BANGKAPOS.COM, JAKARTA – Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dinilai tidak memberikan kepastian hukum bagi wartawan.
Ketidakpastian hukum itu menjadi celah terjadinya tindakan kekerasan atau kriminalisasi terhadap jurnalis.
Dewan Pers mencatat angka kekerasan terhadap wartawan pun mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir.
Baca juga: Tiga Jurnalis Dikeroyok saat Liputan Lokasi Tambak Udang di Beltim, Lima Orang Jadi Tersangka
Tidak hanya itu, jurnalis juga masih kerap menerima gugatan terhadap karya jurnalistik mereka.
Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Permohonan diajukan ke Mahkamah Konstitusi, pada 17 Agustus 2025.
Koordinator Tim Kuasa Hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa, menilai Pasal 8 UU Pers tidak memberikan kepastian hukum bagi wartawan.
“Rumusan norma ‘perlindungan hukum’ dalam Pasal 8 UU Pers masih sangat multitafsir. Tidak dijelaskan perlindungan seperti apa yang diberikan pemerintah dan masyarakat kepada wartawan,” kata Viktor dalam keterangan tertulis, Senin (18/8/2025).
Baca juga: ANEH Bunga di Pusara Arya Daru Berganti Seikat Warna Putih, Terjadi Sehari Sebelum Gelar Perkara
“Ketidakjelasan ini membuka celah kriminalisasi dan gugatan perdata terhadap wartawan atas karya jurnalistiknya,” sambungnya.
Dalam permohonannya, Iwakum meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 8 UU Pers dan Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
1. Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan terhadap wartawan dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kode etik pers;
Atau,
2. Pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers.
Ketua Umum Iwakum, Irfan Kamil mengatakan, langkah ini merupakan upaya untuk memperjuangkan kemerdekaan sejati bagi pers di Indonesia.
“Di usia ke-80 tahun Republik Indonesia, kami ingin memastikan bahwa kemerdekaan pers bukan sekadar jargon, tetapi benar-benar dilindungi secara hukum,” kata Kamil.
“Wartawan tidak boleh lagi bekerja di bawah bayang-bayang ancaman kriminalisasi maupun gugatan perdata hanya karena menjalankan tugas jurnalistik,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal Iwakum, Ponco Sulaksono menambahkan, wartawan seharusnya mendapatkan perlindungan hukum yang jelas, sama seperti profesi lain.
“Advokat dilindungi oleh Pasal 16 UU Advokat, Jaksa dilindungi Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan. Wartawan juga seharusnya mendapat perlindungan hukum yang tegas dan tidak multitafsir. Jika tidak, kebebasan pers yang dijamin konstitusi akan terus terancam,” kata Ponco.
Kekerasan Terhadap Jurnalis Meningkat
Mantan Ketua Dewan Pers periode 2022–2025, Ninik Rahayu, mengungkapkan bahwa angka kekerasan terhadap jurnalis dalam tiga tahun terakhir di ruang digital meningkat.
“Soal upaya perlindungan kepada jurnalis, harus diakui tiga tahun terakhir, angka kekerasan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk, terutama melalui ruang digital, sangat tinggi,” kata Ninik, dalam acara serah terima jabatan anggota Dewan Pers periode 2022–2025, Rabu (14/5/2025).
Ninik menyebutkan, sebanyak 87 persen jurnalis perempuan menjadi korban kekerasan seksual di ruang digital. Selain itu, kekerasan fisik terhadap jurnalis juga masih terjadi di berbagai daerah, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Ia menegaskan, sistem perlindungan dan penanganan terhadap jurnalis korban kekerasan belum berjalan secara komprehensif.
“Sampai hari ini, upaya perlindungan kepada jurnalis yang mengalami kekerasan belum terpenuhi secara sistematis,” ujar dia.
Ninik menilai, ada banyak kasus berhenti di tahap penyelidikan tanpa kejelasan, sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis yang menjadi korban.
“Jangan sampai pelaporan hanya jadi perjuangan tanpa hasil. Walau memang ada juga kasus yang berhasil ditindaklanjuti,” tambah Ninik.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Dewan Pers melalui rapat pleno dan bekerja sama dengan Institute for Media & Society (IMS), membentuk Satuan Tugas Nasional Perlindungan Keselamatan Jurnalis (SATNAS).
Satgas ini, bertujuan mempercepat penanganan kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam seluruh tahapan kerja jurnalistik, mulai dari pencarian, pengolahan, penyimpanan, penyebaran informasi, hingga pasca-produksi.
“Dengan adanya SATNAS, diharapkan ada percepatan penyelesaian, kepastian hukum, dan pemulihan bagi korban, serta keadilan bagi jurnalis yang menjalankan tugas,” tegas Ninik.
Di akhir masa jabatannya, Ninik juga menyampaikan komitmen Dewan Pers untuk memberikan perlindungan lebih kepada pers kampus dan media alternatif, yang menurut dia merupakan bagian penting dari masa depan ekosistem pers Indonesia.
“Mereka adalah bagian dari masa depan kehidupan pers kita. Sudah saatnya mereka juga mendapatkan perhatian dan perlindungan yang layak,” tegas dia.
(Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami) (Kompas.com/Kiki Safitri, Robertus Belarminus)