Bangka Pos Hari Ini
Kisah Unang Jadi Pemulung di Pangkalpinang, Nongkrong di Pinggir Jalan Sering Diberi Orang Uang
Sudah 16 tahun Unang Gusnadi (57) hidup dari hasil memulung di Kota Pangkalpinang.
BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Sudah 16 tahun Unang Gusnadi (57) hidup dari hasil memulung di Kota Pangkalpinang.
Perantauan asal Bandung, Jawa Barat ini awalnya tidak berniat menjadi pemulung.
Ia datang ke Bangka pada tahun 2006 untuk bekerja menambang pasir timah di tambang inkonvensional (TI).
Namun, nasib berkata lain, niat memperbaiki perekonomian sirna. Bayangan mudahnya mencari uang dari menambang timah berubah ketika Unang menginjakkan kaki di Kota Pangkalpinang.
Rencana bekerja di TI tidak jadi, Unang banting stir mencari pekerjaan untuk bertahan hidup.
Akhirnya, Unang memilih menjadi pemulung di ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
“Awalnya diajak teman kerja di TI, tapi pas sudah datang ke sini gak jadi. Daripada gak ada duit buat makan buat hidup, ya mending mulung gini lah, yang penting bisa makan,” ungkap Unang saat ditemui Bangka
Pos Group di simpang lampu merah RSDKT Kota Pangkalpinang, Rabu (14/9/2022).
Baca juga: Mahasiswa di Babel Demo Tolak Kenaikan Harga BBM, Aksi Diwarnai Blokade Jalan dan Bakar Ban Bekas
Baca juga: Penghapusan Denda Disambut Baik, DPRD Pangkalpinang Minta Sosialisasi Pembayaran PBB Dimasifkan
Siang itu, Unang duduk santai di samping gerobaknya. Ia membagikan kisahnya kala pertama kali diajak
rekannya untuk beradu nasib di kota dengan slogan kota beribu senyuman.
Unang mengatakan mencari barang bekas di Kota Pangkalpinang kini tak semudah ketika awal kedatangannya tempo dulu.
Untuk mengakalinya Unang hampir setiap hari terlihat duduk santai di simpang lampu merah RSDKT.
Alhasil, ia mendapatkan beberapa bantuan berupa makanan hingga uang dari pengendara yang
melewati jalan tersebut.
Setiap hari pria asal Kota Kembang ini mampu mendapatkan uang sekitar Rp 50 ribu.
“Kalau dulu ramai banyak barang, kalau sekarang itu susah di jalan gak ada. Paling nyari di bak sampah, di Pasar Pagi atau Ramayana sana. Sehari gak tentu kadang Rp 50 ribu kadang lebih dikit kadang lebih banyak juga, tapi alhamdulillah ada lah buat makan,” kata Unang yang mengenakan baju lusuh dengan wajah lesu.
Sementara itu, Nurmala (49) yang hanya tamatan SD terpaksa menjadi pemulung karena kesulitan mendapatkan pekerjaan.
“Gak ada kerja lain, ibu hanya tamatan SD. Ada kemarin diajak kerja, tapi gak bisa lagi karena umur. Kami juga susah, rumah masih ngontrak. Pendapatan sehari tergantung, biasa dapat Rp 30 ribu. Kalau kardus juga banyak dikasih orang warung,” ungkap Nurmala.
Kebiasaan Memberi Picu Bertambahnya Pemulung
Keberadaan para pemulung mulai banyak dijumpai di Kota Pangkalpinang baik di jalanan, pasar, ataupun pusat perbelanjaan.
Beberapa dari pemulung ini dikenal dengan manusia gerobak membawa anak kecil dan berpenampilan lusuh.
Mereka sering terlihat berlalu lalang di perempatan lampu merah serta fasilitas umum lainnya.
Pengamat Sosial sekaligus Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung (UBB) Putra Pratama Saputra mengungkapkan kehadiran pemulung di antaranya dipengaruhi faktor perkembangan sebuah kota.
“Semakin meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya dunia industri, beriringan dengan timbulnya masalahmasalah sosial perkotaan, melahirkan kesulitan bagi mereka dikarenakan harus menyesuaikan diri dengan kehidupan perkotaan,” kata Putra.
Baca juga: Cuaca Bangka Belitung Hari Ini Tidak Ekstrem tapi Berpotensi Hujan Ringan
Baca juga: Tak Perlu Modal Sewa Lapak, Bisnis Online Rumahan Raup Cuan
Ia menambahkan, karakter masyarakat Bangka Belitung yang mudah merasa simpati dan terkesan terlalu baik, sedikit banyak dimanfaatkan oleh pemulung.
Bahkan segelintir masyarakat memberikan uang dengan nominal yang cukup besar, yang jarang mereka dapatkan bila memulung di daerah lainnya,” kata Putra.
Namun, Putra menilai bahwa kebiasaan mudah memberi (given) dikhawatirkan semakin menambah jumlah
pemulung di Kota Pangkalpinang.
Perilaku demikian dapat menyebabkan ketergantungan dan tidak memberdayakan pemulung.
“Sebenarnya, tidak sedikit peran yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Pangkalpinang. Ditambah diaturnya imbauan yang tertuang dalam Perda Kota Pangkalpinang Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Penanganan Gelandangan, Pengemis, dan Anak Jalanan. Pendekatan yang dilakukan baik secara preventif, kuratif, maupun rehabilitatif,” jelasnya.
Pemerintah, lanjut Putra, mesti rutin menertibkan para pemulung di setiap sudut kota. Selain itu, memberikan pembinaan dan pelatihan untuk menumbuhkan kreativitas dan produktivitas yang lebih berguna.
“Disesuaikan dengan keahlian yang miliki. Potensi yang dimiliki pemulung dapat digali, sehingga menimbulkan kesadaran bahwa mereka mampu dan layak bersaing,” tandasnya.
Di sisi lain, kata Putra, jangan sampai setelah mendapatkan pembinaan dan pelatihan, mereka
masih berhasrat tetap turun ke jalan untuk memulung.
Apalagi jika mereka menganggap bahwa menjadi pemulung lebih banyak mendapatkan penghasilan dibandingkan melakukan pekerjaan lainnya yang lebih baik.
Oleh karena itu, Putra menyarankan, meskipun hanya sebatas imbauan, sebaiknya masyarakat memang tidak perlu memberi uang kepada pemulung.
"Kalaupun masyarakat beralasan karena merasa iba dan simpati, masih banyak wadah yang bisa disalurkan atas pemberian dan bantuan tersebut, misalnya tempat ibadah, panti yatim piatu, panti asuhan, dan lain sebagainya,”
kata Putra.
Selain itu, peran masyarakat dapat membantu pemerintah dengan cara menginformasikan kepada instansi atau pihak terkait apabila melihat dan menemukan pemulung yang mengganggu ketertiban umum.
Dibekali Modal
Dosen Sosiologi Universitas Bangka Belitung Dr. Fitri Ramdhani Harahap mengatakan satu diantara faktor munculnya pemulung yakni daya tarik kota sebagai tempat mengadu nasib untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Kota Pangkalpinang sebagai Ibu kota yang memiliki fungsi sebagai pusat aktivitas ekonomi, menjadi magnet yang menarik masyarakat dari luar kota untuk datang, tinggal, dan mengadu nasib,” ujar Fitri.
Fitri mengatakan harapan untuk meningkatkan taraf hidup secara ekonomi, dengan mendapatkan perkerjaan terkadang tidak seperti yang diharapkan ketika beradu nasib di Kota
Pangkalpinang.
“Banyak hambatan yang dihadapi oleh para pendatang ini, seperti pendidikan dan pengalaman kerja yang
kurang memadai. Sehingga akhirnya mereka bertahan hidup, dengan mengharapkan belas kasihan orang
lain,” ucapnya.
Selain itu faktor pandemi Covid-19 yang melanda dua tahun terakhir, berkontribusi terhadap memburuknya
perekonomian masyarakat.
Dampak pandemi diungkapkan Fitri Harahap membuat masyarakat kehilangan pekerjaan dan penghasilan, sehingga harus bertahan dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Persoalan juga semakin diperparah oleh situasi ekonomi nasional dan dunia yang semakin sulit, yang berdampak pada terjadinya inflasi, kenaikan harga BBM, kemudian bermuara pada kenaikan harga-harga barang yang semakinsulit dijangkau masyarakat kelas bawah,” katanya.
Sementara itu untuk mengatasi permasalahan dan mengantisipasi semakin maraknya pemulung, Fitri
mengatakan perlu ada upaya pemerintah terkait pemulihan ekonomi.
“Secara struktural pemerintah harus mendorong kewirausahaan tumbuh dan berkembang, sebagai alternatif pekerjaan masyarakat. Pemulung ini juga harus diberi penyadaran bahwa turun ke jalan, apalagi dengan membawa keluarga yaitu anak-anak bukan hal yang aman untuk dilakukan,” jelasnya.
Selain itu Fitri mengharapkan pemerintah dapat fokus, dalam penyelesaian masalah kesejahteraan sosial yang kini terus terjadi.
“Pemulung ini perlu didampingi dan diberi bantuan modal, agar mereka memiliki pengetahuan, keterampilan, dan bekal yang lebih baik untuk memulai usaha atau bekerja,” ungkapnya (riz, v2, u1)