Tribunners
Momen HKN 2025: Ramai di Permukaan, Hampa di Kesadaran
Kesehatan masyarakat tidak berubah hanya dengan perintah, melainkan lewat pemahaman dan pendekatan.
Dahulu kuat dari sisi kuratif -pengobatan, sekarang harus gagah dari sisi preventif dan promotif. Masyarakat dianggap sehat bukan karena mampu berobat di tempat yang bagus dengan pelayanan yang baik, tetapi masyarakat dianggap sehat apabila mampu menjaga dirinya sendiri agar tidak sakit.
Semestinya program yang berkaitan dengan perlombaan atau sekadar spanduk yang seragam tidak
begitu diperlukan. Namun, pola kebiasaan sederhana yang diterapkan secara konsisten: mencuci tangan, olahraga rutin, porsi gizi seimbang, pengasuhan anak yang tepat, dan menjaga kebersihan lingkungan. Namun, refleksi saja tidak cukup, kita perlu gerakan nyata perubahan. Menatap arah ke depan untuk mengubah tampang promotor kesehatan menjadi lebih kuat, adaptif, dan manusiawi.
Pertama, promotor kesehatan yang tadinya hanya pelengkap mesti diberikan peran yang lebih strategis dalam sistem kesehatan primer. Setidaknya pada level paling dasar pelayanan, yakni puskesmas, semestinya mempunyai rencana perubahan perilaku yang jelas, berdasarkan data sosial dan budaya masyarakat setempat. Promotor kesehatan bukan sekadar menyebarluaskan pesan, tetapi mengomandoi perubahan.
Kedua, inovasi komunikasi publik harus diperkuat. Promotor kesehatan mesti bertransformasi menyesuaikan diri dengan perilaku digital masyarakat hari ini. Kampanye kesehatan dapat dikembangkan menggunakan strategi edutainment dan community storytelling. Bukan cuma poster dan sebatas penyuluhan, tetapi membangun narasi yang menyentuh dan akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Ketiga, hubungan koordinasi dan komunikasi sebagai langkah pendekatan dengan lintas sektor harus dijadikan arus utama dalam strategi. Kesadaran akan kesehatan masyarakat tidak bisa dibentuk oleh tenaga kesehatan itu sendiri. Ada pintu dan pagar yang harus diketuk terlebih dahulu antara tenaga kesehatan dan masyarakat setempat. Lintas sektor seperti pemerintah desa, dinas pendidikan, kecamatan, tokoh agama/masyarakat, media lokal, bahkan kelompok masyarakat lainnya harus menjadi jembatan yang perlu dibangun untuk gerakan perubahan perilaku. Sehat harus menjadi budaya sosial, bukan sekadar program kesehatan.
Keempat, kompetensi dan prosedural tidak cukup harus mempunyai keberanian untuk menumbuhkan empati dalam setiap kebijakan. Tidak sedikit program di bidang kesehatan yang kurang maksimal, bahkan gagal tercapai disebabkan bukan karena kekurangan anggaran/dana, tetapi ketidakhadiran sebuah rasa (empati). Contohnya, program-program kesehatan yang muncul dari pucuk (atas), padahal akar kesadaran tumbuh di bawah. Mulai dari percakapan sederhana dari rumah, dari gotong royong, dari hubungan sosial yang hangat.
Sekarang mari berkaca kembali HKN tahun ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk mengenal dengan baik cara pandang terhadap kesehatan. Bukan semata-mata urusan medis, tetapi sebagai gerakan kesadaran masyarakat. Karena di tengah-tengah semua paradoks yang sedang dihadapi, sesuatu yang sangat diperlukan bukan slogan baru HKN ini, melainkan kembali merasakan akar yang ada di dasar tumbuhnya kesadaran itu sendiri. Bahwasannya kesehatan merupakan sebuah hak dasar, tanggung jawab, dan kesadaran yang harus dipupuk bersama. (*)
| 25 Tahun Bangka Belitung, DNA Bangka: Dekonstruksi Identitas Melalui Lensa Historis dan Hegemoni |
|
|---|
| MTQ dan Keteguhan Jiwa dalam Spirit Perjuangan di Tengah Krisis Multidimensi |
|
|---|
| Memperjuangkan Gerakan Membaca |
|
|---|
| Menjaga Ingatan Pahlawan, Meneguhkan Amanah Konstitusi |
|
|---|
| Generasi Muda Bisa Menjadi Pahlawan di Era Modern |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20251112_Chairul-Aprizal.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.