Aneh, Belalang di Australia Ini Tak Kawin Hingga 250.000 Tahun, Kok Bisa?
Belalang ini hidup di bagian selatan zona kering Australia, di mana ia memakan pohon mulga dan semak serta semak lainnya di musim panas.
Penulis: Nur Ramadhaningtyas | Editor: M Zulkodri
BANGKAPOS.COM - Sebagian besar hewan di Bumi memiliki dua jenis kelamin, yaitu jantan dan betina.
Kelamin itu bertujuan agar hewan sebagai makhluk hidup bisa berkembang biak.
Mereka bisa menggabungkan sel genetik mereka saat bereproduksi dan mmpertahankan spesies mereka.
Hal berbeda terjadi di Australia, belalang hijau bernama Warramaba virgo tidak berkembang biak selama 250.000 lamanya.
Hal itu karena belalang cantik ini cukup spesial dan langka.
Melansir phys, belalang itu bisa menghasilkan telur yang dapat berkembang menjadi embrio tanpa dibuahi oleh sperma.
Belalang ini hidup di bagian selatan zona kering Australia, di mana ia memakan pohon mulga dan semak serta semak lainnya di musim panas.
Baru-baru ini studi dalam jurnal mengungkapkan spesies belalang itu memiliki mekanisme partenogenesis untuk bisa berkembang biak.
Selama 18 tahun terakhir, ahli biologi yang mempelajari evolusi sering menganggap kelangkaan spesies partenogenetik seperti W. virgo sebagai teka-teki utama.
Partenogenesis merupakan proses reproduksi yang tidak memerlukan jantan untuk melakukan perkawinan dan membuahi sel telur betina.
Tanpa dibuahi sperma jantan, betina belalang itu bisa menghasilkan telur dan menghasilkan keturunan.
Belalang itu kali pertama dipelajari pada 1962 oleh Michael White, seorang ahli biologi evolusioner dan ahli genetika.
Mulanya, putra White bernama Nicholas, menemukan belalang tersebut di dekat Kota Hillston, New South Wales.
Dia mencatat, hanya menemukan betina dari spesies tertentu.
White kemudian melanjutkan untuk menunjukan bahwa spesies sama hadir 2.0000 km jauhnya di Australia Barat, bersama dengan spesies lainya (baru-baru ini bernama W. whitei).
W. virgo ternyata memiliki asal hibrida, yaitu persilangan antara W. whitei dan spesies W. flavolineata, ribuan tahun lalu.
Spesies partenogenetik memiliki gen yang hampir identik.
Hal ini berdampak pada kemungkinan lemahnya tingkat adaptasi dengan lingkungan ketika mengalami perubahan.
Terlebih lagi, partenogen dapat mengakumulasi mutasi buruk yang dapat mempengaruhi kondisi mereka.
Namun, apakah ini akan menjadi kerugian yang berarti? Apakah mereka mempercepat kepunahan dari setiap partenogen yang terbentuk?
Kearney mengungkapkan, spesies partenogenetik memiliki keuntungan jika keragaman genetiknya didorong oleh hibridisasi berulang antara dua spesies induk, menghasilkan pasukan klon yang berbeda.

“Menggabungkan genom dari dua spesies mungkin juga membuat partenogen lebih kuat,” terangnya.
Peneliti telah memeriksa lebih dari 1.500 penanda genetik W. Virgo.
Hasilnya, hampir tidak ditemukan variasi partenogen dibandingkan dengan spesies induknya.
Dengan jelas, ini menunjukan bahwa hanya ada satu perkawinan antara W. whitei dan W. flavolineata untuk memproduksi W.virgo di tempat yang pertama.
Dalam penelitianya, Kearney memperkirakan bahwa perkawinan terjadi sekitar 250.000 tahun yang lalu.
Hal ini didasari oleh jumlah dan sifat mutasi yang terjadi pada W. virgo.
Peneliti juga menemukan, bahwa partenogen tidak memiliki keunggulan dibandingkan spesies induknya dalam berbagai sifat fisiologis, seperti toleransi terhadap panas dan dingin, laju metabolisme, jumlah telur, ukuran telurnya, waktu penetasan dan berapa lama mereka hidup.
Namun, W. virgo secara alami menghasilkan keturunan betina dua kali lebih banyak.
(Bangkapos.com/Nur Ramadhaningtyas)