Sanggar Serumpun Sebalai Wadah Mahasiswa Babel Berekspresi
Sanggar Serumpun Sebalai merupakan wadah bagi mahasiswa asal Bangka Belitung selama menimba ilmu di Yogyakarta.
BANGKAPOS.COM, YOGYA - Kesibukan menjadi mahasiswa seringkali membuat seseorang lupa, bahwa menjadi terpelajar, juga harus dibarengi harmonisasi bermasyarakat.
Umumnya, mahasiswa sibuk dengan diri sendiri dan disiplin ilmu yang menjadi aktivitas mereka.
Atas kegelisahan tersebut, dibentuklah sebuah wadah yang menampung aspirasi dan menjadi simbol wujud hidup bermasyarakat. Wadah tersebut bernama Sanggar Serumpun Sebalai.
Sebuah wadah bagi mahasiswa asal Bangka Belitung, untuk tetap berekspresi dan berkarya di tempat mereka menimba ilmu yaitu Yogyakarta.
Sanggar tersebut sudah berjalan sejak beberapa tahun silam, namun hanya sebatas kesepakatan non tertulis. Para seniman dan cendekia Bangka Belitung di Yogyakarta, akhirnya sepakat untuk beraktivitas bersama secara intens.
"Seiring berjalannya waktu, kebutuhan birokrasi mendesak demi kebutuhan2 adminiatratif. Maka sanggar diresmikan secara birokratif baru saja diresmikan tahun ini" jalas Iqbal H. Saputra salah satu penggagas Sanggar Serumpun Sebalai, Minggu (18/9/2016)
Tidak hanya sebagai tempat bertukar pikiran, sanggar tersebut juga berkutat pada agenda seni, sastra, dan kebudayaan.
Harapannya, sanggar tersebut dapat menjadi wadah untuk bersilaturahmi dan berbagi ilmu kreatif, yang kemudian bisa dipentaskan dan dibagikan ke masyarakat. Baik hasil seni sastra secara pertunjukkan, maupun yg ilmiah seperti hasil penelitian.
Baru-baru ini, Sanggar Serumpun Sebalai mementaskan teater tradisional Bangka Belitung Toonel dalam acara bertajuk Mimbar Pertunjukkan Sastra Nusantara di Pendapa Dinas Kebudayaan DIY.
Selain Sanggar Serumpun Sebalai, Acara yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan DIY itu, juga menampilkan provinsi lain seperti Papua Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Yogyakarta sendiri, Sabtu (17/9/2016).
"Kami membawakan teater tradisional, di Bangka dan Belitung biasanya disebut Toonel. Tapi pertunjukkan semalam juga membawa unsur Dul Mulok, juga pertunjukan teater tradisional," tambah Iqbal.
Iqbal yang menjadi sutradara pementasan menjelaskan, naskah teater tersebut diangkat dari Dongeng Batu Karang Seribu, dari Desa Kundi, Kecamatan Muntok, Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung.
Koreografi teater oleh Dea agustiana dan Renny Destiani. Sementara komposer Leo Pradana Putra.
"Kendala lebih kepada konsep. Sebagai sutradara, mengambil bentuk Toonel dan Dul Muluk itu, ada idiom-idiom. Kemudian dielaborasikan dengan besyair, bepantun, begalor, bedambus atau begambus, menari, dan berakting," jelasnya.
Dalam penampilan tersebut, Iqbal menggabungkan beberapa unsur kesenian, dimana permainan dalam satu putaran babak, sehingga tidak ada penjedaan. Aktor adalah penari, penari adalah pemusik, dan pemusik adalah aktor, pemusik juga penari.
"Jika pertunjukan drama selama ini umumnya menempatkan penari dan musik hanya dijadikan pelengkap saya menempatkannya dalam posisi yang sama penting. pemusik=penari=aktor=pertunjukan," tutupnya.