Korupsi Tunjangan Transportasi

Jejak Panjang Dedy Yulianto Dari Kursi Dewan ke Jeruji Besi, DPO Kasus Korupsi Akhirnya Tertangkap

Kejati Babel menangkap Dedy Yulianto, mantan Wakil Ketua DPRD Bangka Belitung, atas kasus korupsi tunjangan transportasi senilai Rp2,3 miliar

|
Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
Bangkapos.com/dok
Jejak Panjang Dedy Yulianto Dari Kursi Dewan ke Jeruji Besi, DPO Kasus Korupsi Akhirnya Tertangkap. Foto Dedy Yulianto saat berada di Pengadilan Negeri Pangkalpinang, Selasa (6/6/2023). 
Ringkasan Berita:
  • Mantan Wakil Ketua DPRD Bangka Belitung, Dedy Yulianto, akhirnya ditangkap tim gabungan Kejati Babel, DKI, dan Jakarta Pusat di sebuah kafe di Jakarta.
  • Ia sempat buron usai tiga rekannya divonis dalam kasus korupsi tunjangan transportasi DPRD Babel 2017–2021 dengan total kerugian negara mencapai Rp2,3 miliar.
  • Dedy sebelumnya mangkir dari tiga kali panggilan penyidik hingga masuk daftar pencarian orang (DPO).
  • Kini, ia resmi ditahan dan akan menjalani proses hukum di Kejari Pangkalpinang.

BANGKAPOS.COM--Setelah berbulan-bulan berstatus buronan, mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Dedy Yulianto, akhirnya ditangkap tim gabungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Babel, Kejati DKI Jakarta, dan Kejari Jakarta Pusat.

Penangkapan dilakukan di sebuah kafe di kawasan Jalan Sidam Barat, Jakarta Pusat, pada Rabu (12/11/2025) malam sekitar pukul 23.00 WIB.

Asisten Intelijen Kejati Babel, Aco Rahmadi Jaya, mengonfirmasi penangkapan tersebut dalam konferensi pers di Pangkalpinang, Kamis (13/11/2025).

“Tim gabungan berhasil mengamankan tersangka Dedy Yulianto di sebuah kafe di Jakarta Pusat. Saat diamankan, tersangka bersikap kooperatif dan tidak melakukan perlawanan,” ujar Aco.

Usai diamankan, Dedy sempat dibawa ke Kejati DKI Jakarta untuk pemeriksaan awal sebelum diterbangkan ke Pangkalpinang pada Kamis pagi.

Pesawat yang membawa Dedy bersama tim penyidik berangkat pukul 07.25 WIB dari Jakarta dan mendarat di Bandara Depati Amir Pangkalpinang pukul 08.30 WIB.

Tiba di Kejati Babel dengan Kepala Tertunduk

Sekitar pukul 09.00 WIB, Dedy tiba di halaman Gedung Kejati Babel.

Dengan wajah tertutup masker dan topi, ia dikawal ketat petugas menuju ruang Pidana Khusus (Pidsus) di lantai dua untuk pemeriksaan tahap awal.

Pantauan di lokasi menunjukkan, Dedy tampak menunduk tanpa berkomentar sedikit pun saat wartawan mencoba meminta tanggapan.

Hingga pukul 09.45 WIB, ia masih diperiksa oleh penyidik Pidsus.

Rencananya, Dedy akan segera diserahkan ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Pangkalpinang untuk proses tahap dua, yakni pelimpahan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum.

TERSANGKA KASUS KORUPSI - Eks Wakil Ketua DPRD Bangka Belitung Dedy Yulianto (mengenakan masker) dikawal ketat saat tiba di Gedung Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, Kamis (13/11/2025) siang. Dedy Yulianto adalah tersangka kasus korupsi tunjangan transportasi pimpinan DPRD Babel 2017-2021.
TERSANGKA KASUS KORUPSI - Eks Wakil Ketua DPRD Bangka Belitung Dedy Yulianto (mengenakan masker) dikawal ketat saat tiba di Gedung Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung, Kamis (13/11/2025) siang. Dedy Yulianto adalah tersangka kasus korupsi tunjangan transportasi pimpinan DPRD Babel 2017-2021. (Bangkapos.com/Adi Saputra)

Kasus Korupsi Rp2,3 Miliar yang Menjerat Pimpinan DPRD Babel

Dedy Yulianto merupakan satu dari empat tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan transportasi unsur pimpinan DPRD Babel periode 2017–2021, yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp2,39 miliar.

Tiga tersangka lainnya adalah Amri Cahyadi, Hendra Apollo, dan Syaifudin (Sekretaris DPRD).

Ketiganya telah diadili, divonis bersalah, dan menyelesaikan masa hukuman di Lapas Tua Tunu Pangkalpinang.

Namun Dedy sempat mangkir dari tiga kali panggilan penyidik, hingga akhirnya ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO).

Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Babel, Adi Purnama, mengungkapkan alasan mengapa proses hukum Dedy sempat tertunda.

“Pada saat penetapan tersangka, Dedy masih mengikuti proses Pemilihan Legislatif. Karena itu, perkara sempat ditangguhkan sementara. Setelah proses politik selesai, baru kami lanjutkan kembali,” jelas Adi.

Namun setelah Pemilu usai, Dedy tetap tidak memenuhi panggilan penyidik, hingga akhirnya tim gabungan turun tangan untuk menangkapnya di Jakarta.

Dalih Dedy: ‘Tunjangan Transportasi Sudah Sesuai Aturan’

Sebelum penangkapannya, Dedy sempat memberikan pernyataan kepada media bahwa pemberian tunjangan transportasi sudah memiliki landasan hukum yang sah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 dan Peraturan Gubernur (Pergub) Babel Nomor 50 Tahun 2017.

“Dasar hukumnya jelas. Kalau begitu, gubernur dan sekda juga bisa jadi tersangka, karena mereka menandatangani Pergub tersebut,” ujar Dedy dalam wawancara pada 2022 lalu.

Ia menegaskan bahwa tunjangan itu hanya diberikan setelah pimpinan dewan menyerahkan mobil dinas mereka kepada sekretariat DPRD.

“Waktu itu, kami sudah mengembalikan mobil jabatan dengan berita acara yang sah,” tambahnya.

Namun, penyidik Kejati Babel menemukan fakta bahwa para pimpinan DPRD, termasuk Dedy, masih menggunakan fasilitas kendaraan dinas sambil tetap menerima tunjangan transportasi  pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara miliaran rupiah.

"Tunjangan transportasi sudah diatur dalam PP 18 Tahun 2017 dan turun  Pergub Babel Nomor 50 Tahun 2017. Apalagi saat itu saya selaku Pimpinan DPRD mendapat surat dari sekretariat untuk segera mengembalikan mobil jabatan dan ada berita acara pengembalian mobil dalam keadaan baik saat itu," ujar Deddy kepada Bangkapos.com, Sabtu (10/9/2022) malam.

Menurutnya, tunjangan transportasi tersebut dilengkapi aturan yang jelas, yakni Pergub dan ditandatangani Plt sekda dan gubernur saat itu.

Sebagai informasi, jaksa menyidik  dugaan korupsi tunjangan transportasi saat Deddy menjabat Wakil Ketua DPRD Babel Tahun 2017.

Pada saat itulah, terbit Pergub Nomor 50 Tahun 2017 yang antara lain isinya pemberian tunjangan transportasi kepada pimpinan dan anggota dewan.

"Dasar hukumnya jelas, kalau sudah begini gubernur dan Plt sekda juga bisa jadi tersangka, jangan hanya kita pimpinan saat itu. Karena gubernur dan sekda tandatangan dalam Pergub Nomor 50 Tahun 2017," jelasnya.

Disebutkan Deddy, Pergub tersebut pasti sudah dikonsultasikan ke Biro Hukum Kemendagri saat pengambilan nomor.

Saat itu juga, kata Deddy, tidak ada temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan Inspektorat Babel.

Dikatakan Deddy, jika ada temuan pasti saat itu diminta Inspektorat Babel dan BPK untuk segera mengembalikan tunjangan transportasi.

"Hal ini terlepas adanya rumor bahwa mobil yg sudah dikembalikan ke sekretariat dewan tetapi dipergunakan untuk pimpinan dewan dan anggota dewan saat ini, saya tidak tahu menahu dan itu urusan masing-masing. Namun ini semua kita ikuti dan kita hormati  proses hukum yg sudah berjalan, semoga semua ada hikmahnya," ungkap Deddy.

Pada kesempatan itu, Deddy juga menyampaikan terkait pimpinan dewan yang telah disediakan rumah dinas namun masih mengambil tunjangan perumahan, menurutnya harus sesuai PP Nomor 18 Tahun 2017 dan Pergub Babel Nomor 50 Tahun 2017.

"Intinya tidak boleh double account, jangan tunjangan diambil, fasilitas yang telah diserahkan dipergunakan lagi. Atau fasilitas sudah disediakan namun tidak ditempati," kata mantan politisi Partai Gerindra tersebut.

Ketua DPD Partai Gerindra Babel, Dedy Yulianto.
 Dedy Yulianto ketika masih menjadi Ketua DPD Partai Gerindra Babel (Bangkapos.com/Evan Saputra)

Proses Hukum Berlanjut

Setelah tiba di Kejari Pangkalpinang, Kamis siang (13/11/2025), Dedy langsung menjalani proses administrasi tahap dua bersama tim penyidik dan jaksa penuntut umum.

Ia dijadwalkan segera menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Pangkalpinang, menyusul tiga koleganya yang lebih dahulu divonis.

Dalam kasus ini, Dedy dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Jika terbukti bersalah, ia terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.

Latar Politik dan Bayang-Bayang Pemilu

Dedy Yulianto bukan nama asing di politik Bangka Belitung. 

Mantan politisi Partai Gerindra ini pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Babel periode 2014–2019, dan sempat mencalonkan diri sebagai anggota DPD RI pada Pemilu 2024.

Berkas pencalonannya diterima KPU Babel, meski saat itu status hukumnya sudah tersangka.

Komisioner KPU Babel, Husin, menjelaskan bahwa secara hukum, Dedy masih berhak mencalonkan diri karena belum memiliki vonis tetap (inkrah).

“Sepanjang belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, hak politiknya belum gugur,” tegas Husin.

Namun kini, dengan proses hukum yang berjalan, peluang Dedy melanjutkan karier politiknya tampak menipis.

Penangkapan Dedy Yulianto disambut beragam reaksi publik. Sebagian masyarakat Babel menilai langkah Kejati sudah tepat setelah lama menunggu kejelasan kasus yang dianggap berlarut-larut.

“Penegakan hukum tidak boleh pandang bulu. Kami ingin proses ini tuntas dan transparan,” ujar seorang aktivis antikorupsi di Pangkalpinang.

Sementara itu, pihak Kejati Babel memastikan proses hukum terhadap Dedy akan berjalan profesional tanpa intervensi.

“Kami pastikan semua diproses sesuai hukum. Tidak ada perlakuan khusus,” kata Aco Rahmadi Jaya.

Kini, babak baru kasus korupsi tunjangan transportasi DPRD Babel memasuki fase akhir. 

Setelah tiga rekannya divonis, Dedy Yulianto akhirnya harus menghadapi pengadilan dari kafe di Jakarta ke kursi pesakitan di Pangkalpinang.

Kisah ini berawal dari tahun 2017, ketika Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 50 Tahun 2017.

Pergub itu menjadi dasar hukum pemberian tunjangan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD.

Regulasi tersebut disusun berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017, yang memang mengatur hak keuangan dan administratif para anggota dewan. Namun, belakangan, praktik implementasinya justru membuka celah penyimpangan.

Para pimpinan DPRD saat itu termasuk Dedy Yulianto, Amri Cahyadi, Hendra Apollo, dan Syaifudin (Sekretaris DPRD)  diduga menerima tunjangan transportasi ganda meskipun masih menggunakan fasilitas mobil dinas milik negara.

Menurut temuan penyidik, uang tunjangan yang seharusnya tidak diterima itu mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp2,39 miliar.

Pada 2022, Kejati Babel mulai melakukan penyelidikan serius. Ketiganya Amri, Hendra, dan Syaifudin  kemudian ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, dan diadili.
Namun satu nama selalu absen dari meja hijau: Dedy Yulianto.

Status Tersangka dan Pileg 2024

Hendra Apollo (kiri) dan Amri Cahyadi (kanan)
Hendra Apollo (kiri) dan Amri Cahyadi (kanan) (Kolase Bangka Pos)

Kejanggalan muncul ketika penyidik Kejati Babel tidak segera memproses Dedy bersama tiga rekannya.

Saat itu, alasan resmi yang disampaikan oleh Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Babel, Adi Purnama, adalah karena Dedy masih mengikuti proses Pemilihan Legislatif (Pileg).

“Kenapa dia (Dedy) tidak diproses bersama tersangka lain? Karena saat itu masih proses Pileg, dan dia adalah peserta Pileg. Maka perkaranya ditangguhkan sementara,” ujar Adi kepada wartawan, Kamis (13/11/2025).

Dedy memang sempat muncul kembali di panggung politik. Pada Mei 2023, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bangka Belitung mencatatnya sebagai bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Berkas pendaftarannya dinyatakan lengkap dan memenuhi syarat administratif.

Meski namanya sudah terseret kasus korupsi, belum adanya putusan hukum tetap membuat Dedy masih berhak mencalonkan diri.

Namun, setelah proses Pileg selesai, Kejati Babel kembali memanggilnya untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Dedy tiga kali dipanggil secara resmi dan tiga kali pula tidak hadir.
Hingga akhirnya, Kejati Babel mengeluarkan Daftar Pencarian Orang (DPO) untuk dirinya.

Jejak Buronan dan Penangkapan di Kafe

Selama berbulan-bulan, keberadaan Dedy Yulianto menjadi misteri.

Beberapa pihak menyebut ia masih sering terlihat di Jakarta, sementara yang lain mengatakan ia bersembunyi di luar pulau.

Kejati Babel bekerja sama dengan jaringan kejaksaan di tingkat nasional untuk melacak pergerakannya.

Hingga akhirnya, pada Rabu malam, 12 November 2025, intelijen kejaksaan menemukan titik terang.

Informasi menyebut Dedy tengah berada di sebuah kafe di Jalan Sidam Barat, Jakarta Pusat. Tim gabungan langsung bergerak.

“Sekitar pukul 23.00 WIB, kami amankan tersangka di Kafe Kenangan, Jakarta Pusat,” ungkap Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Babel, Aco Rahmadi Jaya, dalam konferensi pers di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Babel, Kamis (13/11/2025).

Dedy tidak melakukan perlawanan saat diamankan. Ia digelandang ke Kejati DKI Jakarta untuk dititipkan sementara sebelum diterbangkan ke Bangka.

“Setelah diamankan, tersangka dibawa ke Kejati DKI Jakarta dan pagi ini diterbangkan ke Bangka menggunakan pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Depati Amir Pangkalpinang,” jelas Aco.

Tiba di Pangkalpinang dengan Kepala Tunduk

Kamis (13/11/2025), pukul 08.30 WIB, pesawat yang membawa Dedy Yulianto mendarat di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang.

Mengenakan jaket hitam, topi, dan masker, ia turun dari pesawat tanpa banyak bicara, dikawal ketat petugas Kejati Babel.

Pukul 09.00 pagi, Dedy tiba di Gedung Pidana Khusus Kejati Babel.

Ia menundukkan kepala ketika digiring naik ke lantai dua gedung, tempat ruang pemeriksaan berada.

Hingga pukul 09.45 WIB, Dedy masih berada di dalam ruangan, didampingi penasihat hukumnya.

Sekitar pukul 10.00 WIB, ia kembali dibawa ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Pangkalpinang untuk proses tahap dua, yakni pelimpahan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum.

Dari pantauan di lokasi, suasana Kejari cukup ketat. Wartawan yang menunggu di halaman hanya sempat melihat sekilas sosok Dedy melintas — masih dengan masker dan tanpa sepatah kata pun.

Kasus yang Tak Kunjung Usai

Kasus korupsi tunjangan transportasi DPRD Babel ini sebenarnya sudah memasuki babak akhir bagi tiga tersangka lain.

Amri Cahyadi, Hendra Apollo, dan Syaifudin telah menjalani proses hukum, divonis bersalah, dan bahkan telah keluar dari lembaga pemasyarakatan.

Namun, kasus Dedy menjadi semacam “epilog tertunda”. Ia satu-satunya tersangka yang belum mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan  hingga penangkapan kemarin malam.

Menurut penyidik, kasus ini menyoroti praktik double benefit, di mana para pimpinan DPRD tetap menerima tunjangan transportasi meskipun mobil dinas mereka belum dikembalikan ke sekretariat dewan.

Padahal, berdasarkan aturan, tunjangan hanya diberikan bagi pejabat yang tidak menggunakan fasilitas kendaraan dinas.

Total kerugian negara yang muncul dari praktik tersebut mencapai Rp2.395.286.220, sebagaimana disebut dalam surat perintah penyidikan.

Pembelaan dan Kontroversi

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 2022, Dedy Yulianto selalu menegaskan bahwa apa yang diterimanya tidak menyalahi aturan.

Dalam wawancaranya bersama Bangkapos.com pada September 2022, ia menjelaskan bahwa tunjangan transportasi sudah diatur secara sah melalui Pergub Babel Nomor 50 Tahun 2017, yang ditandatangani oleh Plt Sekda dan Gubernur saat itu.

“Dasar hukumnya jelas. Kalau begitu, gubernur dan sekda juga bisa jadi tersangka, karena mereka ikut menandatangani Pergub itu,” ujarnya kala itu.

Dedy juga menyebutkan bahwa tidak pernah ada temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Inspektorat Babel terkait pelaksanaan tunjangan tersebut.

“Kalau memang ada temuan, pasti diminta dikembalikan,” katanya.

Pernyataannya memicu perdebatan publik. Sebagian pihak menilai ada unsur kelalaian administratif, sementara yang lain menilai Dedy mencoba memanfaatkan celah hukum untuk menghindari tanggung jawab.

Sidang dan Tuntutan Publik

Pada 2023, ketika tiga tersangka lain sudah diadili, nama Dedy Yulianto kembali mencuat di ruang sidang Pengadilan Negeri Pangkalpinang.

Ketua Majelis Hakim Mulyadi bahkan sempat meminta jaksa menghadirkan Dedy di persidangan agar perkara menjadi terang.

“Saya minta penuntut umum menghadirkan yang bersangkutan pada sidang pekan depan,” ujar Mulyadi, Selasa (9/5/2023).

Namun panggilan itu tak pernah diindahkan. Dedy tetap tidak muncul, dan kasus terhadapnya pun mengendap.

Publik Babel mulai mempertanyakan keseriusan aparat hukum menuntaskan kasus yang telah berjalan lebih dari tiga tahun itu.

Kini, setelah Dedy resmi ditangkap dan dibawa ke Kejati Babel, tuntutan publik semakin menguat agar proses hukum berjalan transparan dan tuntas, tanpa ada kompromi politik.

Politik, Hukum, dan Bayang-Bayang Kekuasaan

Kasus Dedy Yulianto menjadi contoh klasik bagaimana politik dan hukum sering bersinggungan di tingkat daerah.

Sebagai mantan pimpinan DPRD dan figur politik berpengaruh di Bangka Belitung, Dedy memiliki jaringan yang cukup luas baik di partai maupun pemerintahan.

Fakta bahwa proses hukumnya sempat tertunda karena alasan politik menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.
Namun, Kejati Babel menegaskan bahwa tidak ada intervensi dalam penegakan hukum.

“Kami hanya menunda demi menjaga asas netralitas proses politik. Setelah itu, kami tetap memproses secara hukum,” ujar seorang pejabat kejaksaan yang enggan disebutkan namanya.

Menjelang sore, Kamis (13/11/2025), mobil tahanan Kejati Babel meninggalkan halaman Kejari Pangkalpinang. Di dalamnya, Dedy Yulianto duduk tenang, dikelilingi petugas berseragam cokelat.
Ia kini resmi berstatus tahanan kejaksaan dan menunggu jadwal sidang perdananya.

Kasus ini belum berakhir, tapi kehadiran Dedy di ruang tahanan menjadi babak penting dari proses panjang penegakan hukum di Bangka Belitung.

Di tengah tekanan publik dan aroma politik yang masih kuat, aparat hukum dituntut menjaga transparansi dan integritas agar kepercayaan masyarakat tak kembali luntur.

Bagi masyarakat Bangka Belitung, penangkapan ini bukan sekadar soal satu nama.

Ia menjadi simbol bahwa keadilan, meski datang terlambat, tetap menemukan jalannya.

FAKTA SINGKAT KASUS DEDY YULIANTO

  • Kasus: Dugaan korupsi tunjangan transportasi DPRD Babel 2017–2021
  • Kerugian Negara: ± Rp2,39 miliar
  • Tersangka: Dedy Yulianto, Amri Cahyadi, Hendra Apollo, Syaifudin
  • Status Dedy: DPO sejak 2023, ditangkap 12 November 2025 di Jakarta
  • Pasal Disangkakan: Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor
  • Ancaman Hukuman: Penjara maksimal 20 tahun, denda maksimal Rp1 miliar

(Bangkapos.com/Adi Saputra/Zulkodri)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved