Orangtua Murid Bela Dua Guru di Luwu Utara yang Dipecat Gegara Iuran Rp20 Ribu: Bukan Uang Negara

Dua guru SMAN 1 Luwu Utara dipecat karena iuran Rp20 ribu. Orangtua murid membela, menegaskan iuran itu hasil kesepakatan bersama, bukan pungli

Penulis: M Zulkodri CC | Editor: M Zulkodri
TRIBUN-TIMUR.COM/Andi Bunayya Nandini
GURU DIPECAT-- Mantan Kepala SMAN 1 Luwu Utara, Rasnal (kiri) dan Bendahara Komite SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis (kanan) ditemui beberapa waktu lalu. Keduanya diberhentikan tidak dengan hormat buntut dana komite sekolah sebesar Rp 20 ribu. Orangtua siswa SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan sebut sumbangan Rp20 ribu kesepakatan bersama. 
Ringkasan Berita:
  • Kasus dua guru di Luwu Utara, Sulsel, Rasnal dan Abdul Muis, menuai simpati.
  • Mereka dipecat akibat iuran komite Rp20 ribu yang disebut pungli.
  • Orangtua siswa menegaskan iuran itu sukarela, hasil rapat bersama komite dan wali murid tahun 2018 untuk membantu guru honorer.
  • PGRI dan masyarakat kini mendesak pemerintah meninjau ulang keputusan PTDH agar keadilan bagi para guru ditegakkan.
 
 

 

BANGKAPOS.COM--Polemik pemecatan dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Rasnal dan Abdul Muis, terus menuai simpati.

Setelah keduanya diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) akibat kasus dana komite sekolah, kini sejumlah orangtua siswa angkat suara membela para pendidik itu.

Mereka menegaskan, iuran Rp20 ribu per bulan yang disebut sebagai pungutan liar (pungli) itu bukan keputusan sepihak, melainkan hasil kesepakatan bersama antara orangtua siswa dan komite sekolah pada tahun 2018.

Kesepakatan dari Orangtua, Bukan Pungutan

Akrama, salah satu orangtua siswa, mengatakan bahwa dirinya hadir langsung dalam rapat komite tahun 2018 ketika kebijakan iuran tersebut disepakati.

Menurutnya, iuran Rp20 ribu per bulan itu murni untuk membantu membayar honor guru-guru honorer yang tidak mendapatkan bayaran dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

“Ini kan kesepakatan orangtua. Waktu itu saya hadir. Setiap siswa diminta Rp20 ribu untuk menggaji guru honorer yang tidak ter-cover dana BOSP. Tidak ada paksaan sama sekali,” ujar Akrama, sambil menahan air mata, Selasa (11/11/2025).

Ia menjelaskan, para orangtua tidak keberatan dengan iuran itu karena melihat langsung dedikasi para guru honorer dalam mendidik anak-anak mereka.

“Kami waktu itu justru mendukung. Guru-guru itu berjasa besar untuk anak kami. Saya juga pernah jadi guru sukarela, jadi saya tahu rasanya,” tambahnya.

Dana Sukarela, Bukan Uang Negara

Orangtua lainnya, Taslim, juga menegaskan bahwa pembayaran iuran dilakukan secara sukarela dan tidak bersifat wajib.

Bahkan, bagi keluarga yang memiliki dua anak di sekolah yang sama, hanya diminta membayar untuk satu anak.

“Kalau ada dua anak bersaudara di sekolah, cukup bayar satu. Jadi tidak memberatkan. Semua berdasarkan kesepakatan rapat,” ujarnya.

Para orangtua pun berharap agar pemerintah meninjau kembali keputusan pemecatan dua guru tersebut.

“Kami tidak melawan keputusan hukum, tapi tolong lihat niat mereka. Ini bukan korupsi. Uang itu bukan uang negara, tapi sumbangan kami sendiri,” kata Akrama penuh harap.

Kronologi Kasus: Niat Baik Berujung Petaka

Kasus ini bermula pada 2018 saat Rasnal menjabat Kepala SMAN 1 Luwu Utara. Saat itu, sekitar sepuluh guru honorer mengadu karena tidak menerima honor selama hampir satu tahun.

Merespons keluhan itu, Rasnal mengadakan rapat bersama dewan guru, komite sekolah, dan orangtua siswa. Hasil rapat menyepakati iuran sukarela Rp20 ribu per bulan untuk membantu guru honorer.

Namun pada 2020, laporan dari sebuah LSM menyebut kebijakan tersebut sebagai pungutan liar.

Kasus pun bergulir ke pengadilan hingga Mahkamah Agung memutuskan Rasnal bersalah dengan hukuman 1 tahun 2 bulan penjara.

Berdasarkan putusan itu, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan kemudian menerbitkan Keputusan Gubernur Nomor 800.1.6.2/3973/BKD yang memberhentikan Rasnal dan Abdul Muis secara tidak hormat.

Penjelasan Dinas Pendidikan Sulsel

"Besok ada rapat dengar pendapat (RDP). Saya sudah sampaikan, biar dijelaskan secara terbuka. Karena ini kasus lama, 2018–2019. Oleh pengadilan sudah diputuskan dan kami hanya melaksanakan aturan ASN-nya,” ujar Iqbal saat dikonfirmasi, Selasa (11/11/2025), dikutip Kompas.com

Iqbal menuturkan, berdasarkan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), pemberhentian dapat dilakukan karena dua alasan, yakni permintaan sendiri atau karena hukuman pidana.

"Kalau ASN ditahan lebih dari dua tahun karena pidana umum, maka diberhentikan. Tapi kalau di bawah dua tahun, tidak diberhentikan. Untuk tindak pidana korupsi, begitu diputus bersalah langsung diberhentikan,” jelasnya. 

Dengan demikian, pemberhentian Rasnal dan Abdul Muis dilakukan karena telah memenuhi kriteria hukum dan administratif ASN.

“Kami hanya melaksanakan undang-undang ASN. Soal masalah hukum beliau, itu ranah yudisial. Kami hanya menjalankan aturan,” tegas Iqbal. 

Iqbal menambahkan, pihaknya akan menjelaskan secara terbuka duduk perkara kasus ini dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama DPRD Sulawesi Selatan yang dijadwalkan Rabu (12/11/2025).

“RDP ini penting agar publik tahu batas antara sumbangan sukarela dan pungutan wajib. Supaya tidak terjadi lagi kesalahpahaman seperti ini,” pungkasnya.

Lebih lanjut, ia menegaskan, keberadaan Komite Sekolah dan mekanisme pengumpulan dana pendidikan telah diatur secara jelas dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). 

Namun, ia mengingatkan bahwa ada batas tegas antara “sumbangan sukarela” dan “pungutan wajib” yang tidak diperbolehkan. 

"Komite itu diatur di Permendikbud. Artinya, Komite tidak dilarang melakukan pengumpulan dana pendidikan, tetapi hanya dalam bentuk bantuan sukarela, bukan pungutan wajib,” katanya.

Menurut Iqbal, pengumpulan dana oleh Komite Sekolah diperbolehkan asalkan dilakukan secara transparan dan tidak bersifat memaksa.

"Pungutan tidak boleh mewajibkan. Tapi kalau meminta bantuan, boleh. Namanya sumbangan itu ya sukarela, terserah yang mau memberi,” jelasnya.

Pernyataan ini menanggapi kasus dua guru di Luwu Utara, Drs. Rasnal, M.Pd. dan Drs. Abdul Muis, yang diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH) setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Keduanya diduga terlibat dalam kasus pungutan sekolah pada periode 2018–2019. 

Kisah Guru Dipecat gegara uang Rp20 Ribu

Sebelumnya, Rasnal dipecat bersama bendahara Komite Abdul Muis SMAN 1 Luwu Utara.

Rasnal memulai karier sebagai tenaga honorer pada 2002.

Kini statusnya sebagai aparatur sipil negara dicabut melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD, setelah ia menjalani vonis pidana satu tahun dua bulan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 4999 K/Pid.Sus/2023. 

Ironisnya, semuanya berawal bukan dari korupsi atau penyelewengan untuk kepentingan pribadi, melainkan dari niat membantu guru honorer agar tetap mendapatkan hak mereka.

"Saya hanya ingin membantu. Tidak ada sepeser pun yang saya nikmati,” ucap Rasnal, dikutip Kompas.com

Adapun kisah itu bermula pada Januari 2018, tak lama setelah Rasnal dilantik menjadi Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara

Sekitar sepuluh guru honorer datang mengadu karena honor mengajar selama sepuluh bulan pada 2017 belum dibayarkan. 

“Saya kaget sekali. Bagaimana bisa mereka tidak dibayar selama itu? Padahal mereka tetap mengajar,” kenangnya. 

Sebagai kepala sekolah baru, ia menanyakan ke bendahara dan staf Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BOSP). 

Dalam Petunjuk Teknis (Juknis) dana BOSP, hanya guru yang memenuhi empat syarat terdaftar di Dapodik, memiliki NUPTK, SK Gubernur, dan akta mengajar yang berhak menerima honor.

Dari sepuluh guru itu, hanya satu yang memenuhi kriteria. 

“Saya tidak tega melihat mereka tetap mengajar tanpa bayaran. Ini soal kemanusiaan,” ujarnya.

Rasnal menggelar rapat dewan guru untuk mencari solusi, kemudian melibatkan komite sekolah dan orangtua siswa pada 19 Februari 2018. 

Rapat itu melahirkan kesepakatan: sumbangan sukarela Rp 20.000 per bulan per siswa, dikelola komite untuk membantu honor guru. 

"Semua orang tua setuju. Tidak ada paksaan, tidak ada yang menolak. Komite sendiri yang mengetuk palu,” kata Rasnal. 

Dana komite itu membuat sekolah bergeliat. Guru kembali bersemangat, lingkungan sekolah lebih terawat, dan kegiatan belajar mengajar meningkat. 

“Saya melihat perubahan nyata. Sekolah hidup kembali,” ujarnya.

Dianggap sebagai Pungli Pandemi 2020 menjadi awal badai baru. Muncul laporan dari sebuah LSM yang menilai sumbangan orang tua itu sebagai pungutan liar (pungli). 

Laporan diterima kepolisian, dan Rasnal menjadi pihak pertama yang dimintai keterangan. 

Ia menjalani pemeriksaan dan persidangan hingga akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.

Rasnal menjalani hukuman satu tahun dua bulan, delapan bulan di penjara dan sisanya tahanan kota. 

“Saya tidak punya uang 50 juta untuk membayar denda, jadi saya jalani semuanya,” katanya, tersenyum getir.

Gelombang Solidaritas Guru dan Wali Murid

Kasus ini menimbulkan gelombang dukungan bagi dua guru yang dinilai dikriminalisasi karena niat baik.

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Luwu Utara menggelar aksi damai dan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto agar status dan hak dua guru itu dipulihkan.

Ketua PGRI Luwu Utara, Ismaruddin, menilai kasus ini menjadi peringatan bagi pemerintah agar memperjelas batas antara “sumbangan sukarela” dan “pungutan liar.”

“Guru hari ini sangat rentan. Tanpa perlindungan hukum, niat baik bisa berubah jadi jerat hukum,” katanya.

Kembali Mengajar Tanpa Gaji 

Setelah bebas pada 29 Agustus 2024, Rasnal kembali mengajar di SMA Negeri 3 Luwu Utara. 

Namun, gajinya tidak lagi masuk ke rekening sejak Oktober 2024. 

“Saya sudah mengajar, sudah bebas, tapi gaji saya tidak dibayar. Saya bertahan hampir setahun tanpa gaji,” tuturnya. 

Hingga akhirnya keluar keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Pemerintah Provinsi Sulsel melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD. 

“Saya terdiam lama. Saya pikir, beginikah nasib seorang guru yang ingin menolong?” ujarnya pelan.

Kini, Rasnal hidup bersama keluarganya dan mengandalkan anak-anaknya untuk kebutuhan sehari-hari. Meski begitu, semangatnya untuk mendidik belum padam.

Ia merasa keputusan tersebut tidak adil.

“Tidak ada niat sedikit pun mencari keuntungan pribadi. Saya hanya ingin agar guru honorer tetap mendapat hak mereka,” ujarnya.

Dengan kerendahan hati, Rasnal berharap Gubernur Sulsel meninjau kembali keputusan pemberhentian dirinya.

“Pengabdian saya selama ini seolah tidak berarti apa-apa di mata penguasa,” tutupnya.

Dalam kasus ini Rasnal dipecat bersama Abdul Muis.

Harapan Terakhir

Kini, baik Rasnal maupun Abdul Muis berharap keputusan pemecatan mereka dapat ditinjau ulang.

“Saya hanya ingin orang tahu, saya bukan koruptor. Saya hanya ingin membantu guru honorer agar bisa tetap mengajar,” ujar Muis lirih.

Akrama, mewakili para orangtua, menutup dengan kalimat yang menyentuh:

“Kembalikan hak mereka. Anak kami bisa jadi sarjana karena guru-guru seperti mereka.”

Tribuntimur.com/Kompas.com/TribunSumsel.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved