Tribunners

Artificial Intelligence, Validitas Informasi, dan Kekayaan Intelektual 

AI sebagai penemuan di bidang teknologi juga dapat diberikan perlindungan merujuk kepada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000

Editor: suhendri
ISTIMEWA
Darwance - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Anggota Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual (APHKI) 

Oleh: Darwance - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Anggota Asosiasi Pengajar Hak Kekayaan Intelektual (APHKI)

ARTIFICIAL intelligence (AI) atau kecerdasan buatan sebetulnya bukanlah hal baru di bidang teknologi. Secara historis, AI secara konsep sudah pertama kali pada 1956 di Dartmouth, sekalipun secara mekanis AI sudah dikembangkan jauh sebelum itu. Perbincangan mengenai AI menjadi makin menarik manakala beberapa waktu ini, Meta, sebagai perusahaan besar yang menaungi sejumlah media sosial, di antaranya adalah Facebook, Instagram, dan WhatsApp, menampilkan Meta AI. Pengguna dapat meminta informasi dan bertanya tentang hak apa pun kepada Meta AI. Dalam hitungan detik, AI akan menjawabnya, di luar apakah jawaban itu valid atau sebaliknya.

Sama seperti AI yang lain, pengguna Meta AI tinggal memasukkan perintah atau hak apa yang ingin diketahui. Cara kerjanya sebetulnya tidak jauh berbeda dengan cara kerja search engine (mesin pencari). Setelahnya, AI akan menyampaikan jawaban. 

Ada banyak peristiwa menarik berkaitan dengan AI yang dibagikan oleh pengguna, mulai dari AI yang dianggap sangat canggih, AI yang dianggap “ngawur”, bahkan tak sedikit pula yang meragukan kinerja AI yang selama ini dipromosikan dapat membantu kerja manusia dalam hal apa pun. Nyatanya, setidaknya dari Meta AI, AI tak seperti yang diagung-agungkan selama ini. Lihat saja, unggahan seorang komedian Kiki Saputri yang mencoba berbicara dengan AI tentang dirinya, hasilnya jauh dari fakta.

Cara kerja AI dan validitas informasi

Oleh beberapa pihak, AI dianggap dapat membantu manusia dalam bekerja, dan ini adalah sebuah fakta. Beberapa pekerjaan, sekalipun tidak dapat digantikan seutuhnya, tetapi dengan teknologi AI dapat dikerjakan sebagian dan ini sangat membantu. Selain menghemat waktu, ini tentu akan menghemat biaya, risikonya memang berkaitan dengan tenaga kerja yang dikhawatirkan akan digantikan oleh AI. Oleh sebab itu, salah satu tantangan sekaligus hal yang dimiliki oleh tenaga kerja sekarang adalah kepiawanan di bidang teknologi. 

Di sisi lain, kehadiran AI pada beberapa hal justru mendatangkan masalah baru. Di Maryland, Amerika Serikat, seorang kepala sekolah dituduh sebagai orang rasis gara-gara rekaman suaranya yang ternyata palsu . Bukan hanya itu, perkembangan teknologi AI nyaris masuk pada semua bidang, dan sering kali berdampak pada persoalan etika, termasuk diskriminasi (Alexander Kriebitz & Christoph Lütge, 2020, 1-21).

Pada dasarnya, AI merupakan program komputer yang dikonstruksikan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, di antaranya adalah dalam hak pengambilan keputusan, logika, dan karakteristik kecerdasan yang lain. AI merupakan cabang ilmu komputer yang berfokus pada pengembangan sistem komputer yang mampu melakukan tugas sebagaimana seorang manusia. AI memiliki tujuan utama untuk membuat mesin yang dapat belajar, memahami, merencanakan dan beradaptasi sehingga dapat menyelesaikan tugas-tugas secara mandiri (Bambang Karyadi, 2023, 254). 

Secara sistem, AI mengumpulkan dan memproses semua jenis data yang mulai dari pertemanan, hubungan, keyakinan politik, kegiatan keagamaan, riwayat pembelian, data medis, pelacakan data GPS setiap menit pergerakan pengemudi jika Global Positioning System (GPS) diaktifkan (Puji Utami Rohmawati, Moch. Choirur Rizky, & Mochamad Rafly Arifianto, 2022, 63).

Sekalipun cara kerja AI yang nyaris menyerupai cara kerja manusia, akan tetapi AI hakikatnya tetap tidak bisa menjadi subjek hukum yang dapat melahirkan karya intelektual baru, sebab AI bekerja bukan berdasarkan akal budi dan pikiran, tetapi lebih kepada data-data yang sudah tersaji. Lihat saja kasus Meta AI yang akhir-akhir ini banyak digunakan oleh pengguna beberapa media sosial di bawah Meta, di antaranya adalah WhatsApp. Beberapa pertanyaan yang diutarakan pengguna, dapat saja dijawab dengan tepat oleh Meta AI, tetapi tidak sedikit pula yang tidak dijawab, bahkan dijawab dengan jawaban yang keliru. 

Jawaban tepat yang diberikan oleh Meta AI, lazimnya terhadap keyword yang sudah banyak tersebar di sejumlah data internet. Artinya, jika data yang tersedia tidak ada (atau tidak lengkap), ada beberapa kemungkinan, AI akan tetap menjawab dengan data yang seadanya, atau AI akan jujur bahwa tidak ada data yang dapat ia baca. Oleh sebab itu, informasi yang disampaikan oleh AI bukan hanya perlu, tetapi harus verifikasi ulang.

AI dan relevansinya dengan HKI

Penggunaan AI bukan hanya dapat membantu mempermudah manusia dalam menyelesaikan pekerjaannya, tetapi juga berdampak pada konstruksi hukum, salah satunya adalah konstruksi hukum hak kekayaan intelektual (HKI), di antaranya adalah bisa atau tidaknya AI dijadikan sebagai subjek hukum yang dapat menjadi pemegang HKI, dan kepemilikan HKI dari produk yang dihasilkan oleh AI dapat diakui kepemilikan perspektif HKI atau sebaliknya sama sekali tidak bisa. 

Di samping itu, dampak penggunaan AI juga ikut memperparah penggunaan HKI yang tidak terkontrol, misalnya pelanggaran terhadap hak cipta. Selain bisa menirukan karya cipta yang sudah ada, seperti menyanyikan lagu, AI bahkan bisa menciptakan sebuah lagu, atau menyusun sebuah karya tulis, yang itu masuk objek perlindungan hak cipta.

Artificial Intelligence sejatinya merupakan penemuan di bidang teknologi. Pada rezim HKI, penemuan di bidang teknologi dapat diberikan perlindungan sebagai paten, sepanjang ada kebaruan atau novelty yang belum pernah ada sebelumnya, atau sudah ada tetapi diperbarui dengan penemuan baru. Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, AI memang belum diatur secara khusus, akan tetapi, meskipun Pasal 4 huruf d, tidak memasukkan aturan dan metode yang hanya berisi program komputer sebagai invensi, ini kecualikan apabila terdapat pengaturan program komputer yang memiliki efek teknik yang dapat dipatenkan. Mengenai program komputer, ada hal berbeda yang diatur pada Undang-Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten, yang penafsiran program komputer yang mencakup perangkat lunak (software) pada umumnya.

Selain sebagai paten, AI sebagai penemuan di bidang teknologi juga dapat diberikan perlindungan merujuk kepada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Perlindungan Rahasia Dagang menjadi alternatif bagi seorang penemu manakala temuannya tidak memenuhi syarat untuk diberikan sebagai paten, walau sebetulnya rahasia dagang memang lebih menguntungkan dan inilah alasan banyak perusahaan besar misalnya yang memilih rahasia dagang dibandingkan dengan paten. Alasan lain dipilihnya rahasia dagang misalnya jangka waktu perlindungannya yang tidak terbatas dan nilai rahasia yang dirasa lebih terjamin.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, AI juga belum diatur secara khusus, tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 9 terdapat pengaturan terkait program komputer yang merupakan ciptaan yang dilindungi. Disebutkan bahwa program komputer merupakan seperangkat instruksi yang diekspresikan dalam bentuk bahasa, kode, skema, atau dalam bentuk apa pun yang ditujukan agar komputer bekerja melakukan fungsi tertentu atau untuk mencapai hasil tertentu. Hal ini kemudian dipertegas oleh Pasal 40 Ayat (1) huruf s, bahwa ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, salah satunya adalah program komputer.

Berdasarkan regulasi yang ada di Indonesia saat ini, terhadap pelindungan AI yang melahirkan temuan sebagai subjek hukum belum bisa dianggap sebagai subjek hukum (pencipta, inventor, atau pendesain), sebab undang-undang yang mengatur tentang hak cipta, paten, dan desain industri saat ini masih membatasi pencipta, inventor, dan pendesain hanya untuk manusia, bukan AI. Di samping, AI hakikatnya adalah hasil karya manusia. Selain tidak lazim dalam rezim HKI, pengakuan terhadap AI sebagai subjek, justru akan menimbulkan ambiguitas, di satu sisi adalah hasil intelektual, di sisi lain adalah subjek layaknya manusia. Hal yang paling penting adalah, tidak seperti manusia, AI tidak dapat bertanggung jawab secara moral (Kristijan Krkac, 2019, 800). (*)

Sumber: bangkapos
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved