Koalisi Prabowo-Sandi Dibubarkan, PKS Sindir Ada Partai Kelamin Tak Jelas, Siapa?
Koalisi parpol pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Koalisi Adil Makmur resmi dibubarkan.
BANGKAPOS.COM - Koalisi parpol pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Koalisi Adil Makmur resmi dibubarkan.
Koalisi Adil Makmur terdiri lima parpol yakni Gerindra, PAN, Demokrat, PKS dan Partai Berkarya.
Pembubaran koalisi disampaikan langsung oleh Prabowo dalam pertemuan di kediamannya, Jumat (28/6/2019) kemarin.
Menurut Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani, Prabowo menyerahkan kepada kebijakan masing-
masing partai apakah nantinya akan berada di jalur oposisi atau masuk ke dalam pemerintah.
"Selanjutnya pak Prabowo menyerahkan keputusan politik kepada pertimbangan partai
masing-masing," kata Muzani di Media Center Prabowo-Sandi, Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat, (28/6/2019).
Pembubaran koalisi dilakukan setelah MK menolak seluruh permohonan gugatan Prabowo-Sandi.
Dirangkum Tribunnews.com dari Kompas.com, Sabtu (29/6/2019), berikut perkembangan terkini pascabubarnya Koalisi Adil Makmur:
1. PKS Singgung Partai Kelamin Tak Jelas
Politikus PKS Mardani Ali Sera memberikan sinyal bahwa partainya akan memilih jadi oposisi dalam lima tahun pemerintahan ke depan.
"Secara etika, ketika Prabowo dan Koalisi Adil Makmur ditolak di MK, kami (PKS)
membangun kekuatan oposisi," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani dalam diskusi di bilangan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (28/6/2019).
"Saya menyebutnya oposisi konstruktif kritis ya. Sebab, di dalam terminologi kenegaraan kita tidak
ada sebenarnya yang namanya oposisi. Yang ada, kekuatan di legislatif mengontrol kekuasaan," lanjut dia.
Menurut Mardani, rakyat Indonesia saat ini membutuhkan partai politik yang "kelaminnya" jelas.
Bukan partai politik yang pragmatis dan berubah-ubah jalur perjuangannya dalam mendapatkan kekuasaan.
"Negeri ini butuh kejelasan 'kelamin' dari partai politik. PKS ini selalu berusaha menghadirkan
etika dan moral dalam ranah politik," ujar Mardani.
Namun bukan berarti partai politik yang tadinya oposisi kemudian menyatakan bergabung ke
pendukung pemerintah adalah buruk.
Selama kebijakan tersebut didasarkan pada kepentingan masyarakat, itu pun baik adanya.
"Mencintai negeri ini, di dalam ataupun di luar pemerintahan, juga sama-sama baik kok," ujar Mardani.
"Namun yang jelas, kami (PKS) menyatakan, oposisi adalah posisi yang mulia dan kami siap
berjuang. Kebijakan ini akan diputuskan juga di musyawarah Majelis Syuro," lanjut dia.
2. Gerindra Belum Putuskan Sikap
Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani menyatakan, partainya belum menentukan sikap
politik usai pembubaran koalisi parpol pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019.
Gerindra belum menentukan apakah akan tetap menjadi oposisi atau mendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin periode 2019-2024.
"Kami masih punya waktu cukup panjang sampai dengan pelantikan sehingga proses ini akan terus
berlangsung. Insya Allah perkembangan itu saudara-saudara (media) akan ikuti semua," ujar
Muzani saat ditemui di media center pasangan Prabowo-Sandiaga, Jalan Sriwijaya I, Jakarta Selatan, Jumat (28/6/2019).
Menurut Muzani, Partai Gerindra akan terus berkomunikasi dengan empat partai lainnya mesti secara resmi tak lagi berada dalam satu koalisi.
Keempat partai tersebut yakni PKS, PAN, Demokrat, dan Partai Berkarya.
Di sisi lain kelima sekjen parpol telah menyepakati pembentukan kaukus yang bertujuan sebagai wadah komunikasi politik secara informal.
Muzani mengatakan, melalui kaukus tersebut, partai yang pernah mendukung
pasangan Prabowo-Sandiaga dapat membahas langkah-langkah kerja sama di berbagai forum.
Ia mencontohkan misalnya kerja sama antarpartai politik di dalam parlemen.
"Yang pasti kami semua akan terus berkomunikasi dalam suasana kekeluargaan yang
terbentuk dengan baik dalam suasana keguyuban," kata Muzani.
"Kami rasanya akan saling berbicara apa yang akan kami rasakan baik Demokrat, PKS, PAN,
Berkarya dan tentu saja Gerindra akan kami bicarakan," ucapnya.
3. Pengamat Sebut PAN dan Demokrat Paling Berpeluang Bergabung ke Jokowi
Pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio berpendapat, dari
semua partai pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019, hanya P
Keadilan Sejahtera ( PKS) yang akan tetap menjadi oposisi pemerintah.
Pasalnya, pasca-pembubaran koalisi parpol pendukung Prabowo-Sandiaga, PAN dan
Demokrat disebut berpeluang besar bergabung ke koalisi pendukung pemerintah periode 2019-2024.
"Peluang PAN dan Demokrat (pindah koalisi) lebih besar daripada PKS," ujar Hendri saat ditemui di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (29/6/2019).
Menurut Hendri, elektabilitas PKS cenderung meningkat jika menjadi oposisi ketimbang bergabung dalam pemerintahan.
Pada Pemilu 2009, PKS mendapat perolehan suara sebanyak 8.206.955 suara atau 7,88 persen.
Saat itu, PKS mendukung pasangan capres-cawapres terpilih Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.
Pada Pemilu 2014, perolehan suara PKS turun menjadi 8.480.204 atau 6,79 persen.
Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, PKSm posisi sebagai oposisi pemerintah.
Suara PKS meningkat tajam pada Pileg 2019, yakni dengan perolehan 11.493.663 suara atau 8,21 persen.
"Sejarahnya PKS kalau ada di luar pemerintahan itu elektabilitasnya justru naik. Kalau dia di posisi oposisi elektabilitasnya pasti naik," kata Hendri.
"Feeling politik saya kemungkinan besar yang tidak masuk ke dalam koalisi pemerintahan justru hanya PKS," ujar dia.
Sementara itu, lanjut Hendri, Partai Gerindra memiliki peluang bergabung dengan pemerintah.
Namun hal itu tergantung dari keputusan Prabowo sebagai ketua umum.
Di sisi lain, tidak mudah bagi Partai Gerindra untuk menjadi oposisi terus menerus selama 15 tahun.
"Memang tergantung Pak Prabowo, tapi 15 tahun menjadi oposisi itu tidaklah mudah. Pasti ada kader kader ataupun simpatisan Gerindra yang 'dahaga' (kekuasaan)," ucap Hendri.
(Tribunnews.com/Daryono/Kompas.com/Kristian Erdianto)