Film
Review Film Black Panther: Wakanda Forever, Pertarungan Sengit dengan Bangsa Talokan
Meskipun tidak memiliki daya tahan dan koherensi naratif dari pendahulunya, penulis merasa film ini unggul dengan caranya sendiri.
Penulis: Nur Ramadhaningtyas |
BANGKAPOS.COM -- Spoiler Alert! Artikel ini mengandung bocoran film Black Panther: Wakanda Forever.
Setelah empat tahun yang panjang, "Black Panther" akhirnya kembali hadir di layar kaca.
Meski tanpa kehadiran King T'Challa's (Black Panther) yang diperankan Chadwick Boseman sebagaimana diketahui meninggal dunia pada tahun 2020, sang sutradara Ryan Coogler berhasil membuat film ini tak terpenjara dalam kesedihan mendalam.
Black Panther: Wakanda Forever dimulai dengan penghormatan kepada Raja T'Challa; aktornya yang meninggal karena kanker usus di usia 44 tahun.
Anggota keluarga T'Challa yakni Ratu Ramonda (Angela Bassett), Putri Shuri (Letitia Wright) dan Jenderal Okoye (Danai Gurira) harus mendikte dan melaksanakan tindakan militer yang akan menentukan masa depan Wakanda.
Baca juga: INGAT! Pemprov Bangka Belitung Gelar Pemutihan Pajak Kendaraan Selama 22 Hari, Catat Ini Lokasinya
Di sini, Ryan Coogler bisa saja mengganti Boseman dengan sosok lain. Namun ia dengan bijak melanjutkan kekuatan T'Challa's lewat para keluarganya.
Angela Bassett dan Danai Gurira memiliki keyakinan yang amat besar membuat penonton hanyut dalam duka kehilangan sang raja yang begitu dicintai penonton.
Jika di film pertama Black Panther berfokus kepada perebutan takhta, di film kedua ada banyak persoalan yang diusung.
Shuri sedang berjuang untuk melewati kematian kakaknya, gejolak emosi di dalam dirinya pun mengancamnya dalam melangkah.
Sementara itu, Ratu Ramonda harus menghadapi konsekuensi geopolitik yang tidak diinginkan dari keputusan kerajaan mendiang putranya agar Wakanda akhirnya keluar dari balik kamuflase bertenaga vibraniumnya dan ke panggung dunia.
Aneka permasalahan mulai dari emosional internal, politik luar negeri, konflik kepentingan, hingga kemudian muncul bangsa Talokan yang menjadi titik konflik utama dalam film ini.
Tidak seperti Wakanda, kerajaan Mesoamerika ini terletak di kedalaman lautan, dengan prajurit berkulit biru manusia duyung yang semuanya memiliki kekuatan dan daya tahan manusia super,
Dan pemimpin mereka, Namor, rela menenggelamkan dunia untuk memastikan bangsanya baik-baik saja.
Ryan Coogler dengan apik mengenalkan kepada penonton akan bangsa baru yang cukup asing ini.
Lewat sinematografinya, bangsa Talokan yang digambarkan hidup di air diperkenalkan dengan begitu menarik.
Namor dengan penampilan dan kemampuan yang uniknya juga tak kalah menyeramkan saat keinginannya untuk menghancurkan dunia mencuat.
Coogler kemudian memainkan emosi penonton saat mengetahui kehadiran bangsa yang begitu kuat ditengah rapuhnya negeri Wakanda.
Salah satu plot yang sedikit sembrono adalah alur pengenalan Michaela Cole sebagai prajurit Dora Milaje Aneka dan Dominique Thorne sebagai ahli teknologi muda Riri Williams.
Padahal jauh daripada itu, konflik yang muncul antara Talokan dan Wakanda sebenarnya bermula dari sebuah mesin yang dibuat oleh Riri Williams.
Meski begitu, Coogler dan pemerannya berhasil menampilkan pertarungan yang patut diacungi jempol.
Tingkat emosi yang mendesis itu mengalir sepanjang film, pertarungan antara dendam dan membela harga diri sangat apik disampaikan.
Pada akhirnya, Wakanda menyadari bahwa mereka memiliki musuh yang sama dan cara penyelesaian masalah yang berbeda.
Meski bukan film terbaik Marvel bagi penulis, menonton Black Panther: Wakanda Forever ternyata tak hanya soal menggugurkan tontonan dengan plot terbesar di semesta.
(Bangkapos.com/Nur Ramadhaningtyas)
