Harta Karun Monasit di Bangka Belitung
Ada Jejak Radioaktif di Mineral Ikutan Timah, Diawasi Ketat BAPETEN
Monasit dan senotim yang ditemukan bersama endapan timah di Babel mengandung unsur radioaktif alami dengan kadar melebihi ambang batas 1 Bq/gram.
PANGKALPINANG, BANGKA POS - Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) menjelaskan skema pengawasan terhadap mineral radioaktif di Indonesia, termasuk mineral ikutan timah seperti monasit dan senotim yang banyak ditemukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Kedua mineral tersebut diketahui menjadi sumber utama logam tanah jarang (LTJ) yang kini ditetapkan pemerintah sebagai komoditas strategis masa depan.
BAPETEN menegaskan bahwa pola pengawasan mineral radioaktif disesuaikan dengan jenis mineral utama yang ditambang.
Baca juga: Rp 133, 48 T Tersimpan di Bangka Belitung, Dinas ESDM Belum Data Potensi LTJ
“Jika yang ditambang adalah uranium atau thorium, maka BAPETEN melakukan pengawasan
penuh sejak tahap penyelidikan, eksplorasi, hingga eksploitasi,” demikian isi pernyataan tertulis
BAPETEN kepada Bangka Pos, Senin (10/11/2025).
Namun di daerah seperti Bangka Belitung, di mana aktivitas utamanya adalah penambangan timah, keberadaan uranium dan thorium tidak termasuk mineral utama.
Keduanya dikategorikan sebagai mineral ikutan radioaktif (MIR) yang tetap wajib diawasi karena mengandung unsur radioaktif alami.
Baca juga: Bangka Belitung Menyimpan Logam Tanah Jarang, Hanya 50 Kg dari 100 Ton Pasir Timah
“Monasit dan senotim yang ditemukan bersama endapan timah di Babel mengandung unsur radioaktif alami dengan kadar melebihi ambang batas 1 Bq/gram. Karena itu, konsentrat monasit masuk dalam kategori obyek pengawasan wajib sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 dan PP Nomor 52 Tahun 2022,” jelas BAPETEN.
Pengawasan dilakukan terhadap seluruh tahapan yang berpotensi menimbulkan paparan radiasi, mulai dari penyimpanan, pengolahan, hingga pemisahan unsur uranium dan thorium sebelum
LTJ dimanfaatkan.
Setiap perusahaan atau lembaga yang menyimpan monasit wajib memiliki izin keselamatan radiasi, melaksanakan pemantauan dosis, serta melapor secara berkala.
“Proses pemisahan unsur radioaktif dari MIR dikategorikan sebagai pengolahan bahan radioaktif, sehingga wajib diawasi secara langsung dan ketat. Setelah unsur radioaktif dikelola sesuai ketentuan, barulah logam tanah jarang dapat dimanfaatkan,” tambahnya.
Potensi LTJ di Babel Ditaksir Rp133,48 T
Diberitakan sebelumnya, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyimpan “harta karun” yang dinilainya ditaksir mencapai Rp133.480.000.000.000 atau Rp 133,48 triliun.
Harta karun itu berasal dari LTJ atau Rare Earth dari enam smelter tambang ilegal di Babel yang telah disita negara dan diserahkan kepada PT Timah Tbk pada 6 Oktober 2025 lalu.
Presiden Prabowo Subianto, yang menyaksikan langsung serah-terima enam smelter tesebut, mengatakan LTJ yang berasal dari limbah smelter-smelter itu belum diurai. Jumlahnya diperkirakan mendekati 40.000 ton.
Kala itu presiden juga menyebut satu ton monasit, satu di antara unsur LTJ yang ada di limbah smelter, harganya bisa mencapai 200 ribu dollar AS.
Jika dikalkulasikan dengan kurs dollar AS pada Minggu (9/11/2025), 1 dollar AS=Rp16.685, maka 1 ton monasit bernilai Rp3.337.000.000 atau Rp3,337 miliar. Dan jika jumlahnya mencapai 40.000
ton seperti disampaikan Presiden Prabowo, maka monasit yang ada di enam smelter sitaan itu bernilai Rp133,48 triliun.
50 Kg LTJ daalam 100 Ton Pasir Timah
Noprial Riady, staf Bidang Pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan Dinas ESDM Babel, mengatakan LTJ atau Rare Earth memang memiliki nilai ekonomi tinggi.
Selain dikarenakan peran pentingnya dalam industri modern, LTJ dinilai cukup mahal mengingat proses pendapatannya. Ditaksir, dari 100 ton pasir timah, hanya bakal diperoleh 50 kilogram LTJ.
“Makanya disebut tanah jarang, karena memang sulit mendapatkannya. Misalnya dari 100 ton pasir timah, hanya sekitar 50 kilogram saja yang bisa menjadi logam tanah jarang. Itu pun setelah proses panjang,” kata Noprial, Rabu (4/11).
Dia tak menyangkal jika Babel memiliki potensi LTJ yang cukup besar. Hanya saja, menurutnya, untuk membangun industri LTJ dibutuhkan kepastikan sumber bahan baku yang cukup.
“Karena prosesnya panjang, dan peralatannya mahal. Tanpa kepastian itu, sulit untuk beroperasi secara berkelanjutan,” katanya.
Secara global, Noprial menyebut Tiongkok saat ini masih mendominasi industri logam tanah jarang, baik dari sisi sumber daya, teknologi, maupun modal. Bahkan Amerika Serikat dinilainya kesulitan menyaingi Tiongkok karena kendala sumber daya.
Noprial mengatakan LTJ berperan penting dalam industri modern, seperti baterai kendaraan listrik, turbin angin, ponsel pintar, dan komponen militer.
LTJ dalam mineral ikutan
Noprial mengatakan keberadaan LTJ di Babel erat kaitannya dengan mineral ikutan timah. LTJ ikut terbentuk dan tersimpan dalam mineral ikutan hasil proses penambangan timah.
“Kalau ditambang, pasir yang bercampur itu masih harus melalui proses pemisahan. Biasanya di sakan, timah dipisahkan karena berat jenisnya lebih besar. Nah,setelah pemisahan pasir yang ringan dan pengolahan bahkan dalam pasir timah itu banyak mengandung mineral ikutan, termasuk monazit dan senotim,” kata Noprial.
Pemanfaatan LTJ tidak semudah menambang timah. Noprial menjelaskan bahwa proses pemisahan mineral ikutan ini masih dilakukan secara fisik seperti menggunakan magnetic separator, specific gravity, atau meja goyang (shaking table).
“Tahapan ini baru sebatas pemisahan fisik. Artinya masih berupa pasir, belum sampai pada unsur logam tanah jarang murni. Butuh teknologi yang lebih tinggi untuk memurnikannya,” ujar Noprial.
Selain itu, dia menyebut mineral ikutan seperti monazit dan senotim yang mengandung unsur radioaktif (thorium dan uranium) tidak boleh dijual atau diolah sembarangan.
“Sepanjang dia masih dalam bentuk monazit, regulasinya tidak memperbolehkan dijual. Karena itu termasuk mineral radioaktif yang diawasi ketat oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),” tegasnya.
“Jadi pengusaha boleh mengusahakan mineral tersebut sepanjang unsur radioaktifnya sudah terpisah dari unsur logam tanah jarang. Tapi sebelum itu, tidak boleh,” imbuh Noprial.
Lebih lanjut, Noprial mengatakan pemerintah daerah tidak punya kewenangan terkait pengelolaan LTJ.
Sesuai regulasi, kewenangannya ada di pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM.
“Pemerintah daerah tidak bisa masuk ke wilayah pengelolaan logam karena sudah menjadi kewenangan pusat. Kami hanya berwenang di sektor mineral bukan logam dan batuan,”
jelasnya.
Karena berkaitan regulasi itu juga, Dinas ESDM tidak memiliki data mengenai potensi LTJ di Babel.
Noprial menambahkan sebagai tindak lanjut, pemerintah pusat telah membentuk Badan Mineral Indonesia (BMI) yang akan mengelola mineral ikutan di seluruh Indonesia, termasuk di Babel.
“BMI ini nanti akan menjadi pengelola utama. Sekarang mereka sedang menyusun kebijakan dan
arah pengembangan di tingkat nasional,” tambah
Noprial.
Bukan Hambatan
BAPETEN menegaskan, pengawasan terhadap mineral radioaktif bukanlah hambatan, melainkan jaminan keselamatan lingkungan dan masyarakat.
“Tanpa proses pemisahan unsur radioaktif yang benar, pemanfaatan LTJ justru berisiko tinggi. Karena itu, setiap pengembangan industri LTJ di Babel harus tunduk pada standar keselamatan nuklir nasional,” tegas BAPETEN.
Seiring dengan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap hilirisasi logam tanah jarang, lembaga ini menegaskan perannya sebagai pengawas utama dalam rantai industri mineral strategis.
Proses industrialisasi LTJ, selain memerlukan teknologi tinggi dan investasi besar, juga menuntut kepatuhan penuh terhadap mekanisme keselamatan yang diatur negara. (x1)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/monazite_20160221_202222.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.