Hudarni Rani Meninggal Dunia
Hudarni Rani Tutup Usia, Dikenal Sebagai Tokoh Babel yang Kerap Bicara 'Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong'
Hudarni Rani dikenal sebagai pelopor istilah lokal "Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong,"
Penulis: Vigestha Repit Dwi Yarda | Editor: Teddy Malaka
BANGKAPOS.COM- Innalillahi wa inna ilaihi raji'un, berita duka datang dari mantan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Drs. H. Achmad Hudarni Rani atau yang kerap disapa Hudarni Rani.
Hudarni Rani menghembuskan napas terakhirnya pada Jumat (4/8/2022) hari ini pukul 16.00 WIB di apartemennya di bilangan Jakarta.
Saat dikonfirmasi tim bangkapos.com, kabar tersebut kemudian dibenarkan oleh adik Hudarni Rani, yakni Huzarni Rani.
"Benar, abang Hudarni Rani meninggal dunia, jam empat sore tadi di apartemennya, di Jakarta," kata Huzarni Rani.
Semasa hidupnya Hudarni Rani menjabat sebagai Gubernur Kepulauan Bangka Belitung sejak April 2002 hingga April 2007.
Lahir 20 November 1950, Hudarni Rani meninggal di usia 71 tahun.
Suami dari Elly Marleny itu merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Bangka Belitung periode 2014–2019 dan 2019 hingga sekarang.
Dia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Kepulauan Bangka Belitung sejak April 2002 hingga April 2007.
Sebagai gubernur, Hudarni Rani berusaha mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yang tidak hanya berfokus pada sektor timah, tetapi juga hasil alam lain dan juga dalam bidang pariwisata, terutama panorama pantai.
Di sisi lain Hudarni Rani dikenal sebagai pelopor istilah lokal "Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong,".
Semboyan yang bermakna masyarakat Tionghoa dan Melayu sama saja itu dia populerkan saat menjadi gubernur.
Istilah lokal kemudian tumbuh dan berkembang sehingga tidak ada pengotak-ngotakan antara etnis Tionghoa dan Melayu.
Frasa itu menjadi gambaran tegaknya Pancasila dan kebersamaan di daerah tersebut.
Apalagi ketika momentum Hari Raya Idul Fitri atau Hari Raya Imlek tiba kerafian lokal itu sangat terasa di masyarakat Bangka Belitung.
Warga Tionghoa dan Melayu saling bersilaturahmi, menyatu dalam kebersamaan baik saat lebaran (Idul Fitri) dan atau kongian (Imlek).
Semboyan itu yang hingga kini merajut keberagaman, mencipta kebersamaan, menjalin kegotongroyongan dalam membingkai kehidupan saling menghormati, menghargai dalam kasing sayang.
Oleh karena itu tak heran saat meletus konflik SARA khususnya Tionghoa, di ibukota Jakarta di masa awal reformasi 1998 lalu, Bangka Belitung disebut sebagai “surga” tempat berteduh bagi para korban konflik.
Hudarni diketahui memiliki visi mewujudkan negeri "Serumpun Sebalai" yang sejahtera dengan meningkatkan kualitas masyarakat serta memberdayakan semua potensi daerah secara arif dan berwawasan lingkungan dalam NKRI.
(Bangkapos.com/Vigestha Repit)