Militer dan Kepolisian

Punya Teknologi dan Rudal Canggih, Inilah Kapal Perang Flag Ship Indonesia KRI RE Martadinata-331

KRI RE Martadinata-331 merupakan hasil hasil kerja sama alih teknologi antara TNI AL bersama PT PAL dengan galangan kapal Damen Schiede

Penulis: Iwan Satriawan CC | Editor: Iwan Satriawan
tribunambon.com
KRI R.E. Martadinata 

BANGKAPOS.COM-Sebagai penjaga laut NKRI, TNI Angkatan Laut memiliki kapal flag ship canggih.

Kapal tersebut adalah Kapal Perang RI Raden Eddy Martadinata-331.

Kapal ini adalah kapal perang tercanggih yang dimiliki Indonesia saat ini dan dinamakan dengan nama Pahlawan Nasional Indonesia asal Bandung, Raden Eddy Martadinata.

KRI RE Martadinata-331 merupakan hasil hasil kerja sama alih teknologi antara TNI AL bersama PT PAL dengan galangan kapal Damen Schiede Naval Ship Building (DSNS), Belanda.

Penandatanganan kontrak dilakukan oleh Departemen Pertahanan Indonesia dengan DSNS pada 10 Juni 2012.

Kapal ini memiliki spesialisasi anti kapal permukaan, anti kapal selam, dan anti serangan udara serta peperangan elektronika.

KRI Raden Eddy Martadinata-331
KRI Raden Eddy Martadinata-331 (KOMPAS.COM/LUTFY MAIRIZAL PUTRA)

Untuk mendukung hal itu, kapal dilengkapi dengan rudal, torpedo, dan meriam.

Salah satu rudal yang dimiliki kapal ini adalah Rudal surface to surface misile atau rudal permukaan ke permukaan itu adalah Excocet MM40 Blok 3.

Rudal ini punya jarak jangkau senjata kurang lebih 180-200 kilometer.

Meriam utama KRI RE Martadinata-331 OTO Melara 76 mm Super Rapid Gun yang berada di tengah kapal, siap menembakkan 80 peluru ke arah musuh.

Meriam dioperasikan secara digital. Selama ini, meriam yang terpasang di kapal TNI AL bertipe compact.

Dengan jenis itu, hanya mampu melontarkan 85 proyektil per menit, sementara 120 proyektil per menit siap meluncur dari mulut OTO Melara.

Rudal surface to air misile, dari permukaan ke udara ada vertical launcher Mika untuk pertahanan dari serangan udara dengan jarak jangkau senjata 10 nautical mile atau 20 kilometer dengan ketinggian 9144 meter.

Jika rudal mengarah ke RE Martadinata-331, pengecoh rudal Terma SKWS DLT-12T siap membelokkan arah rudal.

Caranya, dengan mengacaukan sensor rudal musuh, mengacaukan jammer, hingga mengecoh sinar inframerah dan frekuensi radio yang digunakan rudal udara.

Meski berada di atas permukaan air, RE Martadinata-331 tidak khawatir terhadap serangan dari kapal selam.

Torpedo ringan berpandu A-244S dapat mengincar musuh di permukaan dangkal.

Meriam Close in Weapon Systems (CIWS) Millenium 35 mm dapat menangkis serangan udara dan ancaman permukaan jarak dekat.

Kapal kombatan utama TNI AL ini merupakan kapal kelima yang menerapkan teknologi SIGMA (Ship Integrated Geometrical Modularity Approach).

Teknologi ini memberikan fleksibilitas tinggi dengan biaya produksi yang relatif rendah.

Dengan pajang 105,01 meter, lebar 14,02 meter, dan berat 2.946 ton, KRI RE Martadinata-331 menerapkan teknologi siluman (stealth).

Kapal tidak akan terlihat oleh sensor kapal musuh.

Untuk mengemudikan kapal berwarna abu-abu itu, Komandan kapal dapat menyetel menuju auto pilot dengan memasukkan track terlebih dulu.

Jika pada kecepatan penuh, kapal perang mampu melaju pada kecepatan 28 knot.

Kapal perang juga dilengkapi dengan ruang rapat.

Saat peresmian KRI RE Martadinata-331, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menuliskan kesannya di dalam ruangan itu.

Di sebelah ruang rapat, terdapat ruang VIP. Jejeran sofa merah menjadi tempat menghilangkan penat.

Dengan teknologi terbaru kapal perang ini, pemerintah menghabiskan dana sekitar 340 juta dollar AS.

Pengerjaan kapal memakan dana 220 juta dollar AS, sisanya digunakan untuk peralatan di dalam kapal yang menampung 111 orang personel.

Profil R E Martadinata

Laksamana TNI Anumerta Raden Eddy Martadinata atau R.E. Martadinata merupakan Pahlawan Nasional Indonesia asal Bandung, Jawa Barat. 

Martadinata adalah seorang laksamana dan diplomat Angkatan Laut. 

Martadinata memiliki jasa yang besar dalam membentuk dan memimpin Barisan Keamanan Rakyat (BKR) laut Jawa Barat. 

BKR kemudian berganti nama menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Kehidupan

R.E. Martadinata lahir pada 29 Maret 1921 di Lengkong Besar, Bandung. 

Pada 1941, tokoh yang biasa disapa Eddy ini menamatkan sekolah dasar dan sekolah menengahnya. 

Selesai sekolah, R.E. Martadinata pun berkeinginan untuk menjadi seorang pelaut. 

Untuk bisa mencapai keinginannya, Eddy pun masuk pendidikan Sekolah Tinggi Pelayaran (STP) di Jakarta. 

Pada 1 Agustus 1943, setelah selesai pendidikan, Eddy diangkat menjadi guru tetap di sekolah tersebut.

Setahun berselang, 1 September 1944, Eddy berhenti dari pekerjaannya, karena ia mendapat kepercayaan untuk menjadi Nahkoda Kapal Latih Dai 28 Sakura Maru. 

Sebagai pelatih, ia bisa membimbing langsung para pemuda di atas kapal.

Menjelang dicetusnya proklamasi kemerdekaan Indonesia, para pelaut seperti R.E. Martadinata, R. Suryadi, Adam, Daryaatmaka, Suparlan, Achmad Hadi, Untoro Kusmardjo, dan Jasanatakusumah segera menggalang persatuan untuk menyongsong kemerdekaan. 

Pada 10 September 1945, Badan Keamanan Rakyat (BKR) Laut Pusat dibentuk di Jakarta. 

R.E. Martadinata ditunjuk sebagai pimpinan BKR-Laut Banten. 

Ia bertugas untuk membendung merembesnya tentara Serikat ke Jawa Barat lewat laut. 

Kiprah

Pada 5 Oktober 1945, lahirlah Tentara Keamanan Rakyat (TKR). 

Organisasi BKR-Laut pun otomatis tergabung menjadi TKR-Laut. 

Oleh karena Markas Besar Umum (MBU) di Jakarta sudah tidak aman, maka MBU dipindah ke Yogyakarta. 

R.E. Martadinata pun turut dipindahkan ke sana untuk membantu pimpinan MBU TKR-Laut. 

Nama TKR-Laut pun berubah menjadi Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada 25 Januari 1946. 

Ketika terjadi kericuhan di dalam ALRI, karena adanya dua pimpinan, yaitu antara MBU di Yogya dan MBU di Malang, Eddy mengajak untuk diadakan musyawarah. 

R.E. Martadinata mengatakan bahwa perjuangan kita adalah untuk membela kepentingan negara dan bangsa, sehingga jauhkan sifat ambisi pribadi.

Pada 1949, setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Eddy tetap bertahan di Angkatan Laut. 

Ia mengawasi operasi angkatan laut di Sulawesi Selatan pada 1950, saat pemerintah pusat sedang menangani pemberontakan Makassar. 

Tiga tahun kemudian, 1953, Eddy dikirim untuk belajar di Amerika Serikat. 

Sekembalinya ke Indonesia, ia bertugas untuk mengawasi pembelian berbagai kapal untuk angkatan laut. 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved