Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung

Terungkap Modus dalam Indikasi Jual Lahan Negara Untuk Proyek Whoosh

Eks penyidik KPK sebut modus jual beli tanah negara seperti untuk Whoosh terjadi dengan memanipulasi kepemilikan lahan.

|
Editor: Fitriadi
KCIC via Tribunnews.com
WHOOSH JAKARTA BANDUNG - Kereta Cepat Jakarta Bandung atau Whoosh yang beroperasi sejak Oktober 2023. Kini, proyek pada masa pemerintahan Presiden Jokowi tersebut jadi polemik karena ada dugaan penyelewengan serta meninggalkan utang Rp 118 triliun. 
Ringkasan Berita:
  • KPK temukan indikasi jual beli lahan negara dan penggelembungan harga tanah untuk proyek Whoosh.
  • Eks penyidik KPK sebut modus jual beli tanah negara seperti untuk Whoosh terjadi dengan memanipulasi kepemilikan lahan.
  • KPK nisa telusuri dari tiga jenis tindakan korupsi dalam pengadaan lahan.

 

BANGKAPOS.COM - Indikasi mark-up harga tanah dan jual beli tanah negara dalam pengadaan lahan untuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh kini sedang didalami Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dua indikasi kecurangan itu bisa jadi pintu membuka tabir dugaan korupsi proyek strategis nasional senilai Rp 118 triliun di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Temuan tersebut kini jadi sorotan. Bagaimana bisa lahan negara dijual untuk proyek kepentingan negara seperti terjadi pada proyek Whoosh?

Baca juga: Sinyalemen Mahfud Mulai Tersingkap, KPK Temukan Indikasi Modus Korupsi Proyek Whoosh

Mantan penyidik KPK Yudi Purnomo mengungkap praktik tersebut biasanya dilakukan dengan memanipulasi kepemilikan lahan.

Yudi mengatakan, selama dirinya menangani korupsi, indikasi praktik kecurangan dalam pengadaan lahan bukanlah hal yang mengejutkan.

Namun, untuk proyek Whoosh, yang perlu diperhatikan lagi adalah karena sistem kepemilikannya yang merupakan gabungan konsorsium Indonesia dan China.

Jadi menurut Yudi, tanah negara yang dijual lagi kepada negara untuk pengadaan proyek Whoosh yang dimiliki bersama antara Indonesia dan China ini perlu ditelusuri tindak pidananya.

"Jadi sebenarnya ini tidak mengagetkan, tetapi yang mengagetkan, yang menarik adalah fakta bahwa sebenarnya kepemilikan lahan itu bukan murni 100 persen punya Indonesia," ujar Yudi ketika menjadi narasumber dalam program Apa Kabar Indonesia Pagi yang diunggah di kanal YouTube tvOneNews, Rabu (12/11/2025).

"Kita tahu bahwa KCIC ini kan gabungan atau konsorsium dua negara, Indonesia (4 BUMN) dan China, dengan pembagian 60:40."

"Jadi sebenarnya lahan [untuk proyek Whoosh] itu bisa sebenarnya kepemilikan lahan itu kan enggak murni 100 persen milik negara."

"Ada 60 persen milik negara, 40 persen milik pihak China. Tapi, tetap saja bisa ditelusuri tindak pidananya."

3 Jenis Tindakan Korupsi dalam Pengadaan Lahan

Menurut Yudi, tak dipungkiri bahwa pengadaan lahan untuk proyek pembangunan yang dilakukan pemerintah sering kali diwarnai kecurangan.

Yudi mengungkap, pengadaan lahan menjadi 'lahan basah' karena banyak cara yang diutak-atik oknum tertentu untuk mendapatkan uang.

"Kasus pengadaan tanah memang lazim, banyak fraud [kecurangan atau penipuan], karena semua punya kepentingan dan di sana paling banyak bisa mendapatkan uang dengan cara curang dan sebagainya," tutur Yudi.

"Dan kita tahu sebenarnya dalam proses pengadaan tanah kan sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum."

"Di situ sudah jelas sekali, ada tanah milik rakyat, tanah milik pemerintah, ada pemerintah, ada BUMN, ada kas desa dan masuk instansi-instansi, misalnya ada TNI, Polri, dan pemerintahan. Di situ juga sudah jelas, misalnya, kalau masih tanah negara ya diurus lah."

Selanjutnya, Yudi menjelaskan ada tiga jenis kecurangan dalam hal pengadaan lahan yang bisa berujung pada korupsi, yakni:

manipulasi kepemilikan di mana lahan milik negara dijadikan milik pribadi untuk dijual lagi
mark-up harga di mana harga jual tanah yang rendah dinaikkan harga ruislag atau tukar guling yang tidak sebanding di mana selisih harga tukar guling dimanfaatkan oknum tertentu untuk mendapat keuntungan

"Nah, biasanya korupsi yang terjadi itu, pertama adalah manipulasi kepemilikan," kata Yudi.

"Bisa jadi kepemilikan ini sebenarnya milik negara, entah BUMN, instansi pemerintah, tetapi kemudian dijadikan milik pribadi."

"Yang kedua harganya terlalu mahal. Jadi, [tadinya harga sebenarnya rendah] kemudian di mark-up, jadi tinggi."

"Ketiga, harga pengganti atau ruilslag-nya tidak sebanding."

"Karena tidak sebanding, ya selisih inilah yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk mendapatkan uang dari hasil selisihnya dan ada beberapa kasus yang seperti itu."

2 Hal yang Harus Diperiksa oleh KPK

Sebelumnya, Yudi juga sempat menyarankan KPK agar memeriksa dua hal penting terkait Whoosh.

Pertama, adalah mencari tahu soal perencanaan proyek Whoosh yang merupakan kerja sama Indonesia-China.

"Menelusuri mulai dari perencanaan, di mana dalam perencanaan ada skema pembiayaan, ada yang namanya proses pengerjaan, termasuk prediksi penumpang dan pendapatan," urai Yudi, dikutip dari YouTube KompasTV, Rabu (29/10/2025).

Kedua, lanjut Yudi, adalah proses pembangunan proyek Whoosh.

Dari situ, menurut Yudi, akan diketahui apakah terjadi mark-up atau penggelembungan harga dalam pembelian lahan.

Ia juga mengatakan, apabila proses pembangunan Whoosh ditelusuri secara teliti, juga bakal terungkap, apakah benar lahan untuk proyek dibeli dari pemiliknya.

"Proses pembangunan, harus ditelusuri, apakah terjadi mark-up terkait pembelian lahan, apakah benar lahan tersebut dibeli dari pemiliknya," tuturnya.

Indikasi Mark-up Harga Tanah dan Tanah Negara Dijual Lagi kepada Negara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan penjelasan rinci mengenai penyelidikan yang sedang bergulir terkait proyek Kereta Cepat Whoosh relasi Jakarta-Bandung.

Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa fokus penyelidikan bukan pada operasional proyek, melainkan pada dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pembebasan lahannya.

"Yang kami ketahui, ini sedikit mungkin, karena ini masih penyelidikan, materinya itu terkait dengan lahan sebetulnya, jadi bukan masalah prosesnya, terkait dengan pembebasan lahan," kata Asep Guntur di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (10/11/2025).

Asep menegaskan bahwa operasional kereta cepat masih bisa terus berjalan.

Namun, KPK mendalami adanya dugaan oknum yang memanfaatkan proyek strategis nasional ini untuk mengambil keuntungan tidak sah yang harus dikembalikan kepada negara.

Modus korupsi yang didalami, jelas Asep, adalah penggelembungan harga tanah jauh di atas harga wajar.

"Misalkan, pengadaan lahan nih, yang harusnya di harga wajarnya 10 lalu dia jadi 100, kan jadi nggak wajar tuh. Nah kembalikan dong, negara kan rugi," jelasnya.

Lebih lanjut, Asep mengungkap indikasi serius bahwa ada tanah milik negara yang justru diperjualbelikan kembali kepada negara dalam proses pengadaan lahan untuk proyek Whoosh.

"Jadi kami tidak sedang mempermasalahkan Whoosh itu, tapi kita dengan laporan yang ada ini adalah, ada barang milik negara yang dijual kembali kepada negara, dalam pengadaan tanahnya ini," tegas Asep.

"Tanah-tanah milik negara, seharusnya ini proyek pemerintah proyek negara ya harusnya tidak bayar," tambahnya.

KPK saat ini masih mendalami lokasi spesifik dari dugaan praktik korupsi lahan ini, apakah di kawasan Halim, Tegal Luar Bandung, atau di sepanjang rute.

Eks penyidik KPK sebut modus jual beli tanah negara seperti untuk Whoosh terjadi dengan memanipulasi kepemilikan lahan.

Polemik Whoosh

Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh merupakan salah satu proyek mercusuar sekaligus ambisius dalam masa pemerintahan Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Whoosh pun ditetapkan sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016.

Proyek ini dibangga-banggakan oleh Jokowi, lantaran memiliki kecepatan 350 kilometer per jam sekaligus menjadi kereta cepat pertama di Indonesia maupun di Asia Tenggara.

Pengelola Whoosh adalah PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dengan 60 persen saham dan konsorsium China melalui Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen saham).

Adapun PSBI sendiri dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan porsi saham 58,53 persen, diikuti Wijaya Karya (33,36 persen), PT Jasa Marga (7,08 persen), dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII (1,03 persen).

Sementara, komposisi pemegang saham Beijing Yawan HSR Co. Ltd terdiri atas CREC 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRRC 12 persen, CRSC 10,12 persen, dan CRIC 5 persen.

Whoosh kemudian diresmikan oleh Jokowi pada 2 Oktober 2023 di Stasiun Halim, Jakarta.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, Whoosh justru berbuntut utang jumbo sehingga menjadi beban berat bagi BUMN Indonesia yang terlibat, terutama PT KAI (Persero) sebagai pemimpin konsorsium PSBI.

Bahkan, utang proyek Whoosh dinilai bagai bom waktu.

Proyek ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.
 
Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.

Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.

Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).

Whoosh jelas memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero).

Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025 saja.

Sebagai lead konsorsium PSBI, maka PT KAI (Persero) menanggung porsi kerugian paling besar, yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025, jika dibanding tiga BUMN anggota konsorsium PSBI lainnya.

Sehingga, beban yang ditanggung PT KAI (Persero) begitu berat, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang.

Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin bahkan menyebut besar utang proyek Whoosh ini bagai bom waktu, sehingga pihaknya akan melakukan koordinasi dengan BPI Danantara untuk menanganinya.

“Kami akan koordinasi dengan Danantara untuk masalah KCIC ini, terutama kami dalami juga. Ini bom waktu,” ujar Bobby dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8/2025).

(Tribunnews.com/Rizki A./Ilham Rian P./Pravitri Retno)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved