Arti Lakum Dinukum Wa Liya Din di Surat Al Kafirun, Punya Makna Toleransi dalam Perspektif Islam

Adapun arti lakum dinukum wa liya din adalah untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.

Penulis: Fitri Wahyuni | Editor: Fitri Wahyuni
TribunBanten.com
ARTI -- Arti Lakum Dinukum Wa Liya Din di Surat Al Kafirun, Punya Makna Toleransi dalam Perspektif Islam 

BANGKAPOS.COM -- Berikut ini arti lakum dinukum wa liya din dalam Al Kafirun.

Bacaan lakum dinukum wa liya din dapat ditemukan dalam ayat terakhir surat Al Kafirun.

Adapun arti lakum dinukum wa liya din adalah untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.

Baca juga: Arti Shadaqta wa Bararta, Ucapan Ketika Mendengar Azan Subuh Assholatu Khoirum Minannaum

Lantas apa makna dari bacaan lakum dinukum wa liya din?

Surat Al kafirun merupakan surat berisi tentang toleransi beragama.

Surat ini sangat terkenal karena kandungannya mengajarkan kita untuk bertoleransi antar umat beragama.

Dalam kitab suci Al Quran diperintahkan untuk menghormati penganut agama lain.

Ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu dasar negara Indonesia sesuai dengan jiwa dan kekhasan bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Baca juga: Arti Innahu Min Sulaimana wa Innahu Bismillahirrahmanirrahim, Doa Nabi Sulaiman, Ada di QS An Naml

Seperti dalam potongan akhir ayat surat tersebut yang artinya, “Untuk mu agama mu dan untuk ku agama ku”.

Saling menjaga kerukunan beragama, tidak saling menjelekkan dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Mengacu pada penjelasan Ustaz Khalid Basalamah yang Bangkapos.com kutip dari kanal YouTube Islampedia, beliau menegaskan bahwa lakum dinukum waliyadin harus dimaknai sama seperti pemahaman para sahabat Nabi Muhammad saw.

Dijelaskan bahwa ayat keenam dalam Surat Al Kafirun ini diturunkan oleh Allah SWT. karena ada penyebabnya.

Seorang kafir quraisy mengajak Nabi Besar Muhammad SAW untuk bernegosiasi tentang agama atau kepercayaan.

Yang mana mereka menginginkan Nabi Muhammad untuk mengakui agama mereka meski hanya satu kali seumur hidup.

"Seorang kafir quraisy berkata kepada nabi saw 'wahai Muhammad, kita negosiasi nih', kata nabi saw 'seperti apa', (kafir quraisy berkata) 'Mekkah kita bagi dua aja, sehari buat kamu, sehari buat kami'," kata Ustaz Khalid Basalamah mulai menjelaskan.

"Nabi saw tanya lagi 'apa maksudmu', dia bilang 'sehari kami ikuti agamamu, kami ucapkan selamat untukmu, semua yang kamu ajarkan kami ikuti, tapi syaratnya hari esok kau ikuti ajaran kami, ucapkan selamat buat kami, pokoknya jadi agama kami'," sambung Ustaz Khalid Basalamah.

Mendengar kalimat tersebut, Nabi Muhammad saw lantas menolak kafir quraisy yang mencoba mengajak negosiasi tersebut.

Namun seorang kafir quraisy itu tak lantas menyerah, ia terus mencoba untuk mengajak Rasulullah bernegosiasi terkait agama atau kepercayaannya.

"Kata nabi saw ga bisa, ga mungkin, diam sejenak lalu dia (kafir quraisy) bilang lagi 'wahai Muhammad, begini aja kalau gitu, sehari buat kami, seminggu buat kamu', ga bisa kata nabi saw," ujar Ustaz Khalid Basalamah.

"'Muhammad, sehari buat kami, sebulan buat kamu, ga bisa kata nabi saw. Baik Muhammad, sehari buat kami, setahun buat kamu, ga bisa kata nabi saw. Terakhir Muhammad, sehari buat kami, seumur hidup buat kamu'," ujar Ustaz Khalid Basalamah bercerita.

Meski dengan cara apapun seorang kafir quraisy itu mencoba untuk bernegosiasi dengan Nabi Muhammad agar ia berkenan menyetujui, namun berkali-kali pula nabi saw menolaknya.

Inilah yang kemudian menjadi penyebab turunnya Surat Al Kafirun.

Seketika malaikat Jibril turun dari langit dengan membawa Surat Al Kafirun dan diterima oleh Nabi Muhammad.

"Kata Nabi Muhammad saw tidak bisa, Jibril langsung turun bawa Surat Al Kafirun, itu sebab turunnya," ujar Ustaz Khalid Basalamah.

"Lakum dinukum wa liya din, semua orang kafir tidak boleh diikuti ajarannya, jelas, itu maksudnya," tegas Ustaz Khalid Basalamah.

Bagimu agamamu, bagiku agamaku, inilah di antara prinsip akidah Islam yang harus dipegang dan dianut setiap muslim.

Namun sebagian orang masih tidak memahami makna dari ayat ini.

Baca juga: Arti Wabtagi Fima Atakallahud Daral Akhirata, Surat Al Qasas Ayat 77

Jika seorang muslim memahami ayat ini dengan benar, tentu ia akan menentang keras bentuk loyal pada orang kafir dan berlepas diri dari mereka. 

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُ‌ونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦

“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (2) Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah (5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku (6)” (QS. Al Kafirun: 1-6)

Ayat tersebut berisi seruan pada orang-orang musyrik secara terang-terangan, bahwa kaum muslimin berlepas diri dari bentuk ibadah kepada selain Allah yang mereka lakukan secara lahir dan batin.

Surat tersebut berisi seruan bahwa orang musyrik tidak menyembah Allah dengan ikhlas dalam beribadah, yaitu mereka tidak beribadah murni hanya untuk Allah.

Ibadah yang dilakukan orang musyrik dengan disertai kesyirikan tidaklah disebut ibadah.

Kemudian ayat yang sama diulang kembali dalam surat tersebut, yang pertama menunjukkan perbuatan yang dimaksud belum terwujud dan pernyataan kedua menceritakan sifat yang telah ada (lazim).

Lihat faedah tafsir surat Al Kafirun, di akhir ayat Allah tutup dengan menyatakan, لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ, “untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.

Lakum diinukum wa liya diin juga bisa terdapat dua makna.

Pertama, bagi kalian akidah kekufuran yang kalian anut, bagi kami akidah Islam.

Kedua, karena diin bisa bermakna al jazaa’, yaitu hari pembalasan, maka artinya: bagi kalian balasan dan bagiku balasan.

Toleransi dalam Perspektif Islam

Toleransi adalah sifat atau sikap menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya sendiri.

Dalam pandangan Barat toleransi (tolerance) dimaknai menahan perasaan tanpa protes (to endure without protest), meskipun gagasannya itu salah (Lihat; The New International Webster Comprehensive Dictionary of The English Language, 1996:1320).

Berbeda dengan Islam, Islam menyebut toleransi dengan tasamuh.

Tasamuh memiliki tasahul (kemudahan).

Artinya, Islam memberikan kemudahan bagi siapa saja untuk menjalankan apa yang ia yakini sesuai dengan ajaran masing-masing, tanpa ada tekanan dan tidak mengusik ketauhidan (Lihat; Kamus al-Muhit, Oxford Study Dictionary English Arabic, 2008:1120).

Dalam konteks sosial dan agama, toleransi dimaknai, sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.

Seperti “toleransi beragama” di mana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya.

Konsep tasamuh dalam Islam mengandung konsep rahmatan lil ‘alamin.

Sekalipun Alquran tidak secara tegas menjelaskan tentang tasamuh, namun ditemui beberapa terma yang terkait dengan ini, di antaranya:

Rahmah atau kasih sayang (QS. al-Balad: 17), al-‘Afw atau memaafkan (QS. al-Nur: 22), al-Safh atau berlapang dada (QS. al-Zukhruf: 89), al Salam atau keselamatan (QS. al-Furqan: 63), al-‘Adl atau keadilan, al-Ihsan atau kebaikan (QS. al-Nahl: 90) dan al-Tawhid yang bermakna menuhankan Allah Swt (QS. al-Ikhlas: 1-4).

Baca juga: Arti Allahumma Inni As Aluka Khoiroha Wakhoiro Ma Jabaltaha Alaihi, Doa Setelah Akad Nikah

Bentuk Toleransi

Sikap toleransi dan menghargai tidak hanya berlaku terhadap orang lain, tetapi juga kepada diri sendiri, bahkan sikap toleran harus dimulai dari diri sendiri.

Rasulullah saw mengingatkan agar ia memperhatikan dirinya dan memberi hak yang proporsional: “Sesungguhnya tubuhmu punya hak (untuk kamu istirahatkan) matamu punya hak (untuk dipejamkan) dan istrimu juga punya hak (untuk dinafkahkan).” (HR. Bukhari).

Terhadap mereka yang berbeda agama dan keyakinan, Alquran menetapkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. al-Baqarah: 256).

Sebab kebebasan beragama merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak-hak manusia yang sangat mendasar.

Tugas seorang Nabi, demikian juga seorang ulama, da’i, hanyalah menyampaikan risalah, bukan untuk memaksa dan menguasai. 

Dalam sejarahnya Rasulullah saw, tidak pernah memaksa orang lain (non muslim) untuk memeluk agama Islam, dan sebaliknya.

Bahkan, melalui Piagam Madinah, Rasulullah saw telah memberikan jaminan kebebasan beragama kepada setiap orang.

Bentuk lain dari toleransi Islam yang terkait kebebasan beragama adalah tidak cepat-cepat menghukum kafir kepada orang yang masih menyisakan sedikit celah untuk disebut sebagai muslim.

Imam Malik mengatakan, orang yang perbuatan dan pernyataannya mengarah kepada kekufuran dari sembilan puluh sembilan arah, tetapi masih menyisakan keimanan walau dari satu arah, maka dihukumi sebagai orang beriman.

Dalam pandangan Islam, toleransi bukanlah fatamorgana atau bersifat semu.

Tapi ia memiliki dasar yang kuat dan memiliki tempat utama, sesuai nash Alquran yang antara lain tercermin dalam firman-firman Allah berikut ini:

“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). “Barang siapa mencari agama selain Islam maka sekali-kali tidak akan diterima daripadanya, dan di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali 'Imran: 85). Selanjutnya firman Allah Swt: “Lakum dinukum waliyadin” (Bagimu agamamu, bagiku agamaku).” (QS. Al-Kafirun: 5).

(Bangkapos.com/TribunBanten.com)

Sumber: bangkapos
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved