BANGKAPOS.COM--Sabtu menjadi hari pasar di Pajak Pancurbatu. Pajak, sebutan pasar di Sumatera Utara, yang berada di tepi Jalan Djamin Ginting, Kabupaten Deli Serdang, ini semakin ramai didatangi para pembeli dan pedagang yang berasal dari Kota Medan dan Deli Serdang.
Sepanjang jalan masuk, deretan pedagang ayam, bebek, dan anak anjing yang menggemaskan memajang barang dagangannya. Suasananya bak pasar hewan, riuh suara binatang bercampur bising kendaraan.
Di salah satu sudut pasar, sejumlah pedagang duduk bersama belasan anjing. Anjing-anjing itu tergeletak. Badannya terbungkus karung dan terikat tali.
Seekor anak anjing berwarna coklat yang berumur sekitar dua minggu, baru lepas menyusu, ditawarkan dengan harga Rp 150.000. Saat harganya ditawar hingga Rp 100.000, bibi penjual menunjukkan ekspresi tak suka proses tawar-menawar.
Dia mengatakan, Rp 100.000 adalah untuk anjing yang lebih kecil lagi. Ujung-ujungnya, dia mau mengurangi harga untuk si anak anjing berusia dua minggu. Harga tengah.
“Tiap hari aku jualan, tapi barang baru ada hari ini. Buka dasar ini, Rp 120.000,” katanya sambil mengambil anak anjing tersebut pada Sabtu pekan lalu.
Sang penjual tiba-tiba bertanya untuk apa anak anjing itu. Dia mengatakan, jika membelinya untuk dimakan, dia memiliki harga khusus untuk yang berupa daging.
Dia mengambil ponsel dari dalam tas yang disandangnya, lalu menekan nomor.
”Mau berapa kilo,” tanya dia sambil ponsel masih menempel di telinganya.
"Berapa sekilonya?"
"Rp 50.000," jawabnya.
***
Masih di kawasan Pajak Pancurbatu, tepatnya di Simpang Delitua, semakin banyak anjing yang dijajakan. Tidak ada lagi anak anjing.
Anjing-anjing dengan tinggi badan mulai dari 30 sentimeter sampai 1 meter berjejal di dalam kandang-kandang yang terbuat dari kawat atau besi.
Mereka sibuk menggonggong keras, mencoba keluar dari kandang sempitnya.
Seorang pedagang yang berdiri di samping kandang langsung memukul bagian atas kandang. Seketika senyap suara salakan untuk sementara. Beberapa menit kemudian, gonggongan kembali terdengar.
Semakin masuk ke dalam pasar, pemandangan puluhan anjing, besar dan kecil, dengan mulut, leher, dan kaki terikat semakin banyak. Sebagian anjing dimasukkan ke dalam karung bekas pupuk, tinggal kepalanya yang menyembul.
Mereka tergolek dan terikat, tetapi tetap meronta-ronta dan berupaya menggonggong. Namun, suaranya lebih mirip erangan.
Pandangan mata mereka kerap bertabrakan dengan mata para calon pembeli yang melintas. Nanar dan mengharap belas kasihan.
Tiga perempuan dengan rahang tegas duduk di antara anjing-anjing itu. Tak jauh dari mereka, ada timbangan duduk berkapasitas 100 kilogram.
Para pria yang terlihat di situ sibuk menimbang dan mengikat anjing-anjing yang terus menggonggong dan meronta.
Beberapa anjing terkulai lemas, matanya setengah tertutup.
Seekor anjing berwarna coklat terus berupaya menyalak meski mulutnya terikat tali plastik. Saat kepalanya dielus, salakan yang lebih mirip erangan itu pun berhenti sejenak.
Bibi penjual memperhatikan dengan tatapan curiga.
"Haus dia kali, enggak dikasi minum, Bi?"
"Dikasihnya minum, nantilah," ucap bibi pedagang itu.
"Berapa harganya ini?"
"Rp 40.000 sekilo. Baik ini, tetapi sudah enggak enak dimakan. Sudah 2,5 tahun umurnya. Bagusnya untuk jaga kebun saja, tetapi kalau mau dimakan, ya, bisa juga," katanya.
Ketika ditanya apakah mereka menjual anak anjing untuk dimakan, tiga perempuan itu menggeleng. Salah satu dari mereka lalu mengatakan, mereka menerima semua jenis anjing, berbagai ukuran, tetapi tidak bayi anjing.
Seekor anjing berumur 4 sampai 10 bulan dengan kondisi mulus dan baik, lanjut pedagang itu, adalah yang paling layak untuk dimakan.
Biasanya, di tempat itu, setiap ekor anjing layak makan ini dibanderol dengan harga mulai dari Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per ekor.
Harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan anjing yang berumur lebih dari setahun atau induk yang sudah beberapa kali melahirkan. Anjing jenis ini hanya dihargai mulai dari Rp 40.000 sampai Rp 50.000 per kilogram.
Sang penjual lalu bercerita, mereka menerima pasokan barang dagangan dari berbagai orang, baik pengepul maupun orang per orang yang mau menjual anjingnya. Kebanyakan anjing yang mereka dapat berasal dari kawasan Kota Medan.
"Anjing-anjing ini dari Medan, mau dibawa ke gunung (kampung). Ini tinggal nunggu diangkut. Sebentar lagi datang mobilnya," kata pedagang berbaju merah sambil menunjuk tumpukan anjing-anjing yang pasrah.
Tiba-tiba seekor anjing berbulu putih yang bulu-bulunya basah seperti baru tersiram air menyita perhatian mereka. Kaki, tangan, dan mulutnya sudah terikat.
Namun, anjing itu terlihat garang dan sangat marah saat tubuhnya diletakkan di atas timbangan. Matanya merah dan dia terus menggonggong dan menggeram.
"Itu anjing rabies, kan? Matanya merah dan garang kali,"
"Enggaklah, kami enggak jual anjing rabies. Kalau dijual, habislah kami semua digigit. Siapa yang mau megang anjing rabies," jawab salah satu bibi pedagang.
Lalu, dia menuturkan, setiap hari mereka berjualan anjing, tetapi tidak setiap hari pula ada anjing yang terjual. Sementara itu, pada Sabtu, menurut dia, para pengepul anjing berdatangan dari berbagai penjuru untuk menjual anjing lagi kepada mereka.
Selama ini, lanjut bibi penjual, kebanyakan pembelinya adalah pemilik rumah makan dan lapo tuak (kedai penjual makanan khas Batak) yang menyediakan menu dan tambul daging anjing atau yang biasa disebut biang atau B1 di Sumatera Utara.
Dia lalu menegaskan bahwa anjing-anjing itu selalu dijualnya dalam keadaan hidup. Kalau dalam perjalanan ke pasar ada anjing yang mati, bangkainya dibuang karena tidak laku lagi.
"Kalau mati dibuang, kami enggak jual bangkai anjing, harus hidup," ucapnya.
Selain di Pajak Pancurbatu yang letaknya di luar Kota Medan, di tengah Kota Medan, daging anjing juga dijual di Pajak Sambu. Hanya saja, tidak lazim anjing hidup yang dijual di pajak ini.
Pajak daging yang letaknya tepat di belakang pos polisi Terminal Sambu, Kelurahan Gang Buntu, Kecamatan Medan Timur, hanya menjual daging anjing dan babi potong.
Daging-daging anjing dijual di depan kompleks ruko tua yang kusam dan kotor. Dua pria pedagang daging babi menggelar dagangannya sambil mengibas-ibaskan plastik di atas tumpukan daging untuk mengusir lalat.
Sementara itu, lapak di sebelahnya sudah kosong. Itu adalah lapak pedagang daging anjing. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan daging anjing di pasar ini. Dalam dua jam, daging anjing biasanya sudah ludes. Biasanya laku kepada para pelanggan.
“Lama kali kakak datangnya. Dia dari subuh paling lama sampai jam 10.00 di sini. Itu pun langsung habis. Tinggal telepon-telepon saja, orang berdatangan. Beli sop anjing ajalah atau ini, daging babi aja,” kata seorang pedagang daging babi sambil merayu.
Daging anjing di pasar ini dijual Rp 50.000 sampai Rp 60.000 per kilogram. Tidak ada pemotongan anjing di tempat ini.
“Daging anjing datang dalam keadaan sudah bersih dan dipotong-potong,” ucapnya.
***
Di Medan, berbagai rumah makan dan lapo tuak yang menyajikan hidangan daging anjing tersebar, mulai dari kawasan Amplas, Helvetia, Marelan, Belawan, hingga Jalan Medan-Binjai. Di jalan keluar dari Medan, di sepanjang Jalan Tanjung Morawa sampai masuk Perbaungan, juga tersaji.
Di sepanjang Jalan Djamin Ginting atau yang terkenal dengan sebutan kawasan Padang Bulan, Medan, hampir di setiap tepi jalan ada warung makan dengan plang nama bertuliskan "sedia babi atau B2 dan B1 panggang, saksang, lomok-lomok, kidu-kidu, dan sop anjing".
Meski terang-terangan menjual menu daging anjing, banyak pemilik warung yang enggan berbicara dan ketakutan. Begitu pula penikmatnya.
Namun, di antara yang enggan, ada para penikmat yang secara terbuka mengakui alasan mereka menyukai menu daging anjing.
Apa kata mereka?
Di Pajak Pancurbatu di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, anjing-anjing yang dijajakan terbungkus karung dan terikat tali. Tak jauh dari situ, ada anjing-anjing berjejal di dalam kandang dari kawat atau besi.
Mereka dijual untuk dikonsumsi dengan harga mulai Rp 40.000 per kilogram.
Di Medan, berbagai rumah makan dan lapo tuak yang menyajikan hidangan daging anjing tersebar.
Meski terang-terangan menjual menu daging anjing, banyak pemilik warung yang enggan berbicara dan ketakutan. Begitu pula penikmatnya.
Namun, ada juga para penikmat yang secara terbuka mengakui alasan mereka menyukai menu daging anjing. Apa kata mereka?
Arman Peranginangin (43) mengaku sudah makan daging anjing dari kecil. Di keluarganya, kebiasaan menyantap menu daging anjing ditularkan dari ayahnya.
Keluarganya dikenal ke seluruh kampung karena sering memotong anjing dan mengundang para tetangga untuk ikut menyantapnya.
“Dari kecil, aku sudah makan daging anjing, minimal sebulan sekali. Gara-gara suka memotong anjing, kami jadi terkenal di kampung. Apalagi ayahku suka mengundang para tetangga kami,” kenangnya.
Kebiasaan masa kecil ini terus terbawa-bawa hingga sekarang.
“Kebiasaan ini tak bisa kutinggalkan. Bawaan badan dan hati kayaknya harus makan daging anjing aku. Itu pun sudah kukurangi. Maklum, usia makin tua, ketahanan fisik menurun. Sekarang kalau sudah kebanyakan makan daging anjing, kepalaku pusing dan pundak terasa berat. Sebelumnya, sikat terus,” kata Arman.
Ayah satu anak yang tinggal di kawasan Johor, Kota Medan, ini mengaku tidak seperti ayahnya yang memotong sendiri anjing yang hendak mereka makan.
Arman memilih makan di rumah makan khas Karo yang biasa juga menyajikan menu babi panggang karo (BPK) yang menyediakan daging anjing.
“Aku suka kali daging anjing panggang. Sekali makan bisa dua porsi, satu porsi dagingnya dan satu porsi lagi bagian dalam, hati, usus, dan jantung. Sekali makan habislah Rp 50.000,” ucapnya.
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai eksportir karet ini mengaku hapal lokasi rumah makan yang menyediakan menu daging anjing yang enak di sekitar Kota Medan dan Kota Binjai dan dia lebih suka menyantap daging anjing sebelum matahari terik, sekitar jam 10 pagi.
“Dagingnya harus segar, baru dipotong, bukan sisa kemarin. Pernah ketahuan aku pemilik rumah makan mencampur dagingnya, marah aku. Heran yang punya rumah makan, kok tahu aku. Sejak itu, selalu dikasihtahunya aku sebelum disajikan,” ucapnya.
Sementara itu, Damai Mendrofa yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, mengatakan, dia sekeluarga percaya bahwa daging anjing membawa manfaat.
”Untuk anak-anak, daging anjing menyembuhkan demam. Untuk orang dewasa, menambah daya tahan tubuhnya,” tuturnya.
Di daerahnya, peminat daging anjing cukup banyak. Harga daging anjing yang masih hidup sekilonya sekitar Rp 25.000. Sementara menu daging anjing yang sudah masak harganya Rp 15.000 seporsi.
“Satu porsi itu sedikit, hanya sepiring kecil. Kalau pas selera, enaknya digoreng dan dimasak pakai bumbu saksang. Terus makannya pakek(pakai) sambal cabe, potongan asam dan kecap asin,” kata Damai.
Seusai menyantap hidangan tersebut, ayah tiga anak ini mengaku merasakan hangat di sekujur tubuh. Dia lebih menyukai daging anjing daripada babi. Damai menjelaskan, daging anjing lebih berserat ketimbang daging babi. Memang, lanjutnya, daging anjing bisa lebih amis, namun mereka yang sudah terbiasa mengolahnya bisa membuat menu daging anjing tanpa bau amis.
Dia mengaku tidak takut dengan ancaman rabies jika salah memakan daging anjing yang terjangkit penyakit anjing gila itu.
“Rabies itu kalau yang makan anjing gigit anjing lain, rabieslah anjingnya,” ungkapnya.
Para "pemain" anjing
Aritonang (57) sedang asyik memecah batu sisa proyek drainase saat ditemui di depan rumahnya di Jalan Pendidikan, Kecamatan Sunggal, Kota Medan. Mantan pemborong bangunan ini terus mengepulkan asap dari rokok yang diisapnya.
Aritonang adalah seorang jagal asu, istilah untuk mereka yang bekerja memotong anjing untuk dikonsumsi. Dia mengaku, baru 10 tahun ini menggeluti usaha menjadi pengepul dan pemotong anjing.
Dia mengaku hanya menampung ras anjing kampung yang kondisinya baik dan bersih. Berumur belum setahun, bukan anjing yang masih menyusui dan "lepas netek" atau tua.
“Kusuruh bawa pulang kalo yang diantar bayi anjing, payah ngurusnya, buat repot aja. Gitu juga kalau kondisinya kurus, kurikan (kulitnya penuh kudis), jelek, buat apa? Apa lagi yang mau dimakan?” ucapnya.
Seekor anjing yang layak dihargai mulai Rp 200.000. Kalau sudah dipotong, harga daging anjing per kilogram dia jual sekitar Rp 50.000. Paling murah adalah bagian kepala, harganya sekitar Rp 40.000.
Langganannya adalah beberapa rumah makan khas Batak dan kedai BPK di kawasan Simpang Selayang. Kalau sedang banyak pasokan, dia akan menjualnya ke Pajak Sambu. Di pasar tradisional tersebut, ayah enam anak ini juga sudah memiliki pelanggan tetap.
“Tapi sekarang lagi kosong barang, sudah dua minggu tidak ada anjing. Untung aku beternak babi, ada dua ekor babiku untuk dijual pas Natal dan Tahun Baru ini,” kata kakek 12 cucu itu.
Dia bercerita, sebelum menderita stroke ringan sejak dua tahun lalu, dia adalah pemakan daging anjing yang kuat.
Selain terbukti mampu menyembuhkan penyakit demam berdarah dan kulit, daging anjing juga bagus untuk laki-laki. Sekarang, mencicipi sedikit saja daging anjing yang sudah diolah membuatnya langsung kesakitan.
“Langsung sakit kepala, enggak tahan aku. Udah enggak kuat lagi sejak stroke ini, faktor usia juga. Gara-gara terlalu banyak makan daging anjinglah makanya stroke aku,” kata Aritonang.
“Tapi anak-anakku masih makan daging anjing, cucu-cucuku kukasih sop kepala anjing biar enggak kena demam berdarah. Daging anjing itu kan panas, cocok untuk demam berdarah, ini paling kuat obatnya karena langsung menaikkan trombosit,” ungkapnya.
Di Kota Medan, Aritonang mengatakan banyak sekali "pemain anjing", mulai dari KM 13 Jalan Medan–Binjai, pinggiran kota mulai Amplas, Belawan, Kutalimbaru, sampai Pancurbatu.
Namun tidak semua pasar di Kota Medan menjual daging anjing. Biasanya pajak (sebutan untuk pasar di Sumatera Utara) yang pasti menjual daging anjing adalah Pajak Sambu, Simpanglimun, dan Pancurbatu. Peminat dagingnya, mayoritas etnis Batak dan China.
“Banyak peminatnya. Orang China suka anjing, tetapi orang itu makannya pakai ramuan, obat mereka. Tapi tetap aja, harga daging babi yang lebih mahal, bukan anjing,” ucapnya.
Dia mengaku, sering mendapati anjing yang menderita rabies. Tanda-tandanya adalah ekornya tidak berdiri tegak dan matanya merah. Menurut Aritonang, anjing rabies sulit dieksekusi karena para penjagalnya takut digigit dan terserang rabies.
“Mengamuk kalo mau dipotong, takut kita, kalau tak hati-hati tangan kita yang digigitnya,” ujar dia.
Sepanjang kariernya menjadi pengepul dan jagal asu, dia juga kerap menemukan anjing jenis herder dan saint-bernard seperti dalam film Beethoven yang dijual pemiliknya karena pemiliknya sudah tak mau memelihara lagi.
Namun, Aritonang menolaknya karena daging anjing jenis ras itu tidak laku dan dagingnya tidak enak.
Olahan daging anjing
Di tempat terpisah, Sinulingga, pemilik RM Sinulingga, ramah menyambut tamu yang datang. Rumah makan yang hanya menyediakan menu daging anjing ini berada di Jalan Ngumban Surbakti, Medan.
Sinulingga mengangguk saat ditanyakan bahwa banyak orang menilai racikan menu daging anjing ala Batak lebih diminati ketimbang dengan bumbu Karo. Alasan dia, orang Batak memiliki lebih banyak variasi olahan daging anjing.
Menu daging anjing ala Karo yang paling terkenal adalah kidu-kidu, tanggo-tanggo (daging dengan potongan besar-besar), panggang B1, lomok-lomok (atau saksang) dan sop.
Kidu-kidu adalah daging anjing yang dicincang halus, diberi bumbu, kemudian dimasukkan ke dalam usus, mirip sosis. Paling banyak disukai adalah kidu-kidu dan panggang.
“Buat kidu-kidu itu yang susah buatnya, harus potong tiga ekor anjing biar dapat lemak-lemaknya,” ungkapnya.
Sinulingga mengatakan, satu ekor anjing biasanya memiliki berat antara 5 sampai 8 kilogram. Kalau sudah dibersihkan dan dipotong-potong, daging utuhnya cuma 2 kilogram.
“ Anjing itu lebih banyak tulangnya. Terus, jumlah anjing yang dijual terbatas. Kalau kita potong pagi dan kurang, tak bisa lagi kita nambah daging. Kalau babi, masih banyak di pasaran,” katanya.
Di warungnya, semua menu B1 harganya Rp 20.000 per porsi berikut daun ubi dan pepaya rebus. Harga itu di luar harga nasi.
Minum penyertanya biasanya nira dan Badak, minuman bersoda rasa sarsaparilla yang diproduksi pabrik asal Siantar. Ayah dua anak ini membuka warungnya mulai pukul 10.00 sampai sore.
Saat ini, setiap hari, Aritonang memotong satu ekor anjing, jauh berkurang saat usahanya berdiri tiga tahun lalu. Saat itu, setiap hari dia paling sedikit memotong dua atau tiga ekor anjing. Kalau tidak membeli anjing yang dijual langsung pemiliknya, dia membeli ke pasar.
“Harga daging anjing juga naik turun, kalau lagi kosong, bisa Rp 55.000 per kilo. Kadang, kalo orang pesan sama ku, Rp 70.000 juga kujual. Namun jika harga daging sedang mahal, harga tiap porsi tidak akan naik, untung sedikitlah,” ucap pria bertubuh gempal ini.
Menurut warga Komplek Setia Budi Raya, Tanjung Sari, Kota Medan, ini, semua bagian tubuh anjing bisa dimakan, kecuali gigi dan kotorannya.
Menu B1 yang tersedia di warungnya juga tidak berbeda dengan warung-warung lain. Soal daging anjing, dia memilih anjing yang muda untuk dipanggang agar mudah dikunyah. Tak peduli ukurannya besar atau kecil.
Syaratnya, biasanya anjing berusia 6 sampai 10 bulan, bebas rabies, dan jenis anjing lokal atau kampung saja.
“Saya bilang sama penjualnya, kasih yang bagus, jangan yang rabies. Daging anjing muda lebih berlemak dan manis. Anjing yang umurnya setahun lebih, udah keras dagingnya, udah gak enak,” ujar dia.
Setiap hari, satu ekor daging anjing habis terjual. Namun demikian, dia lagi berpikir untuk kembali menjual menu daging babi seperti yang pernah dilakukannya sejak 1994 sampai 2013 di Simpang Pencawan, Padang Bulan, Medan.
Tidak tega
Sinulingga mengatakan, meski lebih untung membeli anjing hidup dan memotongnya sendiri, saat ini Sinulingga lebih sering membeli saja ke pasar. Dia mengaku kasihan dan tidak tega saat hendak memotongnya.
Dia bercerita, pernah membeli seekor anjing yang akan dipotongnya keesokan harinya. Sehari sebelumnya, anjing tersebut terus bergelayut di kakinya seakan minta dikasihani.
“Mata anjing itu mata minta dikasihani. Makanya kalau mau kita potong, ditutup kepalanya pakai karung biar engak nampak kita, baru dipukul. Ada orang kan, dijeratnya aja lehernya sampai mati,” katanya.
Soal mitos bahwa anjing selalu menggonggong orang-orang yang mengonsumsi daging anjing, Sinulingga percaya.
“Betul itu, aku begitu. Aku lewat aja digonggong anjing. Kadang didekatinya kita, terus menjauh dia sambil mengonggong, tidak digigitnya. Apa lagi tukang jagal anjing, dikejar. Mungkin bau keringat kita terasa sama anjing itu,” ungkap Sinulingga.
(KOMPAS.com/Mei Leandha)