Dari Bioskop ke Warung Kopi, Kisah Panjang Pasar Mambo, Jantung Ngopi Pangkalpinang
BANGKAPOS.COM, BANGKA -- Kawasan Jalan M.H. Muhidin atau yang akrab dikenal dengan nama Pasar Mambo kini tak hanya menjadi pusat perdagangan, tetapi juga telah menjelma sebagai salah satu jantung budaya ngopi di Kota Pangkalpinang. Deretan warung kopi yang memenuhi hampir setiap sudut jalan menjadikan kawasan ini ramai sejak pagi hingga malam, sehingga mendapat julukan baru: “Kawasan Kopi Pangkalpinang”.
Motor-motor terparkir rapat di depan warung, aroma kopi saring menyeruak dari dapur kecil, asap rokok mengepul pelan, berpadu dengan tawa dan obrolan hangat pengunjung. Para barista lokal dengan cekatan meracik kopi saring, teh terik panas, dan minuman ringan lainnya yang kini turut melengkapi suasana. Dari obrolan sederhana, gelak tawa, debat kecil soal politik, hingga sekadar bercanda santai terdengar dari meja-meja kayu panjang yang dijejali pengunjung.
Yang menarik, pengunjung Pasar Mambo kini berasal dari berbagai kalangan dan usia, tak hanya orang tua, tetapi juga anak muda lokal hingga luar kota. Nongkrong di warung kopi di sini telah menjadi bagian dari gaya hidup modern, tempat berbagi cerita, bertukar ide, hingga merintis kreativitas.
Namun, di balik keramaian ngopi hari ini, kawasan Pasar Mambo memendam sejarah panjang yang menarik.
Sejarawan sekaligus Budayawan Bangka Belitung, Akhmad Elvian, menyebut kawasan ini dulunya adalah pusat hiburan pada era kolonial.
Elvian bercerita, sekitar tahun 1920-an, di kawasan ini berdiri Bioskop Garuda dan Bioskop Aurora, dua tempat hiburan favorit masyarakat Pangkalpinang kala itu.
"Kedua bioskop ini dikelola oleh perusahaan NV. MEBY (Maatschappij tot Exploitatie van Bioscopen en Ys fabrieken) yang dibentuk di bawah notaris H.H.M.R. Scipio Blume pada 24 Januari 1924. Bahkan sebelumnya, sekitar tahun 1919, NV. MEBY sudah mulai mengelola pemutaran film di Bioskop Garuda," ujar Elvian kepada Bangkapos.com, Senin (2/6/2025).
Di antara kedua bioskop itu, berdiri pula Restoran Kutub Utara (Noordpool), yang kala itu menjadi tempat berkumpul para Belanda. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, bioskop Aurora kemudian berganti nama menjadi Bioskop Surya.
Seiring waktu, dunia hiburan di kawasan ini mulai meredup. Sekitar tahun 1988, bioskop-bioskop tersebut mulai tersendat beroperasi akibat konflik kepengurusan hingga akhirnya tutup sepenuhnya. Meski demikian, denyut kehidupan kawasan ini tak pernah padam.
"Di sisi timur Pasar Mambo, terdapat Gang Singapur, dinamai karena dahulu menjadi permukiman orang-orang Tionghoa dari Singapura yang membuka usaha di kawasan pasar. Mereka turut mewarnai geliat ekonomi di sana, hingga kawasan ini berkembang menjadi pusat perniagaan yang hidup," jelasnya.
Kini, warung-warung kopi mengambil alih estafet kehidupan sosial kawasan Pasar Mambo. Setiap gelas kopi yang disajikan seolah menyambung napas panjang sejarah, mengubah bekas pusat hiburan menjadi ruang pertemuan lintas generasi.
Malam hari adalah saat terbaik menikmati suasana. Lampu-lampu temaram menggantung, suara canda beradu dengan denting sendok yang mengaduk gelas, aroma kopi memenuhi udara, dan motor-motor terus berdatangan.
Pasar Mambo tidak hanya menyajikan kopi, tetapi juga menghadirkan ruang nostalgia, tempat lama yang tetap hidup, beradaptasi dengan zaman, tapi tak kehilangan jiwanya. (Bangkapos.com/Andini Dwi Hasanah)