Tribunners
Belajar Hukum dan Integritas dari Sang Guru Besar Dwi Haryadi
Selamat kepada Prof. Dr. Dwi Haryadi. Teruslah menjadi pribadi yang tenang, membumi, dan merawat integritas yang sebagai ciri khas, Mas Prof!
Oleh: Darwance - Dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, Murid Prof. Dr. Dwi Haryadi, S.H., M.H.
SIANG itu, terik matahari kian terasa. Beberapa saat tak saya pegang, saya membuka ponsel yang untuk beberapa waktu tersambung ke sumber listrik untuk menambah daya. Saya buka pesan masuk melalui WhatsApp dari seorang guru yang kini menjadi kolega dan teman dalam banyak diskusi, meneliti, dan mengabdi.
Ia adalah Dwi Haryadi, kadang kupanggil “Bapak”, kadang “Pak”, kadang “Mas”, pokoknya suka-suka. Beliau menerima, atau terpaksa menerima. Pada tulisan ini, kugunakan “Pak Dwi”, walau di bagian akhir, panggilan ini kuubah seketika. Di luar soal itu, pokoknya kami sering terlibat banyak dalam kegiatan tridarma perguruan tinggi.
Isi pesannya singkat, terlampau singkat, tetapi saya yakin ada sesuatu yang tersembunyi di sana. “Mas...”, begitu isi WA ini yang masuk pada Selasa, 1 Juli 2025, pukul 13.24 WIB. Saya membukanya di jam 13.32 WIB, dan langsung membalasnya seraya bertanya.
“Opo, Mas? GB ya? Duh, dagdigdug saya, Mas...Bismillah,” saya balas dengan emot tertawa, yang jika diterjemahkan secara bebas kira-kira berarti, “Apa, Mas? Guru Besar (-nya diterima) ya? Duh, berdebar saya, Mas…Bismillah”.
Di antara suhu Pangkalpinang yang menyengat, terbayang saat kali pertama berjumpa dengan Pak Dwi. Pada waktu itu, saya masih sebagai mahasiswa tahun kedua di fakultas tempat kami sama-sama mengabdi sekarang. Pak Dwi baru bergabung. Sebagai dosen baru dengan gelar master yang masih jarang saat itu, ia spontan menjadi sosok yang dielu-elukan oleh mahasiswa. Usia yang masih muda, perawakan yang merujuk pada rupa aktor dari Negeri Tirai Bambu, membuat tak sedikit mahasiswi yang menjadikannya idola. Usahlah kusebut siapa mereka.
Saya juga spontan mengagumi beliau setelah tidak sengaja membaca sebuah makalah pada sebuah acara yang diinisiasi oleh mahasiswa di Gedung Panti Wangka, di situ tertulis judul dan nama penulis, “Dwi Haryadi, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas Bangka Belitung”. Dosen? Setahuku tak ada dosen bernama ini. Setelah kukonfirmasi, beberapa dosen berkata, “Itu dosen baru.” Selesai untuk masalah ini. Apa yang kukagumi? Gelar magister hukum yang ia sandang. Apalagi, sebagai kampus baru, dosen bergelar S2 masih dapat dihitung dengan jari.
Perjumpaan dengan Pak Dwi selanjutnya lebih banyak terjadi di ruang-ruang kelas. Ia mengajar beberapa mata kuliah kunci, di antaranya adalah hukum pidana. Dari Pak Dwi saya pada akhirnya tahu tentang Prof. Barda Nanawi Arief, sebab pada materi yang beliau sampaikan, senantiasa terselip nama salah seorang begawan hukum pidana di negeri ini. Nama itulah yang salah satunya membuatku ingin sekali kuliah di Semarang, tempat di mana sang begawan itu berbagi ilmu secara formal, walau pada sebuah persimpangan, akhirnya saya memilih berjumpa dengan Prof. Paripurna P. Sugarda dan Prof. M. Hawin, dua di antara begawan hukum bisnis yang kuteladani hingga kini.
Di ruang kelas, saya melihat Pak Dwi sebagai referensi berjalan soal hukum pidana. Ia mengajar dengan materi yang oleh generasi-generasi sekarang sering disebut dengan istilah “daging semua”. Bertanyalah soal apa pun mengenai hukum pidana pada beliau, dijawablah dengan tenang tetapi tetap mengena.
Suatu hari, setelah resmi menyandang gelar sarjana dan sedang kuliah lagi di Bulaksumur, diskusilah kami dengan beberapa orang rekan mengenai hukum pidana. Ada hal yang membuat kami bingung. Lalu, saya menghubungi Pak Dwi via SMS, langsung bertanya. SMS yang sama juga kukirim pada beberapa orang dosen lain. Beberapa menjawab tidak mengetahui. Sementara Pak Dwi, memberikan jawaban yang ternyata itulah jawaban yang sesungguhnya. “Dari siapa jawaban itu?” tanya kawan-kawan seolah tak percaya. Dengan bangga kukatakan pada mereka, “Dosen pembimbing skripsiku”. Wah, mantap sekali!
Ya, Pak Dwi adalah dosen yang membimbingku menyelesaikan skripsi. Saya senang, sebab sesuai dengan apa yang kuharapkan. Sejak semula, saya memang ingin yang membimbingku menyelesaikan skripsi adalah Pak Dwi, sang guru yang sebelum masuk ke kelas selalu memanggil saya terlebih dahulu. “Biasalah, bawa infokus-nya, ini kan sudah menjadi tugasmu sehari-hari.” Begitu kira-kira. Setelah itu, tanpa menunggu aba-aba, setiap kali jadwal Pak Dwi mengajar, saya selalu membawa infokus, kadang satu langkah di belakang beliau, kadang berjalan di langkah yang sama, tetapi nyaris tak pernah di depan walau hanya sejengkal.
Entah apa makna itu semua. Dugaanku, bahwa sekencang apa pun saya melangkah, Pak Dwi tetap selalu di depan. Ah, tidak juga tapi, buktinya lihatlah di pemeringkatan Sinta. Ini salah satu saja, atau satu-satunya barangkali.
Lalu, dengan menjadi “mahasiswa dekat Pak Dwi” apakah saya pasti meraih nilai yang otomatis sempurna? Oh, tentu saja itu pandangan yang sangat keliru. Saya malah jarang meraih nilai sempurna mata kuliah beliau, dan di sinilah bagaimana integritas betul-betul menjadi karakter dari seorang Pak Dwi. Baginya, dan ini yang kuketahui hingga kini, ada pemisah antara hubungan yang terbentuk karena kesamaan visi dengan hubungan yang terbentuk karena dibangun di atas fondasi bernama profesionalisme.
Bukan hanya saat hubungan masih “dosen dan mahasiswa”, saat sudah menjadi kolega “dosen dan dosen” pun, hal itu tetap ada pada hati dan jiwa Pak Dwi. Ia tak segan memberikan koreksi bila pada laporan kinerja saya dinilainya tak sesuai, kurang dokumen, atau tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tidak ada alasan, pokoknya revisi.
Ya, Pak Dwi memang dikenal sebagai orang yang patuh pada norma. Mengutip analogi seorang kolega, “Bila di situ tertulis makanlah menggunakan sendok dan garpu, maka Pak Dwi pasti akan makan menggunakan sendok dan garpu, betapa taat asasnya beliau!” Begitu kira-kira.
Ya, bagi saya, Pak Dwi bukan hanya telah mengajari bagaimana cara “membaca pasal”, tetapi juga bagaimana membaca pasal itu dengan hati. Integritas, bagi beliau tetap harus diposisikan di tempat paling tinggi.
Waktu cepat berlalu. Hari itu, setelah sekian lama menunggu, entah mengapa firasatku berkata akan ada hal baik yang datang. Mas Har, panggilan karibku kadang-kadang ke sang guru, pasti diridai oleh Allah SWT dan berhasil meraih jabatan akademik tertinggi. Ia, sebagaimana mimpi-mimpi yang sering kami desain bersama-sama, pastilah usulan guru besarnya diterima. Ia akan menjadi seorang profesor. Duh, sungguh sesuatu yang diidam-idamkan oleh banyak akademisi.
Namun, hati ini tiba-tiba gulana. Beberapa menit berlalu, tak pula Mas Har membaca balasan WA yang sudah saya kirim sejak tadi. Makin saya tak tenang, lebih tepatnya tak sabar ingin menerima kabar yang saya harapkan baik. Ting! Ponsel berdering, tanda ada WA diterima. Saya lihat, WA dari Mas Har! Kubaca, dan saat itu pula tangan terasa gemetar, mata tiba-tiba berkaca-kaca. Selamat atas pengukuhan guru besarnya, Mas Har!
Selamat kepada Prof. Dr. Dwi Haryadi, S.H., M.H. Teruslah menjadi pribadi yang tenang, membumi, dan merawat integritas yang sebagai ciri khas, Mas Prof! (*)
| Pendidikan Nonformal dan Kesejahteraan Tutor |
|
|---|
| Memahami Perubahan Mukosa Mulut pada Lansia: Tantangan dan Perawatannya |
|
|---|
| Antara Data dan Realitas: Jaminan Hak Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas |
|
|---|
| Pengembangan Agribisnis Lada Putih Bukan Tanggung Jawab Satu Pihak Semata |
|
|---|
| Refleksi di Bulan Guru Nasional Tahun 2025 |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20241204_Darwance.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.