Perang Israel vs Palestina

Bantuan Kemanusian dari Indonesia Diinjak-injak Penjarah Israel, Menteri Retno: Ini Upaya Sistematis

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tangkapan layar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ketika menyampaikan pernyataan Indonesia dalam debat terbuka Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat, pada Selasa (23/1/2024) waktu setempat (Rabu 23/1/2024 WIB).

BANGKAPOS.COM - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI mengutuk keras penjarahan bantuan kemanusian bagi warga Palestina yang berada di Gaza.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi menilai penjarahan itu sebagai upaya sistematis untuk terus menghambat bantuan kemanusian untuk warga Palestina.

"Saya yakin ini upaya sistematis upaya terus menghambat bantuan kemanusiaan untuk Gaza," ujar Retno di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, pada Jumat (17/5/2024).

Menurutnya, masyarakat Gaza saat ini sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan. Apalagi, pemerintah Israel telah mengeluarkan pernyataan untuk tidak menghambat bantuan kemanusian ke Gaza.

"Baru saja mengeluarkan statemen ya lagi kita prihatin bantuan kemanusiaan yang masuk ke Gaza dari waktu ke waktu dihambat, terakhir itu dirayah (dijarah beramai-ramai) ya, di depan aparat Israel, pembiaran ini terus dilakukan," tambah dia seraya memastikan Kemenlu RI telah berbicara dengan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) agar penjarahan itu tak Kembali terjadi.

"Kita keluarkan statement, kita kutuk keras hal hal yang terjadi seperti itu dalam artian menghambat bantuan kemanusiaan, karena bantuan kemanusiaan ini sangat diperlukan masyarakat Gaza saat ini," kata Retno.

"Kita katakan pelaku ditindak dan ada upaya mencegah hal tersebut terjadi lagi. Kita juga melakukan call ke Dewan Keamanan PBB agar hal serupa tidak terjadi lagi. Kami juga sampaikan agar bantuan keamanan jadi prioritas dan dilakukan disalurkan tanpa hambatan," urainya.

Sebelumnya, sebagian bantuan dari warga dunia termasuk ratusan dus mie Instan dari Indonesia gagal sampai ke warga Gaza karena diblokade dan dirusak oleh segerombolan warga Israel.

Mereka mencegat dan merusak bantuan kemanusiaan untuk warga Gaza.

Banyak di antara warga Israel tersebut merusak dengan cara menginjak-injak bantuan kemanusiaan itu, termasuk bantuan berupa makanan yang populer di Indonesia dan Timur Tengah, berupa Mi instan Indomie dan Supermi.

Dengan beringas, warga Israel itu merusak, menginjak-injak, dan melempar-lemparkan bantuan Indonesia untuk warga Gaza.

Video aksi warga Israel merusak dan memblokade bantuan untuk warga Gaza yang sedang kelaparan tersebut viral di media sosial.

Aksi ini terjadi saat iring-iringan truk pembawa bantuan pangan akan menuju ke Gaza tengah melintasi pemeriksaan Tarqumiya di Tepi Barat.

Massa pemukim Israel itu juga merusak dan menumpahkan muatan bahan pangan dari truk ke jalanan lalu menginjak-injaknya.

Melalui pesannya di Twitter, Indonesia mengutuk keras blokade dan perusakan yang dilakukan oleh warga sipil Israel terhadap bantuan kemanusian dari masyarakat internasional bagi warga Gaza.

"Indonesia mengutuk keras blokade dan perusakan yang dilakukan oleh warga sipil Israel terhadap bantuan kemanusian dari masyarakat internasional bagi warga Gaza" tulis Kementrian Luar Negeri Indonesia di akun Twitternya.

"Pembiaran yang dilakukan oleh aparat keamanan Israel membuktikan posisi Israel yang terus mencoba menghalangi dengan berbagai cara penyaluran bantuan kemanusiaan bagi rakyat Gaza. Tindakan tersebut seharusnya ditindak dengan tegas dan dipastikan tidak terulang lagi" tulisnya lagi.

"Jaminan kelancaran bantuan kemanusiaan sangat penting . Dewan Keamanan harus memastikan jaminan dari Israel bagi kelancaran pemberian bantuan kemanusiaan, guna mencegah memburuknya katastropi kemanusiaan di Gaza" tambah Kemenlu RI.

Baca juga: Kondisi Pengungsi Palestina Memprihatinkan, Kota Rafah Hancur Lebur Digempur Israel

Bak Kota Hantu

Kota Rafah di Jalur Gaza saat ini seperti kota hantu setelah serangan membatibuta tentara Israel.

Para pengungsi meninggalkan distrik itu dengan kondisi mengenaskan, kelaparan, kehausan, dan kebingungan.

Mereka tidak tahu harus berlindung ke mana, lantaran Rafah menjadi satu-satunya rumah teraman bagi 1,2 juta pengungsi Palestina.

Sebelum tentara Israel melancarkan serangan, tentara Israel sempat memerintahkan warga Rafah untuk segera mengevakuasi diri.

Sebagai gantinya Israel menjanjikan telah menyiapkan lokasi penampungan di wilayah Muwasi yang berada di dekat pantai Palestina.

Tak berselang lama dari itu Militer Israel mulai melancarkan serangan udara dengan menembakkan sejumlah rudal ke Kota Rafah.

Militer Israel mengatakan 10 proyektil telah diluncurkan dari Rafah di Gaza selatan menuju area menuju Kerem Shalom yang merupakan tempat keluar masuknya truk bantuan kemanusiaan.

Serangan ini yang kemudian memaksa 80.000 orang berbondong-bondong meninggalkan Rafah demi menyelamatkan diri dari serangan Israel.

Suasana tenda pengungsi di Kota Rafah Palestina. Menjelang invasi ke kota tempat lebih dari 1 juta pengungsi Palestina berlindung itu, ribuan tentara cadangan Israel akan dikerahkan menuju Gaza. Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Jelang Invasi Israel ke Rafah, Ribuan Tentara Termasuk Brigade Yiftah dan Carmeli Dikerahkan ke Gaza, https://www.tribunnews.com/internasional/2024/04/25/jelang-invasi-israel-ke-rafah-ribuan-tentara-termasuk-brigade-yiftah-dan-carmeli-dikerahkan-ke-gaza?page=all. Penulis: Muhammad Barir (MAHMUD HAMS / AFP)

Mereka dengan susah payah meninggalkan Rafah, bahkan selama tiga hari terakhir arus orang yang berjalan kaki atau menggunakan kendaraan hingga menimbulkan kemacetan.

Migrasi ini juga turut membuat Rafah yang dulunya ramai dihuni jutaan warga Palestina kini sepi bak kota hantu.

UNRWA, badan PBB yang mengurusi pengungsi Palestina mengatakan dalam tiga hari terakhir sekitar 80.000 orang telah meninggalkan Rafah.

Baca juga: Unmuh Gelar Aksi Bela Palestina, Serentak di 172 Perguruan Tinggi Muhammadiyah

Migrasi ini terpaksa dilakukan puluhan ribu warga Rafah setelah Israel mengintensifkan operasi militer di kota Gaza Selatan itu.

“Sejak operasi militer pasukan Israel semakin intensif pada tanggal 6 Mei, sekitar 80.000 orang telah meninggalkan Rafah untuk mencari perlindungan di tempat lain,” kata UNRWA dikutip dari Al Arabiya.

Pengungsi di Kamp Muwasi Hadapi Kondisi Sangat Sulit

Ribuan orang yang mengungsi dari bagian timur kota Rafah di selatan Jalur Gaza ke daerah Muwasi yang relatif aman di utara mengalami kondisi yang keras dan kurangnya layanan bantuan.

Warga mengeluh tidak bisa mengakses toilet sementara air yang mengalir di Muwasi sangat sedikit.

Banyak dari mereka buang air di lubang berdinding yang mereka gali di luar tenda untuk menghindari antrian panjang di jamban umum dan menjaga privasi.

Warga Palestina mengatakan mereka terkadang menunggu berjam-jam untuk mengambil air minum dari kapal tanker yang mengirimkannya ke berbagai lokasi di kamp.

“Wilayah Al-Muwasi penuh sesak dengan lebih dari 400.000 orang,” komisaris jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, menulis di X.

“Daerah ini tidak memiliki fasilitas untuk menampung lebih banyak orang dan tidak lebih aman dibandingkan wilayah lain di Gaza,” imbuhnya, dikutip dari APNews.

Warga Palestina Tak Kuat Berjalan Tinggalkan Rafah

Pada hari Senin (6/5/2024), pasukan Israel menyebarkan pamflet yang menyuruh warga Palestina untuk meninggalkan Rafah.

Militer Israel mengancam akan melakukan operasi di wilayah paling selatan Jalur Gaza itu, yang sudah dipadati penduduk yang mengungsi.

Mengutip Middle East Eye, PBB memperkirakan ada sekitar 1,2 juta orang yang tinggal di kamp-kamp penampungan di Rafah, dengan kondisi yang menyedihkan.

“Kelaparan besar-besaran yang terjadi di bagian utara Gaza telah menyebar ke bagian selatan," kata Cindy McCain, kepala Program Pangan Dunia, akhir pekan lalu.

Ada sekitar 200 warga Palestina yang terpaksa mengungsi dari Rafah setiap jamnya, kata Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (Unrwa) pada hari Rabu (8/5/2024).

Dalam konferensi pers online, para dokter dan pekerja bantuan kemanusiaan yang melaporkan dari Gaza berbicara tentang mustahilnya memindahkan orang dari Rafah.

Sebab, orang-orang di sana dilanda kelaparan serta ditambah dengan runtuhnya sistem transportasi dan layanan kesehatan.

"Ada anak-anak dan orang tua yang sangat kelaparan sehingga mereka hampir tidak bisa berjalan. Orang-orang ini tidak bisa begitu saja pindah ke daerah lain, ke tempat yang mereka sebut 'zona aman'. Itu tidak mungkin," kata Alexandra Saieh, kepala kebijakan kemanusiaan dari Save the Children.

Beberapa pekerja bantuan menyatakan bahwa tidak ada daerah yang aman di Jalur Gaza untuk direlokasi.

“Konsep zona aman adalah sebuah kebohongan,” kata Helena Marchal, dari Medecins du Monde.

Para pekerja bantuan juga menegaskan kembali sulitnya memasukkan bantuan ke Gaza dan kemudian mendistribusikannya.

Penyeberangan Rafah dan Kerem Shalom, yang merupakan pintu masuk pengiriman bantuan, telah ditutup sejak Minggu malam.

Jalan-jalan di Gaza sebagian besar hancur atau diblokir oleh orang-orang yang berlindung, sehingga berkontribusi terhadap sulitnya pergerakan barang dan orang.

"Hanya sejumlah kecil rute, terutama antara utara dan selatan, yang tersedia untuk keperluan kemanusiaan," kata Jeremy Konyndyk, dari Refugees International.

Masalah lainnya adalah kepadatan yang berlebihan.

“Di Deir al-Balah dan daerah Mawasi di pinggiran Rafah dan Khan Younis, hampir tidak ada tempat,” kata Ghada Alhaddad, dari Oxfam International.

"Ada tenda di mana-mana, di pantai, di trotoar, di jalan, di kuburan, di halaman rumah, rumah sakit, di halaman sekolah."

Saieh menjelaskan bahwa timnya membutuhkan waktu enam minggu dan empat kali gagal untuk memindahkan beberapa ratus paket makanan dari Rafah ke utara Gaza.

Bahan bakar masuk melalui penyeberangan Rafah.

“Seluruh operasi bantuan menggunakan bahan bakar. Jika bahan bakar dihentikan, operasi bantuan akan gagal,” kata Konyndyk.

Profesor John Maynard, seorang ahli bedah dari Inggris yang telah menghabiskan dua minggu terakhir mengoperasi warga Palestina di Gaza, menyoroti komplikasi langsung akibat dari kekurangan gizi.

“Saya mempunyai dua pasien, 16 dan 18 tahun, keduanya menderita luka yang masih bisa disembuhkan, tapi keduanya meninggal minggu lalu akibat kekurangan gizi.”

Rekannya, Dr Kahler, berbicara tentang “titik kritis” di mana enam-delapan bulan, sistem imunologi tubuh bisa rusak.

“Pada saat itulah infeksi dan komplikasi akibat malnutrisi akan dimulai,” tambahnya.

Bencana kelaparan (famine) terjadi jika kurangnya akses terhadap makanan yang berkepanjangan dan parah, tingginya tingkat kekurangan gizi pada anak-anak, dan tingginya angka kematian akibat kelaparan dan penyakit.

Baca juga: Ribuan Tentara Israel Cacat Fisik Sejak Perang di Gaza

Ketiga ambang batas itu telah dilewati di utara, kata Konyndyk.

“Jika terjadi invasi Rafah, hal ini tentu akan membuat segalanya melewati titik kritis, dan kita akan melihat meroketnya angka kematian akibat kelaparan.”

WHO Ingatkan Dampak Mengerikan yang Akan Terjadi akibat Serangan Israel ke Rafah

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) soroti serangan Israel ke Rafah.

Dilansir dari website resmi, WHO ungkap dampak mengerikan yang bakal terjadi akibat serangan ini.

"Seperti meningkatnya wabah penyakit dan tingkat kelaparan, serta bertambahnya korban jiwa," ungkap WHO dilansir Tribunnews, Kamis (9/5/2024).

Diketahui lebih dari 1,2 juta orang telah mengungsi di wilayah tersebut. Banyak di antara pengungsi tidak dapat berpindah ke tempat lain.

Hal ini dikarenakan gelombang baru pengungsian yang akan memperburuk kepadatan penduduk.

Situasi juga diperparah dengan terbatasnya akses terhadap makanan, air, layanan kesehatan dan sanitasi.

Sejauh ini hanya 33 persen dari 36 rumah sakit di Gaza dan 30 persen pusat layanan kesehatan primer yang berfungsi dalam kapasitas tertentu, di tengah serangan berulang kali dan kekurangan pasokan medis penting, bahan bakar, serta staf.

WHO pun menyebutkan Tiga rumah sakit yaitu Al-Najjar, Al-Helal Al-Emarati dan Kuwait yang saat ini sebagian beroperasi di Rafah menjadi tidak aman untuk dijangkau oleh pasien, staf, ambulans, dan pekerja kemanusiaan.

Rumah Sakit Gaza Eropa di timur Khan Younis, yang saat ini berfungsi sebagai rumah sakit rujukan tingkat ketiga untuk pasien kritis, juga rentan karena terisolasi dan tidak dapat dijangkau selama serangan terjadi.

Terlepas dari rencana dan upaya darurat yang ada, WHO memperingatkan bahwa akan ada tambahan angka kematian dan kesakitan yang signifikan ketika serangan militer terjadi.

WHO menyerukan untuk segera gencatan senjata jangka panjang, serta penghapusan hambatan dalam pengiriman bantuan kemanusiaan di seluruh Gaza, pada skala yang diperlukan. 

Selain itu WHO juga menyerukan agar kesucian layanan kesehatan dihormati.

Pihak-pihak yang berkonflik mempunyai koordinat fasilitas kesehatan.

"Fasilitas kesehatan harus dilindungi secara aktif dan tetap dapat diakses oleh pasien, petugas kesehatan, dan mitra," tegas WHO.

Keselamatan pekerja kesehatan dan kemanusiaan harus terjamin.

"Mereka yang berupaya menyelamatkan nyawa tidak seharusnya membahayakan nyawanya sendiri," tutup WHO.

(Tribunnews.com/ Namira Yunia/Tiara Shelavie/Aisyah Nursyamsi)

Berita Terkini