Oleh: Ekawati Ire Megasari, S.Pd. - Guru SMKN 3 Pangkalpinang
MATEMATIKA sebagai salah satu ilmu pendidikan telah banyak berkembang dewasa ini. Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menemukan, dan menggunakan rumus matematika yang dapat menunjang pemahaman konsep siswa kaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Belajar matematika tidak cukup mengenal konsep, namun dapat mempergunakan konsep tersebut untuk menyelesaikan masalah, baik masalah yang berhubungan dengan matematika ataupun masalah yang dijumpai dalam kehidupan sehari- hari.
Matematika bagi sebagian besar siswa dianggap sebagai pelajaran yang tidak menarik, membosankan, dan sulit untuk dipahami, sebab kurang adanya minat dan motivasi untuk mempelajarinya. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab bahwa hasil belajar matematika masih belum memuaskan, dilihat dari kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa hasil tes formatif matematika pada akhir kegiatan pembelajaran di SMKN 3 Pangkalpinang tergolong rendah bila dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya. Perlu diketahui bahwa nilai akhir kegiatan pembelajaran merupakan tolok ukur keberhasilan pada suatu pembelajaran.
Kemampuan guru dalam interaksi pembelajaran merupakan hal yang sangat penting, seperti kemampuan memilih metode yang tepat dan penggunaan media pembelajaran yang sesuai dengan minat, kebutuhan, dan karakteristik siswa. Penggunaan metode pembelajaran yang masih bersifat konvensional, minimnya penggunaan alat peraga atau media, dan praktik pembelajarannya kurang memanfaatkan situasi nyata membuat siswa mudah bosan dan pemahaman terhadap konsep matematika sulit dicerna. Siswa kurang dilibatkan dalam proses pembelajaran dan cenderung pasif, terbukti dalam kegiatan belajar siswa selalu menunggu guru untuk diberikan contoh-contoh soal dan cara pengerjaannya tanpa mencoba berpikir untuk menggali dan membangun idenya sendiri, serta siswa kurang antusias mengajukan pertanyaan terhadap materi yang dianggap kurang dimengerti.
Oleh karena itu agar siswa aktif dalam bertindak dan berpikir pada proses pembelajaran maka siswa harus diberi kesempatan untuk mencari pengalaman sendiri serta dapat mengembangkan seluruh aspek pribadinya. Siswa pun harus lebih aktif dan mendominasi sehingga dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Dengan kata lain aktivitas siswa dalam pembelajaran bukan hanya mencatat dan mendengarkan penjelasan dari guru. Upaya yang harus diterapkan dalam mengembangkan proses pembelajaran matematika antara lain dengan mengakrabkan matematika kepada siswa sesuai dengan realitas kehidupan sehari-hari, yaitu mengaitkan konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak dan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan serta membangun idenya secara mandiri.
Untuk mengatasi permasalahan di atas, guru harus dapat berusaha meningkatkan dan mengembangkan kualitas proses pembelajaran matematika sesuai dengan kebutuhan kognitif dan keterampilan intelektual siswa. Dengan demikian, konsep pada matematika yang bersifat abstrak dapat dipahami oleh semua siswa dengan mudah dan lebih bermakna. Salah satu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang berorientasi pada hal tersebut adalah dengan menerapkan pembelajaran problem based learning.
Problem based learning adalah model pembelajaran yang dirancang agar peserta didik mendapat pengetahuan penting yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah dan memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, dan menurut saya salah satu materi dalam mata pelajaran matematika yang sangat cocok dalam penerapan metode problem based learning ini adalah materi kaidah pencacahan.
Dalam materi kaidah pencacahan sebagian besar soal sudah dalam bentuk kontekstual, yaitu soal yang dikaitkan dengan dunia nyata atau sering disebut dengan soal cerita. Sebagian besar siswa kesulitan untuk memahami permasalahan-permasalahan dalam materi kaidah pencacahan. Dengan demikian, saya mencoba menggunakan model problem based learning untuk mempermudah siswa memahami tentang kaidah pencacahan.
Problem based learning merupakan sebuah metode pembelajaran yang menantang peserta didik untuk "belajar bagaimana belajar", bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan.
Tahap pertama dalam model pembelajaran problem based learning yang diterapkan di SMKN 3 Pangkalpinang adalah orientasi peserta didik kepada masalah. Dalam tahap ini guru menayangkan slide powerpoint yang menampilkan permasalahan kontekstual pada materi kaidah pencacahan, misalnya terkait dengan aturan perkalian dan aturan penjumlahan. Guru menyajikan dua buah permasalahan.
Masalah pertama: Faris mempunyai dua buah kaus dan tiga buah celana, berapa banyak pasangan celana dan kaus yang dapat dipakai oleh Faris? Masalah kedua yang diberikan guru adalah: Fida mempunyai dua kaus, dua kemeja, dan tiga celana, berapa banyak pasangan kaus, kemeja, dan celana yang dapat dipakai oleh Fida? Dua permasalahan tersebut sepintas sama, tetapi berbeda dalam penyelesaiannya. Inilah yang menjadikan materi kaidah pencacahan demikian rumit bagi siswa. Permasalahan dalam peluang sepintas terlihat sederhana, namun membingungkan dalam mencari solusi permasalahannya.
Tahap kedua adalah mengorganisasikan peserta didik. Peserta didik dibagi dalam kelompok yang heterogen, baik dari segi gender maupun inteligensi. Tujuannya agar mereka dapat berdiskusi untuk mencari solusi dari permasalahan yang diberikan oleh guru.
Tahap ketiga, membimbing penyelidikan baik secara individu ataupun kelompok. Pada tahap ini peserta didik akan memulai mencari informasi, baik dari buku maupun internet. Dalam tahap ini guru membagikan bahan ajar yang berisi rangkuman materi, rumus dan contoh-contoh soal yang bisa dijadikan sebagai referensi. Peserta didik mencari berbagai alternatif solusi, mereka mulai mendaftar semua kemungkinan yang akan menjadi solusi dari permasalahan yang diberikan oleh guru. Peserta didik memulai dengan membuat diagram untuk mencari semua kemungkinan pasangan kaus dan celana yang dapat dipakai oleh Faris serta membuat diagram untuk mencari semua kemungkinan pasangan kaus, kemeja, dan celana yang dapat dipakai oleh Fida.
Tahap keempat, mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Guru mempersilakan masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Pada tahap ini sekaligus guru dapat melakukan pengamatan terhadap peserta didik terkait dengan keaktifan dalam berdiskusi, motivasi dalam memecahkan masalah. Pada tahap ini juga sekaligus sebagai sarana bagi siswa untuk belajar mengemukakan pendapat, belajar berani berbicara di hadapan orang banyak, dan juga belajar untuk mempertanggungjawabkan apa yang menjadi hasil diskusi kelompoknya. Bagi kelompok yang mempresentasikan tugasnya dengan menarik dan mudah dipahami oleh kelompok lain maka diberikan reward (penghargaan) sehingga dapat memotivasi belajar dalam pembelajaran matematika selanjutnya.
Tahap kelima, menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Guru memberikan arahan pada hasil diskusi, memberi penguatan pada jawaban yang benar dan memberikan saran bagi jawaban yang salah. Pada tahap ini diharapkan peserta didik sudah mendapatkan sebuah kepastian solusi dari permasalahan yang diberikan guru. Dengan demikian, peserta didik memiliki sebuah pengetahuan baru yang mereka cari dari usaha sendiri, bukan semata-mata pemberian dari guru.
Problem based learning merupakan salah satu model pembelajaran yang memusatkan pembelajaran pada peserta didik atau student centered. Peserta didik membangun pengetahuannya sendiri, ada karakter kerja keras, pantang menyerah yang diharapkan muncul dari pembelajaran dengan model ini sehingga guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber untuk mentransfer pengetahuan, peserta didik pun dapat mencari pengetahuan itu sendiri. Suasana kelas menjadi lebih hidup, dan belajar pun akan makin menyenangkan sehingga matematika tidak lagi membosankan. (*)