Profil Tokoh

Sosok Abdurrahman Wahid Alias Gus Dur, Presiden ke-4 RI yang Hapus Dwifungsi ABRI

Puncaknya, pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dwifungsi ABRI dihapus dengan cara mereformasi TNI.

|
Penulis: Fitri Wahyuni | Editor: fitriadi
Tribun Bali
GUS DUR -- Presiden keempat Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur 

BANGKAPOS.COM -- Dwifungsi ABRI cukup lama diberlakukan di Indonesia.

Pada era reformasi muncul desakan dari berbagai kalangan silip untuk menghabus peran ganda ABRI.

Seiring runtuhnya rezim Soeharto pada pemerintahan Orde Baru, Dwifungsi ABRI perlahan mulai dihapuskan.

Pada masa Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid Alias Gus Dur, Dwifungsi ABRI kemudian dihapus dengan cara mereformasi TNI.

Dilansir Kompas.com, Jumat (19/3/2021), munculnya konsep Dwifungsi ABRI dicetuskan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution.

Dwifungsi ABRI dicetuskan saat hari peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang pada 12 November 1958.

Dalam pidatonya, Nasution mengungkapkan konsep "Jalan Tengah" yang membuka jalan bagi TNI untuk berperan dalam bidang sosial dan politik atau selain fungsi pertahanan dan keamanan.

Dwifungsi ABRI merujuk pada fungsi tempur dan pembina wilayah atau masyarakat.

Secara sederhana, selain sebagai kekuatan pertahanan, anggota ABRI "dipersilakan" menjadi kekuatan kekuatan sosial-politik.

Pada gilirannya, kebijakan tersebut membuat anggota ABRI bisa menduduki kursi di MPR dan DPR tanpa melalui proses pemilihan umum (pemilu).

Ketika ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan, kondisi demokrasi menjadi semakin terkikis.

Saat mencampuri urusan sipil negara, ABRI yang juga dibekali dengan senjata dianggap terlalu keras.

Seiring runtuhnya rezim Soeharto, pada pemerintahan Orde Baru, Dwifungsi ABRI perlahan mulai dihapuskan.

Puncaknya, pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dwifungsi ABRI dihapus dengan cara mereformasi TNI.

Pada rapat pimpinan ABRI di tahun 2000, para pemimpin sepakat untuk menghapus Dwifungsi ABRI yang perlahan mulai diberlakukan pada Pemilu 2004 dengan harapan semuanya sudah selesai pada Pemilu 2009.

Sosok Abdurrahman Wahid atau Gus Dur

Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur adalah presiden Indonesia keempat yang menjabat sejak 1999 hingga 2001.

Gus Dur menggantikan posisi BJ Habibie setelah dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui pemilu 1999.

Sewaktu menjabat sebagai Presiden Indonesia, Gus Dur dikenal sebagai pemimpin yang cukup kontroversial karena beberapa kebijakannya.

Salah satu kebijakan Abdurrahman Wahid yang cukup menuai kontroversi adalah pencabutan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tertuang dalam Tap MPR Nomor 25 Tahun 1966.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940.

Gus Dur merupakan putra pertama dari enam bersaudara.

Ayahnya adalah pendiri organisasi besar Nahdlatul Ulama (NU), KH Wahid Hasjim. Sedangkan ibunya adalah putri dari pendiri Pesantren Denanyar Jombang.

Sewaktu kecil, Gus Dur gemar membaca dan kerap menghabiskan waktunya di perpustakaan pribadi milik sang ayah.

Selain itu, ia juga senang berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta.

Ketika menginjak usia remaja, referensi bacaannya kian bertambah, mulai dari majalah, surat kabar, dan novel.

Sejak kecil, Gus Dur terlihat mempunyai kesadaran penuh untuk mengambil alih tanggung jawab NU.

Pada sekitar April 1953, ia bersama sang ayah pergi ke Sumedang, Jawa Barat, untuk menghadiri pertemuan NU.

Akan tetapi, di tengah perjalanan, mobil yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan dan menewaskan ayahnya.

Pendidikan

Masih di tahun yang sama, Gus Dur pergi ke Yogyakarta untuk mengenyam pendidikan.

Ia sempat bersekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) Gowongan, sekaligus menetap di Pesantren Krapyak.

Namun, karena tidak bisa beraktivitas secara leluasa di pesantren, Gus Dur meminta pindah ke kota dan menetap di rumah H Junaedi, yang merupakan seorang pimpinan lokal Muhammadiyah.

Tamat dari sekolah itu, Gus Dur melanjutkan pendidikannya di Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, yang dipimpin KH Chaudhary.

Dua tahun berselang, ia kembali ke Jombang dan menetap di Pesantren Tambak Beras hingga berusia 20 tahun.

Di usia 22 tahun, Gus Dur berangkat menuju ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus menuju Mesir guna melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar.

Namun, sesampainya di Mesir, Gus Dur tidak langsung berkuliah di sana, melainkan masuk ke Madrasah Aliyah lebih dulu.

Setelah menyelesaikan sekolahnya di Mesir, Gus Dur berkunjung ke universitas-universitas lain.

Akhirnya, Gus Dur memutuskan tinggal di Belanda selama enam bulan, sekaligus membentuk suatu perkumpulan bernama Pelajar Muslim Indonesia dan Malaysia.

Kiprah selama Orde Baru

Pada 1971, Gus Dur kembali ke Indonesia. Selama masa pemerintahan Orde Baru, ia disibukkan dengan berbagai kegiatan.

Ia memulai karier dengan mengembangkan pendidikan di pesantren dan menjadi seorang jurnalis.

Pada 1980-an, Gus Dur terjun ke dunia politik, sebelum akhirnya memilih berhenti dan fokus berkegiatan di Nahdlatul Ulama (NU).

Di NU, Gus Dur berperan dalam mereformasi dan menghidupkan organisasi ini, yang tadinya dianggap stagnan.

Pada 1984, ia pun terpilih menjadi Ketua NU. Jabatan ini kembali ia pegang setelah memenangkan suara dalam Musyawarah Nasional 1989.

Pada masa jabatan yang kedua inilah, Gus Dur sempat berselisih dengan rezim Soeharto.

Akibatnya, Gus Dur sempat dijegal oleh rezim Orde Baru dalam pemilihan Ketua NU pada 1994.

Kendati demikian, ia tetap terpilih kembali sebagai Ketua NU untuk ketiga kalinya.

Menjadi Presiden Indonesia

Setelah Soeharto tidak lagi menjabat sebagai presiden RI, banyak partai politik (parpol) baru yang terbentuk.

Pada Juni 1998, banyak orang dari komunitas NU yang berharap agar Gus Dur membentuk partai politik.

Sebulan setelahnya, Gus Dur menanggapi hal itu karena menyadari bahwa partai politik adalah satu-satunya cara untuk bisa bertahan di dunia politik atau pemerintahan.

Gus Dur pun setuju membentuk parpol bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), di mana ia menjabat sebagai Dewan Penasihat.

Pada 7 Februari 1999, PKB resmi menyatakan bahwa dirinya menjadi kandidat pemilihan Presiden Indonesia.

Gus Dur secara resmi dinyatakan sebagai calon presiden oleh Poros Tengah pada 7 Oktober 1999.

Poros Tengah merupakan koalisi partai politik yang berisikan PKB, Partai Amanat Nasional (PAN), PPP, PK, dan Partai Bulan Bintang.

Pada 20 Oktober 1999, Gus Dur resmi menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden Indonesia.

Namun, masa pemerintahan Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI hanya berlangsung selama dua tahun.

Ia memang dikenal sebagai presiden di era Reformasi yang kebijakannya cukup kontroversial dan kerap berselisih pendapat dengan banyak pihak.

Gus Dur dilengserkan dari jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 23 Juli 2001 karena beberapa sebab.

Salah satunya, Gus Dur dianggap melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Itulah mengapa, Gus Dur diberhentikan oleh MPR, meski pada akhirnya tuduhan-tuduhan tersebut tidak pernah terbukti.

Wafat

Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur sudah menderita berbagai penyakit, seperti stroke, diabetes, gangguan ginjal, dan gangguan pada penglihatannya.

Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, akibat komplikasi.

(Bangkapos.com/Kompas.com)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved