BANGKAPOS.COM, BANGKA - Ratusan orang terpantau lalu lalang dalam kurun waktu kurang lebih empat jam, mulai pukul 10.00 WIB hingga 14.00 WIB. Namun sebagian besar dari mereka hanya melenggang dengan tangan kosong. Tidak ada kantong plastik atau paper bag yang berisi belanjaan usai mereka berkeliling di pusat perbelanjaan modern di Ibu Kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung itu.
“Lihat-lihat aja sih, sambil ngisi waktu. BTC enak, adem dan ramai, terus bisa pegang langsung barang yang mau dibeli. Harganya memang lebih mahal dikit dari online, tapi enggak terlalu jauh,” kata Mesie, satu di antara ratusan pengunjung di Bangka Trade Center (BTC) Pangkalpinang, Senin (28/7/2025).
Remaja putri itu datanng ke BTC bersama Selvi (20) dan dua rekan sesama mahasiswa di Universitas Bangka Belitung. Mereka mengaku cukup sering menghabiskan waktu di BTC meski hanya sekadar berkeliling dan melihat barang-barang yang dijual di pusat perbelanjaan modern tersebut.
“Kalau sekarang cuma liat-liat, tapi kadang juga beli, apalagi kalau mau hari besar kayak Lebaran. Sekarang ekonomi lagi menurun makanya tidak telalu banyak membeli. Sering juga datang ke sini buat chill dan makan bareng temen,” kata Selvi.
Rombongan pengunjung seperti Mesie Cs itu mendapat julukan Rombongan Hanya Nanya (Rohana) dan Rombongan Jarang Beli (Rojali). Sebutan ini viral di media sosial yang menggambarkan perilaku konsumen yang datang berkelompok ke mal atau pusat perbelanjaan, tapi hanya sekadar melihat-lihat atau bertanya-tanya tanpa melakukan pembelian.
Dikutip dari Kompas.com, banyak pihak menilai fenomena Rohana dan Rojali ini sebagai cerminan bahwa daya beli masyarakat belum benar-benar pulih, terutama di kalangan menengah ke bawah.
Tak hanya remaja, kaum ibu pun terkadang hanya berkeliling dan ‘cuci mata’ saat datang ke BTC Pangkalpinang. Sri (43), warga Desa Air Mesu, Kecamatan Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah, misalnya. Ditemui Bangka Pos saat sedang menyantap makanan ringan di area BTC Pangkalpinang, Sri mengaku awalnya hanya berniat melihat-lihat saat datang ke BTC.
“Sebenarnya cuma ingin lihat-lihat. Tadi pagi dari pasar beli jagung, mampir ke BTC karena dekat,” ujar Sri, Senin (28/7).
Namun, seperti yang sering terjadi, niat awal hanya melihat berubah jadi transaksi. “Saya akhirnya beli peci dan sarung buat suami, soalnya pas lihat warnanya cocok dan harganya oke,” jelasnya.
Sri juga mengaku sering membandingkan harga toko fisik dengan toko daring. “Kalau harga enggak jauh beda dan bisa lihat langsung bahan dan ukuran, ya saya beli di sini,” tambahnya. Sri mengaku bisa datang ke BTC sampai empat kali sebulan.
Lebih Sepi
Liana, seorang pedagang pakaian bayi dan perlengkapan anak di BTC yang buka mulai pukul 10.00 WIB sampai dengan 16.00 WIB menyampaikan bahwa penjualan toko miliknya terus menurun sejak kasus korupsi timah Rp271 triliun terungkap. Perempuan yang mengelola toko bersama kakaknya itu menilai kondisi sepi pembeli lebih parah daripada saat Covid-19 melanda Babel.
"Dulu setidaknya masih ada yang beli. Sekarang banyak yang datang cuma lihat-lihat atau nanya, tapi tidak beli," kata Liana, Senin (28/7).
Liana mengakui kondisi yang mirip fenomena Rohana dan Rojali juga terasa di BTC dalam beberapa bulan terakhir. Meski begitu, dia tetap menyambut pengunjung dengan ramah. "Enggak apa-apa, yang penting masih ada orang datang. Rezeki sudah ada yang atur, tugas kami melayani dengan baik," ujarnya sembari tersenyum.
Liana berharap pemerintah dan para pemimpin daerah dapat memperhatikan kondisi riil para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM), khususnya yang bergantung pada pusat perbelanjaan tradisional.
Serupa disampaikan Yuri, penjual alat mengaji dan busana muslim, yang tampak duduk di depan lapaknya dengan peci resam dan senyum menyambut pelanggan. Dia juga merasakan penurunan yang sama. “Kalau ramai biasanya pas libur panjang atau hari raya saja. Selebihnya sepi, karena saya juga enggak jualan online,” kata Yuri yang lapaknya tidak jauh dari toko Liana.
Yuri juga berusaha berpikir positif saat berhadapan dengan Rohana dan Rojali pada saat ini.
"Mereka niatnya memang jalan-jalan, tapi siapa tahu kalau lihat harga cocok, mereka jadi beli. Itu yang kami harapkan," katanya.
Nasib Penjual Makanan
Sementara itu, Siti, penjual makanan ringan seperti sosis dan camilan lainnya, menyebut bahwa penjualan makanannya masih cukup stabil. “Alhamdulillah rame sih, apalagi di hari libur seperti Sabtu dan Minggu. Memang ada penurunan sedikit kalau bukan hari libur atau saat sekolah aktif, tapi masih wajar untuk makanan,” kata Siti yang berdagang di sekitar gedung BTC Pangkalpinang.
Siti berjualan sendiri dari pukul 10.00 hingga pukul 16.00 WIB. Menurutnya, fenomena Rohana dan Rojali tidak terlalu berdampak pada jenis jualan seperti miliknya.
“Mungkin karena makanan murah, jadi mereka langsung beli. Kalau sekadar lihat-lihat, jarang. Jadi alhamdulillah, masih jalan,” katanya.
Sudah Ada Sejak Dulu
Mulanya istilah Rombongan Hanya Nanya (Rohana) dan Rombongan Jarang Beli (Rojali) ramai diperbincangkan di media sosial. Istilah unik yang viral ini mencuri perhatian di dunia ritel dan pusat perbelanjaan karena merujuk pada tipe pengunjung mal atau pusat perbelanjaan yang sering ditemui di akhir pekan atau musim liburan.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, mengungkapkan bahwa perilaku Rohana dan Rojali adalah fenomena yang sebenarnya sudah berlangsung lama.
“Ini bukan tren baru. Sejak dulu memang ada pengunjung yang datang hanya untuk jalan-jalan tanpa berbelanja,” ujarnya dilansir Kompas.com pada Sabtu (26/7).
Namun, menurut Alphonzus, intensitasnya kini meningkat, seiring dengan tekanan ekonomi yang belum sepenuhnya mereda.
“Sekarang jumlahnya makin terasa, karena daya beli belum kembali seperti sebelum pandemi. Apalagi di kalangan bawah,” tambahnya.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa fenomena ini belum sampai mengguncang kinerja pusat perbelanjaan secara keseluruhan. Di luar Pulau Jawa, kondisi masih cukup stabil. Tapi Alphonzus mengingatkan, bila daya beli tak segera membaik, efek domino bisa menjalar ke sektor lain seperti ritel, manufaktur, bahkan keuangan.
Untuk menjaga minat belanja masyarakat, para pengelola pusat belanja kini berlomba-lomba menggelar promo menarik, apalagi menjelang momen belanja besar seperti Natal dan Tahun Baru. Selain itu, strategi promo juga digunakan untuk memperpendek masa "low season" yang lebih panjang tahun ini karena Ramadan dan Lebaran datang lebih awal.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso menilai masyarakat tak perlu khawatir berlebihan soal Rojali dan Rohana. “Itu biasa saja. Orang bisa memilih mau belanja online atau langsung ke toko. Dari dulu juga sudah begitu,” kata Budi saat ditemui di Jakarta.
Ia juga melihat banyak konsumen yang datang ke mal hanya untuk membandingkan kualitas dan harga, sebelum akhirnya memutuskan membeli secara daring. “Mereka ingin pastikan barang asli, bukan palsu atau rekondisi. Jadi cek langsung ke toko dulu, baru beli online,” jelasnya.
Daya Beli Cenderung Stabil
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat daya beli masyarakat selama tahun 2024 hingga 2025 cenderung stabil atau terjaga. Meski terjadi inflasi dan deflasi dalam rentang waktu itu, dan mempengaruhi daya beli masyarakat, BPS menilai perlu dilihat lebih dalam kelompok pengeluaran mana saja yang mengalami inflasi atau deflasi.
“Dan selama inflasi berada pada rentang target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, maka seyogyanya daya beli masyarakat akan terjaga atau stabil,” tulis Kepala BPS Babel, Toto H Silitonga dalam jawaban tertulisnya kepada Bangka Pos, Rabu (30/7).
Toto menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi inflasi atau deflasi yang berpengaruh pada daya beli masyarakat di Babel. Pertama, faktor musiman khususnya cuaca. Sebagai provinsi kepulauan, beberapa kelompok pengeluaran khususnya makanan sangat dipengaruhi oleh faktor musim.
“Misalnya saat gelombang tinggi harga komoditas laut akan cenderung lebih mahal. Saat musim hujan/curah hujan tinggi, harga sayuran hijau akan naik karena banyak petani gagal panen. Saat musim panen harga beras akan turun dan lain sebagainya,” tuturnya
Kedua, momen Hari Besar Keagamaan. Toto mengatakan adat istiadat dan budaya Babel yang unik menyebabkan banyaknya momen peringatan seperti Lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, Cengbeng, Maulid, 1 Muharam, Sembahyang Kubur, Ruahan dan momen lainnya yang sangat mempengaruhi konsumsi masyarakat.
Ketiga, tahun ajaran baru dan musim kelulusan atau ujian. “Tahun ajaran baru akan mempengaruhi kelompok pengeluaran pada kelompok pendidikan seperti pengeluaran untuk les, pembelian seragam dan perlengkapan sekolah,” kata Toto.
Keempat, kebijakan Pemerintah. Adanya kebijakan pemerintah seperti penyesuaian tarif BBM, tarif Listrik, Transportasi khususnya angkutan udara sangat berpengaruh pada daya beli dan konsumsi masyarakat.
Kelima, Toto menyebut kondisi perekonomian baik lokal maupun global akan mempengaruhi daya beli dan pola konsumsi masyarakat.
Dengan tren inflasi atau deflasi yang menggambarkan daya beli masyarakat Babel cenderung stabil atau terjaga, Toto menyebut perlu studi atau penelitian khusus agar dapat menyimpulkan secara pasti apakah ada korelasi antara penurunan daya beli dan aktifitas berbelanja Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) di masyarakat Babel.
Dia hanya memastikan pihaknya telah melaksanakan tugas untuk memotret kondisi lapangan untuk melihat perubahan harga barang dan jasa pada periode tertentu di masyarakat.
Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menekankan bahwa perilaku seperti Rojali belum tentu mencerminkan kemiskinan secara langsung. Namun, menurutnya, fenomena Rojali dan Rohana adalah sinyal tekanan ekonomi, terutama yang dirasakan oleh kelompok masyarakat rentan.
“Fenomena Rojali memang belum tentu menunjukkan kemiskinan, tapi tetap relevan sebagai gejala sosial. Ini bisa menandakan adanya tekanan ekonomi di lapisan tertentu,” ujar Ateng dilansir Kompas.com, Sabtu (26/7).
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2025, BPS mencatat bahwa kelompok masyarakat dengan pengeluaran tinggi pun kini mulai menahan konsumsi.
Namun, Ateng menjelaskan, penurunan konsumsi di kelompok atas belum berimbas langsung pada angka kemiskinan nasional karena kelompok ini tidak masuk dalam kategori rentan.
“Memang ada kecenderungan menahan belanja di kelompok atas. Tapi ini tidak serta-merta mengubah statistik kemiskinan nasional,” imbuhnya.
Menurut laporan BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2025 tercatat 23,85 juta orang, atau setara 8,47 persen dari total penduduk. Angka ini turun 200 ribu orang dibandingkan September 2024. Namun, tren berbeda justru muncul di wilayah perkotaan. (x1/kompas.com)