Berita Pangkalpinang
Guru BK SMKN 1 Pangkalpinang Sebut Kecemasan Siswa Kerap Terjadi, Namun Masih Tahap Wajar
Asto mengemukakan, jika berdasarkan pengamatan karakter siswa di sekolah, kecemasan pada siswa tak dipungkiri memang kerap terjadi.
BANGKAPOS.COM, BANGKA - Sebanyak 2,45 juta remaja di Indonesia mengalami gangguan mental. Hal itu berdasarkan hasil riset Universitas Gajah Mada (UGM) bersama University of Queensland di Australia dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Amerika Serikat.
Gangguan mental ini terdiri dari gangguan kecemasan (anxiety disorder), depresi mayor, gangguan perilaku, stres pascatrauma, dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas.
Gangguan kecemasan paling banyak dialami remaja usia sampai usia 17 tahun.
Menanggapi hal tersebut, Guru Bimbingan Konseling SMKN 1 Pangkalpinang Y Asto Nursihwana, mengemukakan, jika berdasarkan pengamatan karakter siswa di sekolah, kecemasan pada siswa tak dipungkiri memang kerap terjadi. Namun masih dalam tahap yang wajar.
"Permasalahan yang dihadapi, sejauh ini tarafnya masih belum dikategorikan parah. Tapi jika tidak diatasi dengan baik, maka akan mengarah ke situasi yang bisa diatasi kembali," kata Asto kepada Bangkapos.com Rabu (26/10/2022) siang.
Menurutnya, kecemasan merupakan perasaan yang tidak nyaman yang memunculkan rasa takut dan khawatir, sehingga muncullah kecemasan berlebihan.
Ia tak menampik kecemasan berlebihan ini membuat perubahan prilaku yang cukup signifikan pada siswa, misalnya saja menjadi pendiam, pemurung dan pemalu.
Kondisi ini dipicu berbagai faktor baik eksternal maupun internal, sehingga memengaruhi prilaku para remaja.
Asto melanjutkan, utamanya adalah peran keluarga sebagai lingkungan terdekat para remaja. Keluarga berperan penting membentuk karakter mereka, terlebih usia remaja merupakan peralihan menuju dewasa.
"Dari pengamatan, ternyata keluarga broken home itu sangat memengaruhi mereka menjadi pendiam, dan jarang bercerita. Permasalahan ini juga berangkat dari keluarga yang kurang harmonis, pola asuh yang kurang tepat dan lainnya," imbuhnya.
Oleh karena itu, remaja mesti diberikan kasih sayang tulus dari keluarga sehingga tumbuh kembangnya menjadi remaja yang berprestasi.
Disamping itu, kondisi eksternal berupa lingkungan pertemanan remaja turut memengaruhi prilaku mereka saat ini.
Terlebih remaja saat ini tumbuh di era perkembangan teknologi yang kian pesat, sehingga mudah tergerus arus negatif sosial media.
Baca juga: Sinta Siswi SMK di Pangkalpinang Alami Kecemasan Berat, Suka Menyendiri di Toilet, Ini Alasannya
Hal itu memunculkan permasalahan baru yang mengerucut pada proses belajar dan hasil belajar terhadap siswa yang kian menurun.
"Contoh umum yang sering dihadapi adalah bagaimana mereka menjadi siswa yang disiplin itu sulit sekali, pola pikir yang dewasa itu masih sedikit, karena kecemasan yang terjadi pada mereka cukup berpengaruh. Adab sopan santun siswa saat ini berbeda dengan remaja saat dahulu," imbuhnya.
Asto mengatakan, ketika remaja cemas mereka cenderung lari ke arah yang membuat mereka nyaman, namun nyatanya itu hal yang negatif.
"Contoh, gabung nongkrong bersama teman-teman untuk menghilangkan kecemasan dan stresnya dengan minuman keras atau nongkrong overtime," jelasnya.
Oleh karena itu, lanjut dia peran guru BK sangat penting di sini dalam memberi arahan agar emosi mereka dapat stabil.
"Kecemasan itu tidak kita pungkiri pasti ada, ketika mereka curhat becerita apa yang dialami, di sini kita harus mendengarkan," tandasnya.
Sebab, rata-rata para remaja mempunyai pendapat yang tidak bisa diungkapkan ke orangtua sehingga disimpan sendiri
"Biasanya orang dewasa itu, jika mereka berbicara, cenderung memotong atau menghakimi," sebutnya.
Kondisi ini membuat remaja tidak nyaman, karena pada dasarnya mereka butuh tempat untuk keluh kesah dan ada orang yang bisa mendengarkan ceritanya. Oleh sebab itu, mereka jarang berinisiatif untuk menceritakan permasalahan yang dihadapi.
"Kita harus memberikan dorongan mereka agar mau konseling. Kalau dari diri mereka sendiri yang inisiatif untuk datang bercerita, itu sangat susah. Karena mereka beranggapan jika bercerita lebih senang dengan seumuran mereka," jelasnya.
Untuk mengatasinya, guru BK mesti menghilangkan jarak antar peserta didik, sehingga mereka merasa layaknya seorang teman.
"Karena tidak kita pungkiri bahwa jarak itu pasti ada sehingga mereka sungkan. Misalnya karena guru yang lebih dewasa sehingga mereka tidak nyaman bercerita. Menghilangkan gap itu dengan jalur yang tepat, misalnya bercanda dan tidak over (berlebihan)," tutur Asto.
Jika rasa sungkan itu dihilangkan, siswa akan bercerita dengan sendirinya mengungkapkan isi hati
"Kami sebagai guru BK dituntut untuk fleksibel, kapan menjadi teman untuk mereka dan menjadi guru, serta tenaga pendidik," ucapnya. (Bangkapos.com/Akhmad Rifqi Ramadhani).