Proses Terbentuknya Kelekak dan Kelukoi

KELEKAK terbentuk melalui proses yang tidak singkat. Membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun

Editor: edwardi
bangkapos.com/dok
Ilustrasi: Warga sedang mengambil air bersih di sumur umum ?Air Mungkus Kelekak Candu diwilayah Padang Lalang, Jumat (4/9). ( 

Oleh: Ichsan Mokointa Dasin

BANGKAPOS.COM, BANGKA -- KELEKAK terbentuk melalui proses yang tidak singkat. Membutuhkan waktu puluhan bahkan ratusan tahun agar lahan atau bidang tanah yang berisikan pohon penghasil buah itu baru layak disebut kelekak. Tak heran pula jika si pemilik atau pembuat kelekak tidak sempat menikmati hasil dari apa yang telah mereka tanam.

Tentang proses bagaimana terbentuknya kelekak, sejauh ini paling tidak dapat ditilik dari tiga hal yakni: Pertama, karena adanya pengalihan hak kepemilikan atas tanah. Kedua, adanya pengaruh kosmis magis dan ketiga, pengaruh religius magis.

1. Pengalihan Hak Kepemilikan atas Tanah

Zaman pra kemerdekaan, penguasaan atas tanah sepenuhnya dikuasai melalui sistem feodal dimana rakyat hanya sebatas 'menumpang' atau 'meminjam' tanah untuk kepentingan hidup. Entah itu untuk mendirikan rumah maupun untuk kepentingan berladang. Pihak yang berkuasa (raja) memegang otoritas tertinggi hak atas tanah.

Di masa penjajahan, tak banyak perubahan mendasar terkait kepemilikan hak atas tanah. Rakyat tetap pada posisi 'penggarap' sementara hak kepemilikan masih berada di tangan penguasa.

Hanya saja, dengan politik devide et impera-nya, penjajah (Belanda), kemudian berhasil meruntuhkan hegemoni raja atas tanah dan membaginya ke bentuk atau tingkatan sesuai jenjang kekuasaan yang berlaku ketika itu.

Di Pulau Bangka sendiri, Belanda menyerahkan wewenang penguasaan atas tanah kepada para depati dan batin.
Patut diduga, mengingat keterbatasan pengawasan terhadap semua wilayah di Pulau Bangka ketika itu, maka dari depati dan batin dibentuk lagi 'penguasa' atas tanah yakni kepada para kepala kampung (gegading) di masing-masing kampung. Tanah yang dikuasai melalui tangan para kepala kampung ini yang oleh masyarakat Bangka kemudian dikenal dengan sebutan tanah 'gemeente' atau 'haminte'.

Tanah haminte sebagian digunakan masyarakat untuk membangun rumah, sebagian lagi diperbolehkan untuk berladang dengan izin kepala kampung.

Tak saja untuk kepentingan membangun rumah dan berladang bagi masyarakat, sejumlah lahan yang diserahkan pengawasannya kepada kepala kampung ini, juga ada ditanami masyarakat dengan pohon buah-buahan. Lahan yang ditanami pohon penghasil buah Ini pula yang puluhan tahun kemudian dikenal dengan sebutan kelekak, dan dimiliki secara bersama-sama oleh masyarakat setempat.

Sebagai penguasa 'tunggal' hak atas tanah, seorang kepala kampung ketika itu, tak segan juga menghadiahi sebidang tanah kepada kaum kerabatnya dan kepada orang-orang yang dianggap tokoh atau orang berpengaruh di kampung setempat.

Oleh si penerima, sebagian tanah 'hadiah' ini juga ada di antaranya ditanami kebun buah-buahan yang dikuasai secara pribadi. Areal ini juga lambat laun menjadi kelekak (dalam tulisan ini lebih dikenal dengan sebutan kelukoi) dan dikuasi secara turun-temuran oleh anak cucu si pemiliknya.
Dalam beberapa kasus, tanah 'hadiah' ini ada yang memicu sengketa. Penyebabnya sebagian masyarakat ada yang tidak menyetujui dan tidak mengakui tanah pemberian tersebut menjadi milik pribadi si penerima.

2.Kosmis Magis

Sistem bercocok-tanam masyarakat di Pulau Bangka tempo dulu pada dasarnya memiliki persamaan dengan sistem bercocok-tanam masyarakat di tanah air umumnya yakni sistem nomaden atau berladang dengan berpindah-pindah.

Lazimnya, bercocok-tanam masyarakat Bangka zaman dahulu selalu dilakukan bersama atau melibatkan kelompok dengan jumlah belasan hingga puluhan orang.

Hutan yang sudah ditebas, ditebangi dan dibersihkan secara bersama itu, lalu dibagi sesuai peruntukan atau sesuai kebutuhan tanam. Pembagian lahan untuk bertanam biasanya diundi melalui prosesi bermain gasing. Gasing dimainkan melalui sistem 'uri'.

Siapa yang gasingnya paling terakhir mati (berhenti berputar) maka diberikan kesempatan pertama untuk memilih posisi lahan. Begitulah seterusnya sampai masing-masing mendapat bagian.

Setelah semuanya mendapat bagian, bidang tanah tersebut ditanami padi atau lebih dikenal dengan 'berume'. Padi ditanam dengan cara 'ditugal' dan dilakukan bersama-sama.

Prosesi menugal padi secara bersama ini dinamakan 'beganjal' yakni, suatu sistem gotong-royong dimana para pesertanya tidak mendapatkan atau menerima imbalan apapun dari apa yang telah mereka kerjakan. Semata-mata ikhlas tanpa pamrih (bandingkan dengan 'besaoh' yakni, sestem gotong-royong dimana tenaga dibalas tenaga atau jasa dibalas jasa).

Selesai masa panen, bekas "ume' atau 'uma' ditanami dengan lada atau sahang. Begitu juga selanjutnya, ketika pohon lada sudah tidak produktif lagi, biasanya bekas kebun itu ditanami dengan tanaman keras seperti karet.

Sebagian lagi, ditanami bersama-sama dengan pohon penghasil buah seperti durian, cempedak, manggis, puren, tampui, rambai dan sebagainya. Praktis lahan yang bertahun-tahun mereka garap lantas ditinggalkan dan kembali membuka lahan baru dengan pola yang sama pula.

Jika dikaji lebih mendalam, tradisi bertanam masyarakat Bangka zaman dahulu, sebagaimana dipaparkan di atas, sesungguh para leluhur tempo dulu tidak saja bertanam untuk kepentingan sesaat. Melainkan bertanam untuk kepentingan generasi yang akan datang.

Mereka tidak sekadar menanam, akan tetapi juga memberi 'tanda' bahwa ada sebagian lahan yang kelak dapat diperuntukkan atau dapat diolah kembali oleh anak keturunan mereka (menjadi lahan milik pribadi) dan ada pula lahan yang kelak peruntukkannya khusus masyarakat banyak (wakaf) dan tetap terjaga eksistensinya.

Ada pun tanda yang dimaksud adalah kalau bekas huma/kebun ditanami dengan pohon karet maka kelak, tanah tersebut dapat diolah/dikuasai kembali oleh anak keturunan mereka. Sedangkan jika bekas huma/kebun ditanami bersama-sama dengan pohon penghasil buah, maka kelak, lahan berikut isinya akan menjadi milik masyarakat banyak yakni kelekak wakaf. (Tak menutup kemungkinan, ada juga sebagian masyarakat yang menanam secara sendiri-sendiri bekas kebun mereka dengan pohon penghasil buah, dan lambat laun menjadi kelukoi atau kelekak pribadi).

Tradisi bertanam masyarakat Bangka mulai dari berume, dilanjutkan berkebun sahang dan diakhiri dengan menanam tanaman keras (karet atau pohon penghasil buah), juga menunjukkan kalau masyarakat Bangka zaman dahulu merupakan masyarakat petani yang memiliki kesalehan dalam menjaga keseimbangan lingkungan alam dan manusia (kosmis magis).

Alam sekitarnya tidak sekadar dipahami sebagai ruang tempat menanam, akan tetapi merupakan ruang melakukan interaksi dengan cara menjaga keseimbangan kosmis berdasarkan rasa keadilan dan keadaban. Kesalehan keseimbangan alam dan manusia, ditandai dengan prilaku masyarakat Pulau Bangka tempo dulu sebagai masyarakat petani yang pandai membalas budi, yakni menghijaukan kembali bekas lahan garapan dengan pohon pengganti (kebun karet dan kelekak). Kebun karet yang kelak diharapkan dapat kembali digarap oleh anak keturunan di masa mendatang dan menjadi milik pribadi, serta kelekak yang kelak diharapkan tetap terjaga eksistensinya (tIdak untuk digarap) dan menjadi milik orang banyak (wakaf).

Oleh karena itu, eksistensi kelekak sesungguhnya juga merupakan wujud kesadaran masyarakat petani Pulau Bangka tempo dulu tentang adanya hubungan kosmis magis yang harus selalu dijaga. Kelekak dalam perspektif ini tak saja memiliki tujuan konsumtif, akan tetapi juga memiliki tujuan ekologis, yakni upaya pelestarian lingkungan (sustainable development) agar tidak gundul setelah sebelumnya dibuka kebun dan tetap terjaga eksistensinya sampai kapanpun.

3.Religius Magis

Selain melalui proses di atas, kelekak dapat pula terbentuk melalui proses yang disebut religius magis, yakni terbentuk karena adanya pengaruh kepercayaan akan roh-roh atau hal-hal ghaib lainya yang diyakni menguasai suatu tempat.

Misalnya terjadi perpindahan suatu masyarakat tempo dulu dari tempat tinggal mereka (perkampungan) akibat wabah penyakit yang diyakini disebabkan oleh gangguan makhluk ghaib (roh jahat). Lantaran wabah penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan dan semakin mewabah, maka masyarakat yang berdomisili di perkampungan tersebut akhirnya pindah ke kampung lain atau membangun perkampungan baru. Lokasi perkampungan yang ditinggalkan tersebut kemudian ditandai atau ditanami berbagai pohon penghasil buah yang lambat laun menjadi 'hutan buah-buahan' dan dikenal dengan sebutan kelekak.

Proses terbentuknya kelekak secara religius magis ini seperti halnya Kelekak Lukok, yang terletak di perbatasan Desa Kemuja dan Petaling Kecamatan Mendobarat. Konon, masyarakat ini meninggalkan kampung mereka (Lukok) akibat diserang penyakit bernama kutuk (kusta?) yang diyakini disebabkan oleh gangguan roh jahat. Masyarakat Lukok akhirnya ada yang pindah ke Desa Petaling, Kemuja, Payabenua bahkan sebagian ke Desa Sarangmandi Kecamatan Sungai Selan--ini pula yang selanjutnya melatarbelakangi mengapa dialek bahasa ibu masyarakat di Desa Sarangmandi sangat mirip dengan dialek bahasa ibu masyarakat di Mendobarat, khususnya Desa Petaling.

Selain keyakinan adanya gangguan roh jahat, kelekak secara religius magis juga dapat terbentuk karena orang-orang tempo dulu meyakini bahwa di tempat-tempat tertentu ada tanah bekas kerajaan, pekuburan lama atau sesuai kepercayaan diyakini menjadi tempat menetap makhluk halus. Maka tanah yang diyakini bekas kerajaan atau kuburan lama dan ditunggu makhluk halus tersebut tidak boleh diganggu atau dirusak.

Wilayah tersebut harus dijaga habitatnya dengan menanam berbagai pohon penghasil buah, yang lambat laun menjadi kelekak.

Kepercayaan adanya kekuatan dan gangguan dari roh-roh ini selanjutnya menjadikan masyarakat Pulau Bangka tempo dulu amat 'dekat' dengan sesuatu yang berbau mistis. Maka lahir keyakinan bahwa 'kekuatan' jahat tersebut tidak untuk dilawan melainkan harus 'dihargai' sebagai realitas alam. Kesadaran ini melahirkan ritual-ritual tertentu agar roh-roh jahat dapat hidup berdampingan dan tidak mengusik kehidupan manusia. Dari sini pula berawalnya ritual buang jong, pemberian sesajian, taber kampong, nujuh jerami, dan lain-lain yang hingga saat ini masih menjadi bagian dari tradisi masyarakat di Pulau Bangka.

Sayangnya, ketika keserakahan sudah semakin tak terbendung, kelestarian kelekak samakin pada posisi yang terancam. Bahkan sebagian telah menjelma menjadi kubangan lumpur TI, ada yang sudah digusur dan dipatok untuk dibangun rumah elite masa kini, sebagiannya lagi tinggal onggokan bekas gergaji. Betapa sebuah kearifan lokal orang-orang tempo dulu terhadap lingkungan alamnya tidak lagi dihargai oleh generasi masa kini dengan cara merusaknya dengan berbagai dalih kepentingan dan ekspansi. (Habis)

Sumber: bangkapos.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved