Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah
Kejagung akan Bebankan Kerugian Lingkungan Babel Rp 152 Triliun Kepada 5 Perusahaan Smelter
Kejaksaan Agung akan membebankan kerugian lingkungan sebesar Rp 152 triliun dalam kasus korupsi tata niaga timah kepada lima perusahaan smelter timah.
"Kalau teman-teman, misalnya untuk Timah datanglah ke Bangka lihat dari pesawat di bawah itu begitu rusak lingkungan itu. Itulah insyaallah dengan Dana dana yang ada apabila nanti dapat bisa dikembalikan kepada pemerintah untuk perbaikan lingkungan akibat dari pertambangan-pertambangan ini," sambung dia.
Rincian Kerugian Lingkungan
Kejaksaan menggandeng Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo untuk menghitung kerugian kerusakan lingkungan akibat pada kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022.
Untuk menghitung hal tersebut sejumlah instrumen dan metode digunakan, di antaranya melalui citra satelit maupun verifikasi ke lapangan.
Berdasarkan hal itu, ditemukan total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung adalah 170.363.064 hektar.
Namun, luas galian yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) hanya 88.900,462 hektar.
Sedangkan luas galian yang tidak mempunyai izin mencapai 81.462,602 hektar.
Penghitungan kemudian dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.
Perhitungan dilakukan dengan membagi kerugian lingkungan di kawasan hutan dan luar kawasan hutan.
Hasilnya, kerugian kerusakan lingkungan yang ditimbulkan mencapai Rp 271.069.688.018.700 (Rp 271,06 triliun).
Jumlah tersebut terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologi) Rp 157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,27 miliar, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5,26 triliun.
Sehingga subtotalnya Rp 223,36 triliun.
Sedangkan kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan (APL) yakni biaya kerugian lingkungan Rp 25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 6,62 triliun.
Sehingga subtotalnya Rp 47,70 triliun.
Bila semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, maka total kerugian akibat kerusakan lingkungan itu mencapai Rp 271,06 triliun.
MA: Kerugian Negara Pada Kasus Korupsi Harus Bersifat Nyata dan Diumumkan BPK
Terpisah, Mahkamah Agung (MA) menjelaskan kerugian negara yang menyangkut perkara korupsi harus bersifat nyata atau actual loss.
Hal ini dijelaskan Hakim Agung yang juga Juru Bicara MA, Yanto saat ditanya perihal putusan sidang korupsi tata niaga timah yang merugikan negara mencapai Rp300 triliun.
Mulanya Yanto ditanya perihal vonis Harvey Moeis yang belakangan ramai dibicarakan hingga dan disindir publik media sosial. Namun ia enggan menanggapi karena sudah masuk pokok perkara dan setiap hakim terikat kode etik untuk tidak boleh menilai putusan hakim lainnya.
"Karena sudah menyangkut materi pokok perkara, hakim itu terikat kode etik untuk tidak boleh menilai putusan lain," kata Yanto di Mahkamah Agung, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Namun saat ditanya perihal kerugian negara dalam kasus korupsi, Yanto menyatakan acuannya adalah Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Kerugian yang dialami negara harus berbentuk nyata atau actual loss, bukan lagi potensi kerugian atau potential loss.
Hal tersebut juga sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25 Tahun 2016. Selain itu lanjut Yanto, pihak yang berwenang mengumumkan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Ya kalau korupsi itu kan kerugian negara kan kita mengacunya kan di pasal 2, pasal 3. Jadi tidak lagi potensial loss tapi harus actual loss, kerugiannya harus nyata. Itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kalau tidak salah 25, dan declare dari BPK, bahwa korupsi itu harus kerugian nyata," jelas Yanto.
"Tapi kalau di lingkungan hidup kan potensi. Itu tapi saya tidak menyinggung pokok perkaranya ya, tapi kalau secara yang saudara tanyakan tadi kan seperti itu batasannya," pungkas dia.
Sebagai informasi, Harvey Moeis dijatuhi vonis 6,5 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Harvey juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar, subsider 6 tahun penjara jika tidak mampu melunasinya.
Harvey dinilai terbukti membuat negara merugi Rp300 triliun.
Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP, serta terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (*)
(Tribunnews.com/Gita Irawan, Danang Triatmojo)
| Alasan Sandra Dewi Mendadak Cabut Permohonan Keberatan Penyitaan Aset, Hormati Putusan Suami |
|
|---|
| Akhirnya Sandra Dewi Terima Asetnya Disita Kejagung, Cabut Keberatan |
|
|---|
| Aset Sandra Dewi Tak Cukup Tutupi Uang Pengganti Korupsi Timah Harvey Moeis |
|
|---|
| Kejagung Tak Peduli, Tetap Teruskan Proses Lelang Aset Berharga Sandra Dewi |
|
|---|
| Penyidik Sebut Akta Perkawinan Sandra Dewi dan Harvey Moeis Janggal, Perbedaan Tanggal Mencuat |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20250103-kejagung-umumkan-5-perusahaan-smelter-jadi-tersangka-korupsi-timah.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.