Tunjangan Profesi Guru dan Dosen Akan Dicabut, Begini Faktanya Berdasarkan RUU Sisdiknas

RUU sisdiknas sendiri sudah resmi diajukan pemerintah dalam prolegnas prioritas perubahan tahun 2022 di DPR RI 

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
Tribun Pontianak
Ilustrasi guru honorer 

BANGKAPOS.COM---Tunjangan  profesi guru akan di cabut, begini faktanya berdasarkan RUU Sisdiknas.

Beberapa waktu lalu heboh, pemberitaan mengenai tunjangan profesi guru yang akan dicabut.

RUU sisdiknas sendiri sudah resmi diajukan pemerintah dalam prolegnas prioritas perubahan tahun 2022 di DPR RI 

Usulan tersebut disampaikan pada Rapat Kerja Pemerintah dengan Badan Legislasi pada Rabu (24/8/2022) lalu.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyebut, RUU Sisdiknas menjadi kebijakan yang paling berdampak positif bagi kesejahteraan para guru.

Kebijakan untuk memberikan penghasilan layak bagi semua guru merupakan upaya pemerintah menjawab keluhan para guru selama ini.

"Belum pernah ada rancangan Undang-Undang yang benar-benar punya dampak lebih holistik dan terintegrasi terhadap peningkatan kesejahteraan guru."

"Mungkin RUU Sisdiknas akan menjadi kebijakan yang paling berdampak positif kepada kesejahteraan guru," ujar Nadiem melalui keterangan tertulis, Rabu (31/8/2022).

Lantas, kenapa pasal soal besaran tunjangan tidak ada lagi dalam RUU Sisdiknas?

Melansir laman sisdiknas.kemdikbud.go.id, hal tersebut dikarenakan UU ASN dan UU Ketenagakerjaan sudah mengatur mekanisme penentuan penghasilan yang layak.

Sehingga dengan mengikuti mekanisme yang sudah diatur dalam kedua undang-undang tersebut, guru akan lebih cepat mendapatkan penghasilan yang layak.

Hal ini merupakan bagian dari strategi untuk memberikan pendapatan yang layak bagi guru yang disusun Kemendikbudristek.

UU Guru dan Dosen adalah penyebab utama terhambatnya penghasilan yang layak bagi guru karena membuat mekanisme terpisah dari UU ASN dan UU Ketenagakerjaan berdasarkan sertifikasi.

Akibatnya, guru tidak bisa mendapatkan penghasilan yang sepantasnya karena menunggu antrean sertifikasi yang panjang.

Ke depannya, sertifikasi hanya berlaku untuk calon guru baru.

Sementara guru yang sudah mengajar, tapi belum sertifikasi diputihkan kewajibannya dan langsung mengikuti mekanisme dalam UU ASN dan UU Ketenagakerjaan untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Sebagai informasi, Nadiem juga mengingatkan bahwa Kemendikbudristek telah memperjuangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) agar dapat digunakan secara fleksibel.

Salah satunya untuk pembiayaan penghasilan guru honorer termasuk pada saat pandemi.

"Fleksibilitas itu terus kami lanjutkan sampai sekarang. Kami juga memperjuangkan bantuan subsidi bagi guru, dan tentunya sebanyak 300.000 guru honorer yang sudah menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) merupakan sebuah capaian yang besar," jelas Nadiem.

Pemerintah resmi mengajukan RUU Sisdiknas dalam Prolegnas Prioritas Perubahan Tahun 2022 kepada DPR RI.

Usulan tersebut disampaikan pada Rapat Kerja Pemerintah dengan Badan Legislasi pada Rabu (24/8/2022) lalu.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyebut, RUU Sisdiknas menjadi kebijakan yang paling berdampak positif bagi kesejahteraan para guru.

Kebijakan untuk memberikan penghasilan layak bagi semua guru merupakan upaya pemerintah menjawab keluhan para guru selama ini.

"Belum pernah ada rancangan Undang-Undang yang benar-benar punya dampak lebih holistik dan terintegrasi terhadap peningkatan kesejahteraan guru."

"Mungkin RUU Sisdiknas akan menjadi kebijakan yang paling berdampak positif kepada kesejahteraan guru," ujar Nadiem melalui keterangan tertulis, Rabu (31/8/2022).

Lantas, kenapa pasal soal besaran tunjangan tidak ada lagi dalam RUU Sisdiknas?

Melansir laman sisdiknas.kemdikbud.go.id, hal tersebut dikarenakan UU ASN dan UU Ketenagakerjaan sudah mengatur mekanisme penentuan penghasilan yang layak.

Sehingga dengan mengikuti mekanisme yang sudah diatur dalam kedua undang-undang tersebut, guru akan lebih cepat mendapatkan penghasilan yang layak.

Hal ini merupakan bagian dari strategi untuk memberikan pendapatan yang layak bagi guru yang disusun Kemendikbudristek.

UU Guru dan Dosen adalah penyebab utama terhambatnya penghasilan yang layak bagi guru karena membuat mekanisme terpisah dari UU ASN dan UU Ketenagakerjaan berdasarkan sertifikasi.

Akibatnya, guru tidak bisa mendapatkan penghasilan yang sepantasnya karena menunggu antrean sertifikasi yang panjang.

Ke depannya, sertifikasi hanya berlaku untuk calon guru baru.

Sementara guru yang sudah mengajar, tapi belum sertifikasi diputihkan kewajibannya dan langsung mengikuti mekanisme dalam UU ASN dan UU Ketenagakerjaan untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Sebagai informasi, Nadiem juga mengingatkan bahwa Kemendikbudristek telah memperjuangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) agar dapat digunakan secara fleksibel.

Salah satunya untuk pembiayaan penghasilan guru honorer termasuk pada saat pandemi.

"Fleksibilitas itu terus kami lanjutkan sampai sekarang. Kami juga memperjuangkan bantuan subsidi bagi guru, dan tentunya sebanyak 300.000 guru honorer yang sudah menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) merupakan sebuah capaian yang besar," jelas Nadiem.

PGRI Protes dan Minta Kemendikbud Ristek Jujur

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) agar bisa jujur dan terbuka soal tunjangan profesi guru (TPG) di dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas).

Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi menyatakan prihatin atas penghapusan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang kemudian digabung dalaam RUU Sisdiknas.

"Itu karena tidak ada lagi penghargaan kepada guru yang jumlahnya 3,1 juta orang sebagai sebuah profesi," ucap dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/9/2022).

Padahal, kata dia, profesi lainnya diakui dalam sebuah UU, seperti UU 18/2003 tentang Advokat, UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU 38/2014 tentang Keperawatan, UU 11/2014 tentang Keinsinyuran serta berbagai profesi lainnya.

Penghapusan guru sebagai sebuah profesi, sebut dia, menihilkan pengabdian serta kerja keras guru yang selama ini dengan tulus ikhlas bertugas diseluruh pelosok negeri untuk mencerdaskan anak-anak bangsa.

"Bagi kamu UU Guru dan Dosen adalah Lex Specialis Derogat Legi Generali bagi profesi guru," tegas dia.

Penghapusan UU Guru dan Dosen sangat menyakitkan

Dia menyebut, seiring dengan penghapusan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tunjangan profesi guru juga bakal dihapuskan.

Penghapusan tunjangan profesi guru adalah kebijakan yang sangat menyakitkan dan merendahkan.

Unifah mengakui, tunjangan profesi bukan sekadar persoalan uang, tetapi sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru.

Guru, kata dia, merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara.

Terkait tunjangan profesi, memang dalam RUU Sisdiknas Pasal 145 Ayat (1) dinyatakan

, "Setiap guru dan dosen yang telah menerima tunjangan profesi, tunjangan khusus, dan/atau tunjangan kehormatan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebelum UU ini diundangkan tetap menerima tunjangan tersebut sepanjang masih memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

"Jadi dalam pandangan kami, frasa sebelum UU ini diundangkan, artinya tunjangan profesi guru akan hilang, jika RUU Sisdiknas ini diundangkan," jelas dia.

Dia mengungkapkan, jika Kemendikbud Ristek bersungguh-sungguh akan tetap memberikan tunjangan profesi guru, maka frasa "sebelum undang-undang ini diundangkan", maka harus dihapus.

Penghapusan itu, tambah dia, sekaligus agar substansi RUU Sisdiknas tidak bias dan multitafsir, serta ada jaminan guru tetap menerima tunjangan profesi. Lebih dari itu, Kemendikbud Ristek perlu menjelaskan secara secara jujur dan terbuka, mengapa muncul pemikiran untuk menghapus tunjangan profesi guru ini.

Kemendikbud Ristek secara lisan menyatakan, pemberian tunjangan guru Aparatur Sipil Negara (ASN) akan mengacu kepada Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) berupa tunjangan fungsional.

Meski demikian, ketentuan ini tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas.

Selain itu mesti disadari, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan/kepangkatan seseorang.

Adapun tunjangan profesi guru landasan hukumnya sangat kuat yakni Pasal 16 Ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Karena tidak dinyatakan secara tertulis, maka menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbud Ristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan 'fungsional' untuk guru.

Jika besaran tunjangan profesi guru diikat oleh UU sebesar 1 kali gaji, lalu bagaimana dengan tunjangan fungsional?

Selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbud Ristek, apalagi dinyatakan secara tegas dalam UU, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru.

Menurut Unifah, kekhawatiran ini bisa dipahami, karena ketentuan yang sudah tertulis secara tegas dalam undang-undang pun tidak dilaksanakan.

Misalnya, dalam Pasal 82 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan, guru yang belum mendapat sertifikat pendidik wajib memiliki sertifikat pendidik paling lama 10 tahun sejak UU tersebut diberlakukan.

Artinya, persoalan sertifikat pendidik mestinya sudah selesai pada tahun 2015. Kenyataannya, Kemendikbud Ristek mengakui sampai 2022 masih ada 1,6 juta guru yang belum mendapat sertifikat pendidik.

"Jadi, siapa yang lalai dalam menjalankan amanat UU Guru dan Dosen?" tegas dia.**

(Tribunnews.com/Kompas.com)

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved