Berita Belitung

Dul Mulok Tetap Eksis di Daerah Ini, Simak Kisahnya

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI: Dul Mulok

BANGKAPOS.COM , BELITUNG - Pada prinsipnya Dul Mulok tergolong dalam seni pertunjukan yang sifatnya tradisional. Bahasanya menggunakan bahasa setempat, Bahasa Melayu berdialek Membalong. Seperti penyebutan tina' artinya perempuan. Siapa yang pernah nonton Dul Mulok?    

Tidak ada yang mengangkat tangan saat Sofwan AR, seniman pencipta lagu Belitung melontarkan pertanyaan tersebut pada acara Kelakar Seniman dan Budayawan Belitong di Gedung Nasional, Selasa (8/11/2022). Pelajar dan mahasiswa yang duduk lesehan bersama para seniman maupun budayawan terdiam tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. 

Padahal kesenian yang digeluti di Kecamatan Membalong, tepatnya di Desa Kembiri ini mendapat berbagai pengakuan sebagai milik urang Belitong. Di tahun yang sama, 2022, tepatnya 22 Juni 2022, Dul Mulok memiliki sertifikat sebagai kekayaan intelektual komunal (KIK) dari Kemenkumham.

Tiga bulan kemudian, pada 30 September 2022, Dul Mulok Kembiri diakui pula sebagai warisan budaya takbenda (WBTb) dari Belitung, Bangka Belitung.

Kesenian Dul Mulok memang bukan hanya di Belitung, tapi juga ada di Palembang dan Kalimantan. Meski begitu, Dul Mulok Tiang Balai Kembiri memiliki ciri khas dari penggunaan logat Melayu atau tepatnya logat Desa Kembiri yang terwujud dalam syair lakon.

Masih eksisnya Dul Mulok Kembiri tak lepas dari sosok Sar'ie atau akrab disapa Kik Cer. Menggeluti kesenian Dul Mulok telah ditekuninya sejak 1982. Meski usianya tak lagi muda, semangat Kik Cer menjaga seni budaya ini tak pernah surut. 

"Perlu disepakati, kepada yang berhak mempertahankan, untuk anak-anak ke depan. Harapan aku ke depan Dul Mulok ini, kira-kira,  kalau mau diperbagus boleh, cuman tidak boleh ditambah lagu atau dikurang lagu," ucapnya.

Kik Cer pun semringah saat mengajak para siswa dan mahasiswa menyaksikan kelompok seni Tiang Balai Kembiri menampilkan Dul Mulok pada Jumat (11/11/2022) malam.

Dalam Forum Kelakar Seniman dan Budayawan Belitong, Salim YAH, budayawan Belitung turut menimpali terkait kesenian Dul Mulok. Ia bercerita, dalam satu kesempatan pernah melihat pertunjukan Dulmuluk Palembang yang langsung mengingatkannya dengan kesenian itu di Belitung. 

Namun jika melihat dalam berbagai aspek, lanjut Salim, harus diakui Dulmuluk Palembang lebih baik dari segi kostum, peralatan, sampai lampu atau lighting yang digunakan saat pentas. Salim juga memberikan masukan terhadap pentingnya apresiasi kepada seniman seperti Kik Cer yang membuat Dul Mulok Tiang Balai Kembiri tetap eksis hingga kini.

Sebelumnya, dalam forum Kelakar Seniman dan Budayawan Belitong enam narasumber berbagi pengetahuan mengenai seni dan budaya. Yakni hadir Sofwan AR, Rohalbani, Rahini Ridwan, Salim YAH, Marwan Hasan, dan Sar'ie. Bertajuk budaye kite urang Belitong, bari'e, kini ari dan keaba'an, narasumber berkelakar menceritakan pengalaman dan pengetahuan lokal seni maupun budaya.

Kelakar Seniman dan Budayawan Belitong berlangsung dua hari, serta menjadi bagian dari Pekan Kebudayaan Daerah yang diinisiasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Belitung. 

"Semua yang dibicarakan kami coba divideokan dan merekam, nanti akan kami rangkum sehingga menjadi buah pikir dari seniman dan budayawan yang bertemu hari ini. Selain juga sebagai silaturahmi dengan seniman dan budayawan," kata Ketua Penyelenggara Pekan Kebudayaan Daerah, Yayat. 

Marwan Hasan berbagi pengetahuan seputar etnosains, sebuah cabang ilmu sains dan dipelajari orang lokal dan menjadi budaya. Dalam keseharian masyarakat Belitung berkembang berbagai pengetahuan, seperti etnomikrobiologi. 

"Mungkin heran, kenapa orang Belitung tahu mikrobiologi. Tapi kalau dilihat, ada jualan rusip, itu produk mikrobiologi. Kalau ke Sijuk ada lihat belacan, itu produk mikrobiologi," katanya. 

Cara hidup masyarakat Belitung juga berkaitan dengan etnoastronomi. Masyarakat Belitung yang juga terkenal pelaut, memiliki pengetahuan lokal dalam memahami fenomena benda langit. 

Marwan lalu menceritakan, dalam astronomi modern pasang-surut air laut hanya ada dua, spring tides yakni kondisi saat bubongan atau paling tinggi dan surut paling rendah. Juga neap tides atau taru' dalam bahasa Belitung ketika pasang tidak tinggi, surut pun tidak rendah. 

Masyarakat lokal juga memahami ilmu tanda-tanda atau semiotika. Misalnya saat melihat anggrek di pohon kelapa berbunga, saat pergi ke laut dapat dilihat kondisi aik taru' atau pasang tidak terlalu tinggi surut tidak rendah.

"Kenapa air dan anggrek ada hubungan? Itu berhubungan rasio kandungan nitrogen dan fosfor. Begitu daya tarik bulan tinggi, nitrogen tinggi, pucuk yang tumbuh. Begitu bulan menurun, air laut pasang tidak terlalu tinggi, surut tidak rendah, nitrogen turun, fosfor pun naik, bunga tumbuh," ucapnya. 

Pemerhati Budaya Belitung Rahini Ridwan juga berpesan agar tidak mengabaikan pengetahuan lokal. Setidaknya, pengetahuan modern dan tradisional dapat dipelajari bersamaan. 

"Jangan-jangan secara intelektual, ilmu pengetahuan maju tapi secara kebudayaan mundur. Semaju apapun zaman, pengetahuan dari kakek nenek jangan diabaikan. Minimal berjalan sama-sama, modern dan tradisional jangan dibenturkan karena ada waktunya tradisional bisa bermanfaat pada situasi tertentu," ujarnya. (Bangkapos.com/Adelina Nurmalitasari) 

 

Berita Terkini