapat kapan saja menyerbu untuk merebut Ukraina hanya dalam beberapa hari, kaum perempuan dilaporkan siap melakukan apa pun untuk membantu upaya perang, bahkan meluncurkan batalion babushka.
“Saya mencintai kota saya, saya tidak akan pergi. Putin tidak bisa menakut-nakuti kita. Ya, itu menakutkan, tetapi kami akan membela Ukraina kami sampai akhir,” kata Konstantinovska dalam sebuah acara untuk melatih penduduk kota bagaimana mempersiapkan dan membela diri.
Diselenggarakan oleh gerakan sayap kanan Azov, pelatihan tersebut memberi pelatihan dasar perawatan medis tempur dasar, kemampuan bertahan hidup dan evakuasi, serta bagaimana mengamankan dan menembakkan senjata.
Warga mengatakan itu adalah satu-satunya pelatihan keselamatan atau kesadaran yang mereka terima selama hampir delapan tahun konflik.
“Saya sudah bermimpi sejak 2014 untuk belajar menggunakan pistol, tetapi saya ditegur, 'babushka, kamu terlalu tua untuk itu. Anda akan terlempar ke belakang saat menembak,” kata Konstantinovska, saat berbaring di matras yoga dengan mantel sutra berwarna lemon untuk berlatih membidik dengan senapan serbu model AK-47.
'Seperti anak-anakmu sekarat'
Gerakan Azov, unit militer infanteri sukarelawan sayap kanan, adalah kaum ultra nasionalis yang dituduh menyembunyikan ideologi neo-Nazi dan supremasi kulit putih.
Sayap politik yang berbasis di Kiev mendapat sedikit dukungan, dan mereka gagal meraih kursi di parlemen pada pemilihan terbaru pada 2019.
Namun, di Mariupol, pasukan militer Azov sering dilihat sebagai pembela kota setelah mereka merebutnya kembali dari pendudukan singkat oleh separatis yang didukung Rusia pada 2014.
Berbasis di daerah yang berjarak 40 km dari kota pelabuhan strategis, mereka berada di lini pertama garis pertahanan jika terjadi serbuan.
Sejak Azov dilarang dari Facebook pada 2019 karena menyebarkan ujaran kebencian, acara tersebut diiklankan melalui Instagram tanpa menyebutkan keterlibatan Azov dan tidak semua dari 300 atau lebih peserta tahu siapa yang menyelenggarakannya.
Bagi Konstantinovska, yang berbeda pandangan politik dengan kelompok Azov, satu-satunya ideologi yang dia pedulikan adalah “membela tanah air mereka”, yang dia setujui dengan sepenuh hati dan bersedia melakukan apa yang dia bisa untuk membantu.
Liudmyla Smahlenko, 65, kehilangan seorang kerabat yang terbunuh saat memerangi separatis di Ukraina timur pada 2015.
Dia mengatakan, setelah bertahun-tahun menjadi sukarelawan untuk upaya perang, dia memiliki hubungan batin yang kuat dengan para pemuda yang berperang.
“Kami sudah lama menjadi batalyon babushka. Pada tahun 2014, kami menggali parit, mendirikan pangkalan lapangan dan kami menyumbangkan bantal dan selimut, piring, mug, kami membawa semua yang kami bisa,” kata Smahlenko, berpakaian pink kehitaman dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Anda mencoba membantu para prajurit dan mereka menjadi seperti anak-anak Anda. Kemudian salah satu dari mereka mati. Banyak yang sekarang hilang dan setiap kali, rasanya seperti anak-anak Anda yang sekarat dan mati.”
Dia juga siap untuk melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi Mariupol dan untuk menunjukkan rasa terima kasih kepada para pemuda yang muncul pada 2014 dan "yang pertama di antara yang terluka akibat penembakan".
“Saya siap bertarung jika Rusia menyerang, bahkan jika saya harus berkelahi dengan mereka. Mereka bukan saudara kita,” katanya.
Sementara pemerintah Ukraina sengaja menganggap ringan ancaman serangan untuk tidak membuat panik, sementara Amerika Serikat justru memperingatkan serangan bisa datang kapan saja sekarang, gerakan Azov mengatakan krisis sekarang pada puncak tertinggi dan "sangat berbahaya".
“Saya tidak punya tas evakuasi tahun 2014 dan saya sekarang juga tidak mempersiapkan itu. Saat semuanya terbakar dan runtuh di sekitar saya, yang saya lakukan hanyalah melihat bagaimana saya bisa membantu,” kata Halbay, berpakaian serba hitam mengenakan topi bulu yang melambai tertiup angin lembut musim dingin Ukraina.