G30S PKI

Kisah Pierre Tendean, Ajudan AH Nasution yang Gugur Dalam Peristiwa G30S PKI

Pierre Tendean yang sedang bertugas di kediaman sang jenderal diculik, dibawa paksa ke Lubang Buaya, lalu dibunuh oleh satu kompi militer bersenjata

Penulis: Nur Ramadhaningtyas | Editor: Teddy Malaka
wikipedia
Pierre Tendean menjadi korban keganasan G30S setelah mengaku dirinya adalah AH Nasution. Ia berbohong demi melindungi sang atasan 

BANGKAPOS.COM - Lettu Pierre Tendean menjadi salah satu perwira tinggi yang menjadi korban peristiwa G30S PKI pada September 1965.

Ajudan Menteri Pertahanan Republik Indonesia kala itu, Jenderal Abdul Haris (A.H.) Nasution itu mengalami kejadian tak terduga yang menjadi akhir dari kisah hidupnya.

Peristiwa nahas dini hari tersebut membuatnya menjadi korban keganasan pasukan Cakrabirawa.

Pierre Tendean yang sedang bertugas di kediaman sang jenderal diculik, dibawa paksa ke Lubang Buaya, lalu dibunuh oleh satu kompi militer bersenjata beserta satu peleton milisi sipil yang disebut pro gerakan PKI

Dilansir Kompas.com dari buku Masykuri dalam buku Pierre Tendean (1983), ajudan AH Nasution yang memiliki paras tampan ini lahir di rumah sakit CBZ (R.S. Cipto Mangunkusumo) Jakarta, pada tanggal 21 Februari 1939.

Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa dan Maria Elizabeth Cornet, seorang wanita Belanda yang berdarah Prancis.

Pierre memiliki dua saudara kandung bernama Mitze Farre dan Rooswidiati.

Semasa kecil hidupnya berpindah-pindah mengikuti pekerjaan sang ayah.

Pada masa perang gerilya, keluarga mereka membantu para pemuda dengan memberi obat-obatan secara sembunyi-sembunyi.

Ia bersekolah dengan baik dan bercita-cita menjadi seorang perwira militer dengan memasuki Akademi Militer Nasional (AMN).

Keinginannya sempat ditolak keluarga yang menginginkan putra mereka untuk meneruskan jejak sang ayah, terlebih Pierre Tendean adalah putra satu-satunya.

Namun pada akhirnya ia berhasil diterima di Akademi Militer Nasional dan mengambil jurusan teknik.

Wajahnya yang tampan membuatnya dijuluki Robert Wagner dari Bumi Panorama, serta dipanggil "patona" oleh para seniornya di akademi.

Pada tahun 1962, Pierre Tendean lulus dengan nilai yang sangat memuaskan dan dimulailah karirnya di dunia militer.

Setelah lulus Letda Pierre Tendean bertugas sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II Bukit Barisan, di Medan.

Pada tahun 1963, ia berkesempatan masuk ke Sekolah Intelijen di Bogor, dan kemudian menjalankan tugas intelijen di berbagai daerah.

Pierre Tendean sangat menikmati aktivitasnya di garis depan, sementara kedua orang tuanya begitu khawatir dengan keselamatan putra semata wayangnya.

Atas usaha orang tuanya, ia kemudian ditarik ke garis belakang dan ditugaskan sebagai ajudan Jenderal A.H. Nasution.

Pierre Tendean diangkat sebagai ajudan termuda Jenderal A.H. Nasution untuk menggantikan Kapten Manulang yang gugur dalam menjalankan tugasnya di Kongo.

Jabatan itulah yang diemban Kapten Pierre Tendean dengan penuh tanggung jawab hingga akhir hayatnya.

Kisah cinta sang Kapten

Pierre Tendean dan Rukmini Salah satu kisah yang menarik perhatian publik adalah cerita cinta antara Kapten Pierre Tendean dan Rukmini.

Kapten Pierre Tendean bertemu Rukmini di rumah orang tuanya saat hendak bertemu Pak Chaimin.

Hubungan antara keduanya terus terjalin di sela kesibukan tugas Kapten Pierre Tendean meski harus berpisah jarak.

Keluarga Pierre Tendean sempat ragu kepada pilihan sang anak, terlebih karena adanya perbedaan keyakinan.

Pierre Tendean lahir di keluarga Kristen sementara Rukmini menganut agama Islam.

Namun melihat kesungguhan sang putra yang rela berpindah agama demi Rukmini, pada akhirnya keluarga bisa menerima pilihan sang putra dengan tangan terbuka.

Demi bisa mempersunting pujaan hatinya, Pierre Tendean bahkan bekerja mengemudikan traktor di pengerjaan jalan Silang Monas untuk menambah penghasilannya.

Tak lama berselang pada tanggal 31 Juli 1965, ia menyempatkan untuk menemui keluarga Rukmini untuk melamar.

Dari pertemuan itu diputuskan bahwa keduanya akan menikah pada bulan November 1965.

Sayang takdir mendahului, Kapten Pierre Tendean gugur dan pernikahan yang sedianya dilangsungkan dalam beberapa hari harus kandas karena peristiwa naas tersebut.

Diketahui bahwa Pierre Tendean mendapat empat tembakan dari belakang oleh anggota Pemuda Rakyat yang bernama Kodik.

Kepergian Pierre Tendean di usianya yang baru menginjak 26 tahun membuatnya ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada 5 Oktober 1965.

Ia pun menerima gelar kehormatan dengan dinaikkan pangkatnya menjadi Kapten.

(Bangkapos.com/Nur Ramadhaningtyas)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved