Breaking News

Tribunners

25 Tahun Bangka Belitung, DNA Bangka: Dekonstruksi Identitas Melalui Lensa Historis dan Hegemoni

Masa depan Bangka tidak lagi ditentukan oleh timah di perut bumi, tetapi oleh visi yang kita kumpulkan bersama di dalam hati dan pikiran

|
Editor: Fitriadi
Dokumentasi pribadi Bambang Haryo Suseno
Bambang Haryo Suseno, Pemerhati budaya, tinggal di Mentok, Bangka Barat. 

Oleh: Bambang Haryo Suseno

Izinkan saya menganalogikan identitas sebuah wilayah dengan persepsi DNA.

Jika DNA Yogjakarta adalah Monarki-Heritage dan pengalaman panjang memitigasi bencana, lalu DNA
Bali adalah spiritual dan kebijaksanaan mereka dalam memandang alam, bagaimana dengan
DNA Bangka?

Jika mengurainya dari lensa historis, dalam lapis waktu perubahan mode produksi di Bangka dari masa prakolonial-kolonial-kemerdekaan-orde baru-reformasi-saat sekarang; Bangka tidak pernah memiliki basis agraris yang matang seperti Jawa.

Perkembangan produksi aspek kemaritiman (Orang Laut) atau aspek agraris (Orang Gunung) di Bangka kalah cepat dan digerus perdagangan global. Pun sebagai pulau yang hanya menjadi satelit dari hegemoni kekuasaan sejak era kerajaan besar pada pra kolonial-hingga saat ini, Bangka tak lebih dari daerah taklukan yang tunduk pada kehendak kekuasaan di luar Bangka.

Sejak awal kontak dengan kekuatan global pada pertengahan abad 18 Masehi, struktur ekonomi Bangka langsung bersifat ekstraktif: bersumbu kepada timah sebagai komoditas.

Pola ini menciptakan mentalitas rentier-ketergantungan pada penjualan sumber daya mentah, bukan pembangunan kapasitas produksi yang kompleks.

Mudah bagi kita untuk memahami bahwa DNA Bangka bukanlah esensi statis, melainkan hasil dari dialektika panjang antara infrastruktur ekonomi ekstraktif dan pertarungan hegemoni di tingkat suprastruktur. Basis ekonomi Bangka sejak abad ke-18 telah ditentukan oleh logika ekstraksi dan rentiership.

Berbeda dengan narasi populer tentang akar maritim-agraris, realitas historis menunjukkan dua fase konjungtur ekonomi utama.

Pertama; Ekonomi komoditas kolonial: Bangka dipaksa beralih dari ekonomi subsistem menjadi ekonomi komersil, penghasil komoditas ekspor global: timah.

Proyek ekstraktif kolonial yang membentuk lanskap fisik dan sosial. Impor tenaga kerja Tionghoa untuk tambang menciptakan populasi multietnis yang menjadi cikal bakal masyarakat
Bangka modern.

Kedua; Monokultur timah negara hingga ekstraksi liar. Pasca-kolonial, ekonomi menyempit menjadi monokultur timah di bawah PT Timah.

Di akhir abad 20, masa krisis pada era Reformasi melahirkan fase ekstraksi liar (tambang timah masyarakat), yang merupakan konsekuensi logis dari struktur rentier yang tidak pernah beranjak.

Fase yang juga melahirkan peristiwa terbentuknya Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Infrastruktur inilah yang melahirkan manusia ekstraktif—subjek yang hidupnya bergantung pada, dan dibentuk oleh, fluktuasi komoditas global.

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved