Ternyata Dari Sini Awal Mula Terungkapkan Kasus Korupsi Timah di Bangka Belitung Kerugian Rp300 T

Kasus dugaan korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun akhirnya terungkap melalui audit investigasi BPKP

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
Tribunnews.com/Rahmat
Ahli Pidana Agus Surono (Kiri) saat menjadi saksi ahli pada sidang perkara dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (7/11/2024). Agus Surono menyebut kerusakan lingkungan akibat tambang timah di Bangka Belitung menjadi tanggung jawab orang yang melakukan penambangan. 

BANGKAPOS.COM--Kasus dugaan korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun akhirnya terungkap melalui audit investigasi yang dilakukan oleh Badan Pengawasan dan Pembangunan (BPKP).

Temuan ini mencuat usai tim auditor BPKP melakukan pemeriksaan langsung di Bangka Belitung terhadap sejumlah perusahaan smelter timah yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk.

Awal Kasus dan Temuan BPKP

Auditor Investigasi BPKP, Suhaedi, menjelaskan dalam persidangan bahwa dugaan megakorupsi ini dimulai ketika BPKP menemukan penyimpangan dalam kerja sama penyewaan smelter, pembelian bijih timah, hingga kerusakan lingkungan.

Berdasarkan audit, kerugian negara diestimasi mencapai Rp 300 triliun, terdiri dari kerugian akibat sewa smelter, pembelian bijih timah, dan kerusakan lingkungan.

BPKP menurunkan tim auditor ke Bangka Belitung untuk menginvestigasi ke sejumlah perusahaan smelter timah yang bekerja sama dengan PT Timah Tbk.

Tim auditor BPKP menemukan sejumlah dugaan penyimpangan. Kasus dugaan megakorupsi tata niaga timah pun mencuat.

Hal itu diungkap oleh Auditor Investigasi Badan Pengawasan dan Pembangunan (BPKP) Suhaedi saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/11/2024). 

Sidang mengadirkan terdakwa crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim, eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi, mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk Emil Ermindra dan Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa MB Gunawan.

Suhaedi menjelaskan soal ihwal ditemukannya kerugian negara mencapai Rp 300 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah.

Sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga komoditas timah dengan terdakwa crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (11/9/2024). Dalam sidang ini saksi mengungkap kenapa produksi bijih timah PT Timah Tbk sedikit, bahkan kalah saing dari perusahaan smelter swasta.
Sidang lanjutan kasus korupsi tata niaga komoditas timah dengan terdakwa crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (11/9/2024). Dalam sidang ini saksi mengungkap kenapa produksi bijih timah PT Timah Tbk sedikit, bahkan kalah saing dari perusahaan smelter swasta. (Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan)

Suhaedi mengatakan, temuan kerugian ratusan triliun itu diperoleh dari praktik penyimpangan kerjasama sewa smelter, pembelian bijih timah hingga kerusakan lingkungan.

Suhaedi menjelaskan hal itu bermula ketika tim-nya melakukan investigasi dengan mengunjungi 4 smelter swasta yang bekerjasama dengan PT Timah Tbk.

"Disebutkan smelter apa saja?," tanya Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh.

"Yang pertama dari tim saya melaporkan ke smelter PT Sariwiguna Binasentosa, terus ke smelter CV Venus Inti Perkasa, terus kemudian ke smelter PT Stanindo Inti Perkasa, terus ke empat adalah ke smelter PT Refined Bangka Tin," kata Suhaedi.

Kemudian setelah kasus ini mencuat pihaknya diminta oleh penyidik Kejaksaan Agung untuk mengaudit dan menghitung kerugian negara dan keterangan ahli imbas korupsi timah tersebut pada 14 November 2023 lalu.

"Nah prosesnya di kami berlaku bahwa setiap permintaan itu tidak serta merta dilakukan langsung surat penugasan, ada sarana ekspose. Jadi yang kedua surat tugas itu baru kita terbitkan 26 Februari 2024," ujar Suhaedi.

Lalu dalam proses audit itu tim BPKP menemukan sejumlah penyimpangan, pertama soal kerjasama sewa smelter.

Suhaedi menjelaskan bahwa telah ada pembayaran sebesar Rp 3 triliun lebih yang dilakukan oleh PT Timah terkait penyewaan smelter.

"Di kontrak sewa smelter ini antara PT Timah dengan smelter swasta itu sudah dilakukan pembayaran sebesar Rp 3 triliun sekian, ini untuk penyerahan logam timah 63,16 ton," jawab Suhaedi.

"Kemudian dari alur bijih timahnya baik yang dikirim ke smelter swasta maupun PT Timah, PT Timah telah membayar sebesar Rp 11,1 triliun untuk 68,01 ton yang disalurkan ke smelter swasta utk diolah," ujarnya.

Sedangkan pembayaran yang dilakukan PT Timah untuk yang diolah oleh PT Timah adalah sebanyak 85,99 ton itu sebesar Rp 15,5 triliun lebih.

Auditor BPKP juga menemukan adanya pembelian bijih timah yang dilakukan oleh PT Timah Tbk yang dimana bijih-bijih itu justru dibeli dari IUP mereka sendiri.

Selain itu diketahui pula bahwa bijih-bijih timah itu dibeli dari para penambang ilegal yang beroperasi di wilayah IUP PT Timah Tbk.

"Nah bijih timah ini yang diperoleh adalah dari para pelaku tambang timah ilegal yang melakukan aktivitasnya di wilayah IUP-nya PT Timah."

"Jadi skema perhitungan kami, terkait dengan perhitungan kerugian yang sebesar kurang lebih Rp 29 triliun itu gambaranya seperti ini Yang Mulia. Jadi ada dari kontrak sewa smelter, kemudian dari pembelian bijih timah," jelas Suaedi.

Lalu yang terakhir BPKP turut menemukan adanya kerusakan lingkungan daripada kasus korupsi timah ini.

Praktisi Hukum Ini Sebut Rp271 Triliun Bukan Angka Kerugian Negara: Ini Soal Kerugian Lingkungannya
Praktisi Hukum Ini Sebut Rp271 Triliun Bukan Angka Kerugian Negara: Ini Soal Kerugian Lingkungannya (Tribunnews.com)

Kata dia, kerugian negara dalam bentuk kerusakan lingkungan di kasus korupsi timah ini mencapai Rp 271 triliun sehingga total akibat kasus ini negara merugi mencapai Rp 300 triliun.

"Jadi unsur kerugian yang kami masukan sebagai kerugian keuangan negara itu ada tiga hal, yang pertama adalah sewa smelter swasta, kedua adalah pembelian bijih timahnya, kemudian adanya kerusakan lingkungan yang terjadi."

"Jadi dari jumlah poin satu, dua, tiga ini bisa kami sampaikan totalnya kerugian adalah sebesar Rp 300.003.263.938.131,14," pungkas Suaedi.

Detail Temuan Korupsi

Menurut Suhaedi, timnya mengunjungi empat smelter swasta yang berkolaborasi dengan PT Timah Tbk, yaitu PT Sariwiguna Binasentosa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Refined Bangka Tin.

BPKP menemukan bahwa PT Timah telah mengeluarkan Rp 3 triliun lebih untuk penyewaan smelter dan Rp 11,1 triliun untuk pengiriman bijih timah ke smelter swasta.

Selain itu, PT Timah juga membeli bijih timah dari para penambang ilegal yang beroperasi di wilayah izin usaha penambangan (IUP) mereka sendiri.

Hal ini mengindikasikan adanya praktik korupsi dan pelanggaran aturan penambangan.

Kerugian Lingkungan yang Sangat Besar

Tidak hanya kerugian finansial, kasus korupsi ini juga berdampak besar pada lingkungan.

Menurut BPKP, kerugian akibat kerusakan lingkungan mencapai Rp 271 triliun.

Saksi ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan di kawasan hutan dan non-hutan akibat aktivitas tambang ini telah membebani negara hingga triliunan rupiah.

Dalam persidangan, saksi ahli pidana, Agus Surono, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan merupakan kerugian nyata yang harus dipulihkan oleh pihak yang terlibat. 

Dia menambahkan, meskipun sudah ada perhitungan biaya kerugian ekologi, tanggung jawab pemulihan tetap berada di pihak yang menyebabkan kerusakan.

Ia melanjutkan sekarang pertanyaannya dalam menghitung kerugian negara dalam kaitannya dengan kegiatan pertambangan kerusakan ekologi dalam biaya reklamasi. 

"Apakah kerugian itu bisa dianggap kerugian negara?" tanya hakim Fahzal. 

Ahli Pidana Agus Surono menerangkan kalau hal itu bisa dihitung dan dinilai secara jelas sesuai dengan kaidah penghitungan. Bisa dipandang sebagai kerugian negara. 

"Saya bukan ahlinya soal kerugian lingkungan tapi ada aturannya. Maka hal ini bisa dipandang kerugian negara," jelasnya. 

Soal begini, kata hakim Fahzal, kerugian ekologi itu mungkin sudah dibayarkan sesuai hitungan tapi tidak diserahkan ke negara. Apakah itu bisa dikatakan sebagai potensial loss atau atau actual losss. 

"Yang berkaitan dengan kerusakan dan seterusnya itu kerugian nyata dan pasti," jawab Surono. 

Kemudian hakim Fahzal menanyakan kerusakan lingkungan itu pemulihan itu tanggung jawab siapa. 

"Pemulihan itu prinsipnya siapa yang melakukan perbuatan itu dia yang harus melakukan pemulihan," jawab Surono.

Saksi Ahli Sebut Hanya BPK yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara

Pada sidang sebelumnya, Ahli Hukum Administrasi Negara Bidang Hukum Lingkungan Hidup, Kartono menyebutkan bahwa pihak yang berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Adapun hal itu diungkapkan Kartono yang pada saat dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi ahli dalam sidang kasus korupsi timah dengan terdakwa Harvey Moeis Cs di Pengadilan Tipikor Jakarta. 

Pernyataan Kartono itu bermula ketika Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto bertanya soal siapa pihak yang berwenang menghitung kerugian negara. 

"Siapa sih yang berwenang untuk melakukan penghitungan kerugian negara dan juga termasuk perekonomian negara," tanya Hakim Eko, Rabu (23/10/2024).

Mendengar pertanyaan Hakim, Kartono pun menjelaskan, bahwa pihak yang berhak menilai kerugian negara dalam suatu perkara tipikor adalah pihak BPK. 

"Kalau yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan negara sudah ada yang mulia rambunya, patokannya baik itu di Undang-Undang BPK dan Undang-Undang yang lainnya Tentu BPK," jawab Kartono. 

Kartono juga menuturkan, mengenai wewenang BPK itu merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

"Namun demikian berkaitan dengan mendeclare (mengumumkan) kerugian keuangan negaranya itu tentu menjadi kewenangan dari BPK sesuai dengan pasal 10 Kalau tidak salah di Undang-Undang BPK," jelas Kartono. 

Itung-itungan Guru Besar IPB Bambang Hero Saharjo

Adapun terkait kerugian negara akibat kasus korupsi timah ini sebelumnya diungkapkan oleh Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo.

Bambang menyebut bahwa kerugian negara akibat tambang timah di kawasan hutan dan di luar kawasan hutan dari tahun 2015 - 2022 sebesar Rp271 triliun.

"Kalau semua digabungkan kawasan hutan dan nonkawasan hutan total kerugian akibat kerusakan yang harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang saat Konferensi Pers di Gedung Kejaksaan Agung, Senin (19/2/2024) lalu.

Total Rp 271 triliun ini juga merupakan jumlah dari kerugian perekonomian akibat galian tambang di kawasan hutan dan nonhutan. Masing-masing nilainya Rp 223.366.246.027.050 dan Rp 47.703.441.991.650.

"Sampai pada kerugiannya berdasarkan Permen LH Nomor 7/2014 ini kan dibagi du ya, dari kawasa hutan dan nonhutan," ujar Bambang.

Rincian nilai kerugian perekonomian negara di masing-masing kawasan:

Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan hutan:

  • Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157.832.395.501.025.
  • Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60.276.600.800.000.
  • Biaya pemulihan lingkungan Rp 5.257.249.726.025.

Kerugian untuk galian yang terdapat dalam kawasan nonhutan:

  • Biaya kerugian lingkungan (ekologis) Rp 25.870.838.897.075.
  • Biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15.202.770.080.000.
  • Biaya pemulihan lingkungan Rp 6.629.833.014.575.

Sebagai informasi, berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. 

Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. 

Tak hanya itu, jaksa juga mengungkapkan, kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun. Hal itu sebagaimana hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

Kasus ini tidak hanya menyoroti kerugian keuangan negara namun juga menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi akibat praktik tambang ilegal. 

Berdasarkan aturan, BPK sebagai otoritas yang sah berhak menghitung dan mengumumkan kerugian keuangan negara.

(Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan, Rahmat Fajar Nugraha)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved