Hati Bu Guru Hancur Dengar Curhat Siswinya Jadi Pemuas Birahi Ayah Sendiri dan Disuruh Mencuri

Nasib tragis dialami seorang siswi sekolah dasar yang jadi budak pemuas nafsu ayahnya sendiri. Ia juga kerap disiksa dan disuruh mencuri.

Penulis: Teddy Malaka CC | Editor: Teddy Malaka
Tribun Jabar
(Ilustrasi) 

BANGKAPOS.COM, BANGKA - Nasib tragis dialami seorang siswi sekolah dasar yang jadi budak pemuas nafsu ayahnya sendiri. Ia juga kerap disiksa dan disuruh mencuri.

Terungkapnya kejahatan tersebut berawal dari kecurigaan gurunya.

Siswi sekolah dasar itu memerlihatkan gelagat aneh. Dia kerap murung, setelah ditanya, ia mengungkapkan segalanya tentang tentang musibah yang dialaminya.

Peristiwa tragis ayah rudapaksa anak terjadi di Kecamatan Sungaiselan, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Baca juga: 1 Bulan Anjar Hari Kiswanto si Penjual Ikan Nikahi Bule Rusia Zukofa Veronica, Begini Nasibnya Kini

Diketahui WH (38) sudah berkali-kali menggauli anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Aksi keji WH terbongkar ketika guru melihat ada gelagat aneh pada sang anak di sekolah.

Awalnya Dwi (bukan nama sebenarnya-red), guru korban, merasa curiga dengan muridnya yang tidak ceria seperti murid lainnya.

Baca juga: Kisah TKW Hongkong yang Modali Suaminya Berbisnis, Berujung Jadi Janda Karena ada yang Berubah

Kemudian, pada hari Selasa (16/8/2022) kemarin, Dwi bertanya dan meminta korban menceritakan tentang apa yang sedang terjadi menimpa dirinya.

"Jadi kemarin sewaktu di sekolah, saya tanya ke korban dan minta dia cerita dengan jujur," ucap Dwi saat diwawancarai Bangkapos.com, Rabu (17/8/2022).

Dwi pun mengaku terkejut dan geram setelah mendengar pengakuan dari muridnya itu yang ternyata telah disetubuhi oleh ayah kandungnya sendiri.

"Sedih saya waktu denger ceritanya (korban-red), udah mau nangis saya waktu itu. Kok bisa ada ayah se-biadab itu yang tega berbuat seperti itu (rudapaksa-res) kepada anak kandungnya sendiri," jelasnya.

Dwi menuturkan, saat bercerita, muridnya itu menangis karena takut akan disiksa oleh ayah kandungnya.

Bahkan seingat korban, dirinya sudah digauli oleh ayah kandungnya itu sebanyak kurang lebih empat kali di tempat yang berbeda.

"Katanya (korban-red), dia udah dirudapaksa sama ayahnya sekitar empat kali, ada yang dilakukan di dapur, di kamar bahkan ada yang di hutan. Tapi kalau kata kepolisian ada 7 kali, nanti jelasnya mungkin nunggu pengakuan pelaku, karena memang sudah ditangkap oleh polisi," jelas Dwi.

Tak hanya itu, selain dirudapaksa, korban juga kerap disiksa bahkan disuruh mencuri oleh ayah kandungnya itu.

Selain itu, korban juga sering diancam akan dibunuh jika memberi tau perbuatan keji ayahnya itu kepada orang lain.

"Ayahnya itu udah bukan manusia lagi, sifatnya udah kayak iblis. Masa anaknya disuruh nyuri terus dia yang ngambil uangnya. Kadang-kadang kalau anaknya dapat beasiswa, uangnya diambil sama dia (pelaku-red)," ungkapnya.

Dwi menjelaskan, orang tua korban sudah lama berpisah dan korban dipaksa oleh ayahnya untuk tinggal bersama dirinya.

Padahal, ayahnya tersebut kerap menganggur dan dikenal suka mabuk-mabukan.

"Ayah korban ini memang suka KDRT sama keluarganya, termasuk sama istrinya. Dan anaknya itu sebenarnya mau tinggal sama ibuknya, tapi enggak dibolehin," ujarnya.

Namun karena sudah yakin dengan cerita dan pengakuan dari korban, Dwi pun berkoordinasi dengan Kepala Sekolah untuk melaporkan kejadian itu ke Polsek Sungaiselan.

"Jadi kemarin waktu pulang sekolah sengaja saya tungguin bapaknya itu yang kebetulan mau jemput korban," terangnya.

Lanjut dia, ketika bapaknya datang ke sekolah, dia pun bertanya secara langsung kepada yang bersangkutan dan memarahinya karena telah berbuat tega dan kurang ajar kepada putrinya sendiri.

"Pas pulang sekolah kemarin sempat saya tanyain, tapi bapaknya ini enggak ngaku dan langsung lari (kabur-red)," sambungnya.

Ayah Rudapaksa Anak Sempat Mencoba Kabur

Kapolsek Sungaiselan, Iptu Hafiz Febrandani mengungkapkan, pihaknya mendapatkan laporan terkait peristiwa itu pada Selasa (16/8/2022) siang.

Menindaklanjuti laporan tersebut, dengan berbekal informasi dari warga sekitar, pihaknya pun mencari keberadaan pelaku yang saat itu diketahui hendak melarikan diri.

"Sekitar jam 5 sore, pelaku berhasil kami amankan ketika pelaku mencoba kabur ke arah hutan," ucap Hafiz kepada Bangkapos.com, Rabu (17/8/2022).

Lanjut dia, saat proses penangkapan oleh anggota Polsek Sungaiselan, pelaku sempat memberontak dan mencoba meloloskan diri.

Kemudian, demi kepentingan penyelidikan, pelaku pun dibawa ke kantor Polsek Sungaiselan untuk diperiksa.

Saat diperiksa, pelaku mengakui bahwa dirinya telah melakukan tindakan rudapaksa terhadap anak kandungnya sendiri sebanyak 7 kali.

Meski demikian, Hafiz mengaku bahwa pihaknya terus melakukan pendalaman kasus.

"Kemungkinan pelaku ini melakukan perbuatannya lebih banyak dari itu. Dan sampai saat ini masih terus kami periksa agar pelaku mengakui perbuatannya dengan sejujur-jujurnya," jelasnya.

Atas kejadian tersebut, pelaku patut diduga melanggar Pasal 81 Ayat (3) UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2022. Yang terakhir diubah menjadi UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 01 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang.

Bisa Ancam Psikis hingga Kesehatan Reproduksi

Sosiolog sekaligus Dosen Ilmu Sosiologi di Universitas Bangka Belitung, Luna Febriani, mengatakan tindakan asusila yang mencuat belakangan justru banyak terjadi pada ranah yang selama ini kita anggap paling aman, yakni ranah rumah atau keluarga. Seperti yang terjadi di Kabupaten Bangka Tengah.

"Ranah rumah dan keluarga kerap kali tidak pernah dipikirkan kalau dapat menjadi tempat terjadinya kekerasan s*sual pada anak," ucap Luna kepada Bangkapos.com, Kamis (18/8/2022).

Apalagi mengingat rumah dan para anggota keluarga seharusnya memiliki fungsi dalam menyediakan keamanan dan kenyamanan bagi anak-anak.

Namun menurut dia, nyatanya yang terjadi justru sebaliknya. Ranah keluarga dan atau ranah domestik justru menjadi tempat tidak aman bagi anak-anak karena banyaknya terjadi kekerasan.

Bahkan, kata Luna, dari data yang dihimpun dari catatan tahunan yang dikeluarkan Komnas Perempuan, kekerasan dalam ranah privat seperti KDRT, incest dan kekerasan personal menjadi kekerasan paling banyak terjadi dalam masyarakat Indonesia, yakni sebesar 79 persen atau 6.480 kasus.

Rinciannya, kekerasan terhadap istri sebanyak 3221 kasus atau 49 persen, kekerasan dalam pacaran sebesar 1309 kasus atau 20 persen, serta kekerasan terhadap anak perempuan sebesar 954 kasus atau 14 persen.

"Data ini seharusnya dapat dijadikan pengingat kepada kita semua, bahwa ranah privat atau personal tidak selamanya aman bagi perempuan dan anak-anak," ucapnya.

Maka dari itu, diperlukan kemampuan mengidentifikasi dan mengantisipasi serta melaporkan kekerasan seksual bagi anak dan perempuan. Mengingat. selama ini kekerasan s**sual yang terjadi dalam ranah personal, acap kali ditutupi dengan topeng atas nama cinta atau kasih sayang orang tua kepada anaknya.

Dengan kemampuan mengidentifikasi kekerasan s**sual, perempuan dan anak, dapat membedakan dua hal yang sangat bertolak belakang ini.

"Selain mengidentifikasi, ketika telah terjadi kekerasan s** perlu dilaporkan, jangan sekadar mendiamkan semata. Terlebih ketika itu terjadi dalam ranah personal banyak orang yang memilih untuk tidak bersuara, karena hal ini menyangkut orang-orang terdekat," tegas Luna.

Dia menilai, jika hal tersebut didiamkan saja, akan membuka peluang bagi pelaku tindakan asusila untuk mengulangi kejahatannya kembali.

"Tidak menutup kemungkinan, akan ada banyak korban lain dan pelaku merasa dirinya sukses melakukan tindakannya, karena tidak adanya hukuman atas kejahatannya," imbuhnya.

Ketika ada korban yang berani melaporkan tindakan asusila yang terjadi menimpa dirinya, ada beberapa poin penting yang harus menjadi perhatian bagi masyarakat sekitar, pemerintah serta aparat hukum.

Pertama, berhenti menyalahkan korban sebagai penyebab dari tindakan asusila itu sendiri. Dia menyebut, kasus seperti ini banyak terjadi terutama ketika kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan dalam ranah personal.

"Perempuan yang menjadi korban kekerasan s**sual justru bertambah bebannya, disalahkan atas terjadinya kekerasan seksual yang padahal menimpa dirinya," ujar Luna.

Pasalnya, selain berdampak pada psikis korban, hal ini juga akan berdampak pada ketidakmauan korban maupun korban-korban tindakan asusila selanjutnya untuk melaporkan kekerasan seksual yang menimpa mereka.

"Kedua, jangan menormalisasi hal yang tidak normal, dan kekerasan s**sual adalah bentuk dari ketidaknormalan," tegasnya.

Kebanyakan dari kita, lanjutnya, masih banyak yang melihat bahwa kekerasan s**sual dalam ranah personal tidak boleh dilaporkan karena menyangkut nama baik keluarga, serta kekerasan yang terjadi merupakan cara suami mendidik istri atau bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak.

"Ingat, cara mendidik dan kasih sayang itu berbeda dengan kekerasan s**sual, karena mendidik dan kasih sayang itu bukan hal yang membahayakan. Sementara kekerasan s**sual itu berbahaya karena dapat menimbulkan dampak psikis dan fisik yang mengancam kesehatan reproduksi, jiwa dan fisik korban," bebernya.

Maka dari itu, sudah seharusnya kita berhenti menormalisasi kekerasan seksual terutama yang banyak terjadi dalam ranah personal.

Selanjutnya, ketika tejadi tindakan asusila, carilah solusi yang tepat yakni solusi yang berpihak pada korban bukan pada pelaku.

Luna mengatakan, sering kali kasus tindakan asusila sering dituntaskan dengan cara berdamai antara korban dan pelaku atau sering juga dengan menikahkan korban dan pelaku kekerasan seksual itu sendiri, sehingga kasus tindakan asusila yang tejadi dianggap selesai.

"Saya rasa, jika solusi-solusi ini terus diambil dalam kasus kekerasan s**sual, ini akan semakin meneguhkan bahwa ketika terjadi kekerasan s**sual perempuan akan menjadi korban berlapis. Pasalnya, seseorang yang sudah menjadi korban atas kejahatan s**sual itu sendiri justru bertambah penderitaannya, karena menjadi korban dari yang ketidakberpihakan atas solusi yang diambil," ungkapnya.

Oleh karena itu, ia meminta kepada stakeholder terkait agar serius menangani tindakan asusila  yang terjadi dengan mempertimbangkan dampak fisik dan psikis yang dialami korban.

(Bangkapos.com/Arya Bima Mahendra/)

Sumber: bangkapos
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved