Dibongkar Ahli, Inilah Penyebab Pertalite Lebih Boros dan Cepat Habis

Dibongkar Ahli, Inilah Penyebab Pertalite Lebih Boros dan Cepat Habis, yuk Simak Penjelasannya

Editor: Evan Saputra
Facebook
Tangkapan layar unggahan foto yang disebut perbandingan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite lama dengan yang baru. 

BANGKAPOS.COM - Belakang ini banyak sekali pengguna kendaraan roda dua dan empat yang mengeluhkan borosnya Pertalite.

Hal itu diungkapkan pemilik motor dan mobil setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu.

Lantas apa penyebab BBM jenis pertalite dianggap lebih boros?

Begini penjelasan ahli ITB soal ramainya keluhan pemotor pakai Pertalite makin boros dan cepat habis.

Belakangan ini ramai di media sosial soal Pertalite yang lebih boros dan cepat habis setelah naik harga jadi Rp10.000 per liter.

Pihak Pertamina sendiri sudah membantah ada penurunan kualitas Pertalite .

Saat ini kualitas Pertalite yang dijual sama seperti yang sebelum naik harga.

Kabar Pertalite yang menjadi lebih boros dan cepat habis dijelaskan ahli ITB.

Ahli Konversi Energi Fakultas Teknik dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto Zaenuri membongkar beberapa dugaan penyebabnya.

"Tak sedikit kebiasaan pemilik kendaraan beli bensin berdasarkan nominal Rupiah, bukan literan," buka Pak Yus, sapaan akrabnya.

Secara tidak sadar, kenaikan harga Pertalite dengan pembelian nominal yang sama tentu mengurangi jumlah literan yang didapat.

Sebelumnya Pertalite dijual Rp 7.650/liter yang sekarang menjadi Rp 10.000/liter.

Contoh biasanya beli Rp 100 ribu dapat 13,07 liter, sekarang hanya 10 liter.

"Karena lebih sedikit dapatnya jadi penggunaan Pertalite terasa lebih boros dari jarak tempuh yang bisa dicapai," ujar Pak Yus.

Jauh lebih dalam, Pertalite jadi lebih boros karena BBM itu sendiri.

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perubahan kandungan nilai kalor di dalamnya.

"Nilai kalor menentukan besaran energi densitas per liter yang dihasilkan dari massa jenis bahan bakar," terang Pak Yus.

Nilai kalor bisa berubah dari proses pengolahan minyak mentah di kilang menjadi nafta.

Dalam pembuatan bahan bakar, nafta yang dihasilkan terkadang bisa tinggi atau bisa rendah bergantung dari kualitas minyak mentah.

"Karena spesifikasi nafta hasil produksi kilang berubah-ubah terus, maka setiap parameter spesifikasi bahan bakar dinyatakan dalam batas minimum dan maksimum," jelas Pak Yus.

Pada Pertalite, rentangkan massa jenis densitas energi 715 kg/m3 sampai 770 kg/m3.

Ketika massa jenis yang didapat paling rendah, densitas energi yang dihasilkan lebih kecil.

Sehingga energi per liter Pertalite yang dibakar mesin menghasilkan tenaga yang kecil.

Inilah yang membuat konsumsi BBM jadi lebih boros karena untuk tenaga yang setara butuh volume bahan bakar lebih banyak.

Selain dari proses pengolahan, nilai kalor juga bisa berubah akibat suhu udara dan tangki bahan bakar.

"Pengaruhnya ke massa jenis bahan bakar yang menentukan nilai kalor untuk menghasilkan densitas energi," tutur Pak Yus.

Ketika suhu meningkat, massa jenis bahan bakar akan mengembang.

Namun densitas energi yang dihasilkan bisa lebih kecil sehingga energi yang dibakar lebih rendah.

Pak Yus juga melihat isu Pertalite paska kenaikan harga menguap.

"Kalau rasanya tidak mungkin, kerugian SPBU bisa sangat besar karena sudah ada target volume minimum Pertalite yang dijual harian," kata Pak Yus.

"Jika melebihi, volume Pertalite yang diterima tidak sebanyak saat diisi kendaraan," ujarnya.

Sumber: Motor Plus
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved