Berita Selebritis

Inilah Kiai Modjo, Leluhur Duta Sheila On 7 yang Merupakan Jenderal Perang Pangeran Diponegoro

Tak banyak yang tahu, ternyata leluhur Duta Sheila On 7 adalah ulama dan jenderal perang Pangeran Diponegoro, bernama Kiai Modjo.

Penulis: Dedy Qurniawan CC | Editor: Dedy Qurniawan
IDprajuritpena
Tak banyak yang tahu, ternyata leluhur Duta Sheila On 7 adalah ulama dan jenderal perang Pangeran Diponegoro, bernama Kiai Modjo. 

BANGKAPOS.COM - Tak banyak yang tahu, ternyata leluhur Duta Sheila On 7 adalah ulama dan jenderal perang Pangeran Diponegoro, bernama Kiai Modjo.

Leluhur Duta Sheila On 7 itu adalah Kiai Modjo.

Karena itulah, vokalis band Sheila On 7 ini punya nama Modjo pada nama aslinya,  Akhdiyat Duta Modjo.

Diketahui, Kiai Modjo atau Kiai Madja adalah sosok bernama asli Muslim Mochammad Khalifah.

Kiai Modjo lahir di Surakarta, Jawa Tengah tahun 1792.

Kiai Modjo dikenal sebagai ulama dan tokoh militer kepercayaan Pangeran Diponegoro.

Kiai Modjo merupakan kerabat Pangeran Diponegoro dan masih memiliki darah Keraton Yogyakarta.

Kiprah Kiai Modjo sendiri merupakan pengatur strategi militer saat melawan Belanda ketika Perang Jawa meletus pada tahun 1825 sampai 1830.

Berkat kepiawaiannya, Kiai Modjo juga menjadi jenderal perang sekaligus guru spiritual Pangeran Diponegoro.

Kiai Modjo sendiri meninggal di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara pada 20 Desember 1849 dalam pengasingan Belanda.

Duta pun menceritakan kisahnya bagaimana bisa menggunakan nama Modjo di belakangnya.

Pria kelahiran 30 April 1980 ini mengaku, nama itu disematkan ayahnya ketika ia lahir karena Duta masih keturunan dari Pahlawan Nasional Kiai Modjo.

Menurut Duta, nama Modjo tak hanya digunakan olehnya, tetapi juga oleh ayah, kakek, serta beberapa pamannya.

“Dulu kecil diceritakan kalau saya keturunan Kiai Modjo, nama kakek saya Yusuf Modjo, terus pakde-pakde saya, almarhum bapak saya, di belakangnya pakai nama Modjo juga,” ucap Duta dikutip dari kanal YouTube Salim A.Fillah.

Misteri Kakek Buyut Duta Sheila on 7, Kiai Mojo Bukan Orang Sembarangan di Indonesia
Misteri Kakek Buyut Duta Sheila on 7, Kiai Mojo Bukan Orang Sembarangan di Indonesia (Tribunstyle)

Penyematan nama Modjo kepada dirinya, kata Duta, selain karena leluhurnya, ayahnya juga punya kebanggaan atas sosok Kiai Modjo.

“Tapi tidak semua anak pakde saya pakai nama Modjo, nah bapak saya yang termasuk kasih nama anaknya ada Modjo-nya, karena termasuk bangga merupakan keturunan Kiai Modjo,” kenang Duta.

Semasa hidup, lanjut Duta, ayahnya sering berpesan untuk Duta agar punya kebanggaan dengan leluhurnya tersebut dan bisa mewariskan segal hal-hal baik dari Kiai Modjo.

“Bapak sering cerita kalau saya harus bangga, harus bisa nerusin semangatnya,” ucap Duta. Duta pun meneruskan rasa bangga itu dengan menyematkan nama anak laki-lakinya dengan nama Modjo juga.

Namun, kata Duta, ayahnya tak sempat melihat cucunya menggunakan nama Modjo karena lebih dulu meninggal sebelum Duta menikah.

“Kan bapak saya meninggal pas saya SMA. Jadi bapak saya enggak sempat lihat cucunya pakai nama Modjo juga,” ucap Duta.

Baca juga: Sosok Adelia Lontoh Istri Duta Sheila On 7, Bintang Video Klip yang Dinikahi Sang Vokalis

Sosok Kiai Modjo

Dikutip dari TribunnewsWiki,  Kyai Muslim Muhamad Halifah atau yang dikenal dengan Kiai Modjo lahir pada tahun 1764 dan wafat pada 1849, merupakan salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830).

Menurut F.V.A. De Stuers (1847) Kyai Mojo berasal dari Desa Mojo. Kyai Mojo merupakan orang yang paham dengan Kitab Suci Al-Qur’an, sejarah, dan manuskrip-manuskrip Arab. (1)

Kyai Mojo lahir di daerah Jawa Tengah di bawah kekuasaan kasunanan Surakarta padahal ibunya adalah bangsawan dari Kesultanan Yogyakarta.

Nama Mojo sendiri adalah nama di suatu desa tempat kelahirannya di Pajang, Surakarta.

Ayah Kyai Mojo bernama Iman Abdul Ngarip dan ibunya bernama R.A Mursilah.

Ayahnya merupakan seorang ulama besar dengan sebutan Kyai Baderan. Sebenarnya kedua orang tua Kyai Mojo merupakan seorang pendakwah.

Ayahnya merupakan keturunan bangsawan dari Keraton Surakarta namun memilih untuk menjadi seorang pendakwah, sedangkan ibunya adalah adik Sultan Hamengkubuwono III.

Meskipun keturunan bangsawan, namun Kyai Mojo sejak lahir hidup dalam lingkungan sederhana berbaur dengan masyarakat kecil.

Hubungan keduanya semakin erat setelah Kyai Mojo menikahi janda dari Pangeran Mangkubumi (Pamanya Diponegoro), meskipun keduanya adalah sepupu namun Diponegoro kerap memanggil Kyai Mojo dengan sapaan paman.

Kyai Mojo sejatinya sudah diberikan pengetahuan agama oleh ayahnya yang merupakan seorang ulama, kemudian saat dewasa dia melaksanakan ibadah haji.

Usai beberapa saat di Mekkah, ia kemudian pulang ke tanah air, dan ia pun menjadi penerus ayahnya mengajar di pondok pesantren di desanya sehingga mendapatkan banyak murid atau pengikut.

Kyai Mojo memiliki cita-cita mulia untuk membangun suatu kesultanan yang menegakkan hukum syariat Islam.

Ia juga kerap aktif dalam pemberantasan kegiatan syirik di dalam lingkungan istana.

Diketahui, ia adalah lulusan dari Mekah yang pada saat itu sudah berkembang Manhaj Salaf atau Wahabi.

Kyai Mojo adalah sosok ulama sekaligus pejuang yang merupakan penasihat dan menjadi salah satu Panglima Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa (Java War), dia bergabung ketika Pangeran Diponegoro berada di Goa Selarong, saat mengungsi dari kejaran Belanda bersama Pengikutnya.

Selain berperan sebagai panglima perang, Kyai Mojo juga pernah menjadi wakil Pangeran Diponegoro dalam perundingan 29 Agustus 1821 dengan Belanda di daerah Klaten.

Didalam perundingan itu ia dengan tegas mengajukan beberapa tuntutan, namun hasil akhir acara itu tidak ada kesepakatan karena tuntutan tadi dinilai terlalu berat bagi pihak Belanda.

Kyai Mojo dalam beberapa hal kursial sangat diandalkan oleh Pangeran Diponegoro. Yang paling penting adalah dalam hal keagamaan.

Kyai Mojo selain menjabat sebagai panglima besar pada Perang Jawa dia pun berperan sebagai ulama besar yang membimbing para pengikut atau prajurit Setia Pangeran Diponegoro sesuai dengan ajaran Islam yang terdapat di dalam Alquran. 

Baca juga: Inilah Profil Duta Sheila On 7, Vokalis yang Dikira Tukang Parkir Karena Penampilan Sederhananya

Meskipun hubungan Kyai Mojo dan Pangeran Diponegoro dekat, pada tahun 1828 terjadi konfllik di antara mereka.

Pada waktu itu, Pangeran Diponegoro memerintahkan Kyai Mojo untuk kembali ke Pajang.

Dalam perjalanannya ke Pajang, Kyai Mojo kemudian terbujuk oleh rayuan muridnya Kyai Dadapan agar mau bertemu perwakilan Belanda, Letnan Kolonel Wironegoro.

Padahal sebelumnya, Pangeran Diponegoro bersama para panglimanya termasuk Kyai Mojo telah menolak ajakan Jenderal De Kock untuk mengakhiri perang.

Kyai Mojo kemudian bertemu dengan Letnan Kolonel Wironegoro pada Oktober 1828 dengan mengajukan beberapa permintaan.

Letnan Kolonel Wironegoro pun menyetujuinya asalkan Kyai Mojo bersedia menghentikan perang.

Kyai Mojo melaporkan pertemuan itu kepada Pangeran Diponegoro melalui surat.

Setelah membaca surat dari Kyai Mojo, Pangeran Diponegoro marah. Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Mojo kembali ke markas Pangeran di daerah Pengasih.

Akhir tahun 1828, Kyai Mojo beserta pasukannya berhasil ditangkap Belanda.

Tertangkapnya Kyai Mojo merupakan pukulan telak bagi perjuangan Pangeran Diponegoro.

Kyai Mojo bersama dengan pasukannya pertama kali ditahan di Semarang, selanjutnya dipindahkan ke Ambon lalu ke Minahasa.

Kyai Mojo meninggal dalam pengasingan di Minahasa pada tanggal 20 Desember 1849 dan dimakamkan di Tondano.

Para pengikutnya yang setia kemudian bermukim dan berinteraksi dengan masyarakat setempat dan membentuk masyarakat campuran Jawa-Tondano (Jaton).

Makam para pengikutnya juga ditempatkan di sekitar Makam Kyai Mojo. (1)

Makam Kyai Mojo terletak di atas Bukit Tondata, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Selatan.

Pada pintu gerbang masuk menuju makam ini terdapat tulisan: “Makam Pahlawan Kyai Mojo dkk. Kyai Mojo terlahir dengan Nama Kyai Muslim Muhammad Halifah Lahir tahun: 1764. Wafat 20 Desember 1849”.

Di lokasi makam ini terdapat dua buah cungkup berbentuk bangunan Jawa dengan atap bersusun dari sirap.

Cungkup yang besar terdapat makam Kyai Mojo beserta pengikutnya. Sedangkan cungkup lainnya merupakan cungkup makam Syeh Maulana (asal Cirebon).

Di timur laut makam Kyai Mojo terdapat makam Mbah Kamil (Kyai Demak).

Makam Kyai Mojo beserta keluarga asli dari Jawa memiliki keunikan tersendiri.

Bentuk makamnya memiliki lubang memanjang pada bagian tubuh makam.

Hal ini berbeda dengan makam lain dari makam kerabat yang merupakan keturunan Minahasa yang tidak memiliki lubang memanjang.

Hal ini dibuat agar dapat diketahui perbedaan keluarga dari Jawa dan yang lahir dan besar di Minahasa.

Makam Kyai Mojo adalah satu-satunya makam di kompleks ini yang kijingnya memiliki undakan sembilan tingkat.

Makam ini diberi hiasan pelipit genta dan kaligrafi. Di dalam cungkup Makam Kyai Mojo juga terdapat makam beberapa orang keluarga dan pengikutnya.

Nisannya ditutup dengan kain penutup berwarna putih.

Riwayat Penelitian dan Pemugaran

Pada tahun 1978 atau 1979 hingga 1981 atau 1982, makam Kyai Mojo telah dipugar oleh Bidang Sejarah, Museum, dan Purbakala (Muskala) Kantor Wilayah Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sulawesi Utara, melalui Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Utara.

(TRIBUNNEWSWIKI.COM/kompas.com/ Bangkapos.com)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved