Berita Pangkalpinang
Soal Usulan Masa Jabatan Kades hingga 9 Tahun, Akademisi Nilai Berpotensi Timbulkan Abuse of Power
Menurut Novendra, jabatan yang terlalu lama justru akan berpotensi membentuk 'kerajaan kecil' di desa.
BANGKAPOS.COM, BANGKA - Dosen Ilmu Politik Universitas Bangka Belitung (UBB) Novendra Hidayat menilai, usulan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) tentang masa jabatan kepala desa (kades) sebaiknya lebih lama, yakni dari 6 tahun menjadi 9 tahun, sangat kurang tepat.
Menurutnya, jabatan yang terlalu lama justru akan berpotensi membentuk 'kerajaan kecil' di desa. Apalagi praktik pengawasannya selama ini tidak jalan dan kurang efektif.
Di sisi lain, usulan masa jabatan kades 9 tahun ini seakan makin menegaskan adanya 'power syndrom' di ruang-ruang kekuasaan kita saat ini. Sebelumnya, juga ada wacana presiden 3 periode, dan sekarang usulan kades menjadi 9 tahun.
"Sejatinya, dengan jabatan 6 tahun saja, kades mesti telah optimal membangun desa. 5-6 tahun adalah waktu ideal masa berlaku sebuah eksistensi konsolidasi kekuasaan," kata Novendra kepada Bangkapos.com Kamis (27/10/2022) sore.
Rentang waktu ini, lanjutnya, menunjukkan tidak terlalu singkat ataupun terlalu lama dan menjenuhkan untuk seseorang mengemban amanah. Tentunya, hal ini bisa berlaku bagi semua jabatan yang berkonsep periodik.
Selain itu, hal yang patut diwaspadai, masa jabatan kades 9 tahun akan sangat rawan menghadirkan potensi konflik kepentingan.
Yakni, adanya potensi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) karena kesewenang-wenangan pejabat desa yang akan berpeluang sangat tinggi, potensi korupsi dan atau penyimpangan kekuasaan untuk kepentingan pribadi yang juga sangat besar.
"Terlebih misalnya, jika mengutip data KPK-RI, ada 601 desa, 686 pihak perangkat desa dan kepala desa terlibat kasus korupsi yang terjadi sepanjang 9 tahun terakhir, sejak 2012 hingga 2021," ucapnya
Pria yang saat ini menempuh studi doktoral di Program Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran itu mengatakan, ratusan kasus hukum yang menjerat perangkat desa dan kades, seakan menegaskan betapa sangat sengkarutnya pengelolaan desa.
Tak hanya itu, adanya praktik money politics yang juga mulai menggerogoti praktik politik pemilihan kepala desa (Pilkades).
Dengan masa jabatan 9 tahun, lanjutnya, tentu investasi politik para politisi berduit akan habis-habisan untuk meraih kemenangan.
"Akibatnya masa 9 tahun akan menjadi arena potensial untuk berburu rente, atau mendapatkan kembali modal politik yang banyak terkuras selama Pilkades," jelasnya.
Sebetulnya, kata Novendra, ada juga ada sisi positifnya, yaitu agar lebih efektif secara periode elektoral sehingga tidak perlu lagi ada 3 periode kepemimpinan kades, sebagaimana yang sudah berlaku pada aturan sebelumnya melalui Pasal 39 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Oleh karena itu dia mengimbau agar pemerintah dapat meninjau ulang kebijakan ini dengan pertimbangan yang matang.
Berembuk dengan Pakar Sebelum Rumuskan Kebijakan
Diberitakan sebelumnya, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim mengusulkan masa jabatan kades sebaiknya lebih lama, dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Perpanjangan masa jabatan kades diperlukan untuk pembangunan desa yang lebih efektif. Dengan rentang waktu 9 tahun jabatan, diharap kades bisa fokus bekerja tanpa terpengaruh dinamika politik desa akibat pilkades.
Namun, di sisi lain, jabatan 6 tahun saja, ada kades yang seperti raja kecil di desanya, apalagi 9 tahun.
Menanggapi hal tersebut Kabid Pemberdayan Desa Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (Dinsos PMD) Provinsi Bangka Belitung Nizwan Sastrayuda menyebut, perpanjangan masa jabatan 9 tahun itu tidak efektif.
Pasalnya, jabatan pimpinan selama 9 tahun itu akan menimbulkan kejenuhan bagi pemimpin, sehingga cenderung menimbulkan hal-hal tidak benar di desa seperti penyalahgunaan anggaran.
Nizone menjelaskan, pada dasarnya pimpinan desa efektif menjabat sekitar 5-6 tahun tahun saja agar ada jeda istirahat, sehingga masyarakat bisa melihat programnya dan menilai pimpinannya.
"Karena kepala desa ini dipilih oleh rakyat. Karena jika kekuasaanya lebih lama maka istilahnya kades seperti raja kecil di daerahnya," ucapnya kepada Bangkapos.com Kamis (27/10/2022) siang.
Namun di sisi lain, Nizone menilai kebijakan itu mungkin sudah dirumuskan dari pakar-pakar pemerintahan desa atau guru besar, sehingga beranggapan bahwa kebijakan tersebut dapat berdampak positif terhadap pembangunan desa.
"Selama itu bagus bagi pemerintahan desa kita dukung, tapi selagi kurang efektif mungkin bisa dipertimbangkan," tandasnya.
Dari sisi positif, kerja pemerintahan desa dapat tuntas dengan masa yang kerja yang lebih panjang san serapan anggaranya dapat lebih bagus.
"Mungkin kinerjanya lebih bagus tercapai secara progres kadang lima tahun mungkin tidak tercapai," imbuh Nizwan.
Namun, pihaknya belum mendapat informasi lebih jauh mengenai kebijakan itu karena masih berupa usulan.
"Biasanya nanti dikirim edaran kuisioner sebelum kebijakan itu diedarkan, di sana kita akan memberikan masukan," jelasnya.
Oleh karena itu,Nizwan mengimbau, pihak kementerian nantinya dapat berembuk dengan para pakar sebelum nantinya merumuskan kebijakan tersebut, agar berdampak baik bagi masyarakat. (Bangkapos.com/Akhmad Rifqi Ramadhani)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20221026-pilkades1.jpg)