Berita WIKI

Kisah si Hantu Timah, di Lokasi Ini Cadangan Mineral Melimpah, Begini Analisa Ilmiahnya  

Ismail (35), mengeluh. Cadangan pasir timah yang dulu memlipah di dusunnya, kini tinggal kenangan. Ia pun terpaksa menambang di kampung seberang...

(bangkapos.com/ferylaskari)
Tampak pekerja tambang beroperasi di lubang camui tambang pasir timah inkonvensional (TI) di Kabupaten Bangka. 

BANGKAPOS.COM , BANGKA -- Ismail (35), mengeluh. Cadangan pasir timah yang dulu melimpah di kampungnya, kini tinggal kenangan. Ia pun terpaksa menambang di kampung seberang, itu pun hasilnya tak seberapa. "Timah tak seperti dulu lagi, sudah habis di kampung kami. Kini kami menambang di kampung seberang, itu pun hasilnya tak seberapa, hanya tersisa di sekitar aliran sungai," keluhnya, Jumat (2011/2020).

Kisah penambang asal Kecamatan Riausilip Bangka ini, mengisyaratkan cadangan mineral yang dulu melimpah, kini susah didapatkan. "Padahal enam tahun silam, itu zaman kejayaan, saat itulah uang mudah didapatkan. Saya bisa beli mobil dan keperluan lain karena tambang timah memberikan hasil cukup banyak," kenangnya.

Tapi kini, Agus dan warga sesama rekan seprofesi, hanya menambang sekedar untuk bertahan hidup. "Harga timah pun tak seberapa, tapi ya cukuplah untuk bertahan hidup," kata Agus mengaku sulit menemukan lokasi mengandung timah di daerah ini.

Kisah serupa juga diutarakan oleh Aon (30), penambang timah di Pulau Bangka. Sudah hampir setahun pria bermata sipit ini vakum di dunia pertambangan karena tak memiliki lokasi ideal. Sudah beberapa tempat ia survei, dilakukan pengeboran untuk mengetahui cadangan timah, tapi hasilnya nihil. "Bingung mau menambang di mana," keluh pria yang berdomisili di Sungailiat Bangka, baru-baru ini, November 2020.

Sementara itu, sejumlah orang tua zaman dulu menyebutkan, timah hanya bisa ditemukan pada lokasi tertentu saja. Ada berbagai ciri lokasi bertimah menurut mereka, antara lain kondisi topografi lahan. Pada lahan dataran rendah, biasa disebut lelap atau rawa, biasanya memiliki cadangan timah yang melimpah.

Alasannya, cukup masuk akal, karena timah memiliki berat jenis yang lebih tinggi dibanding, benda lain seukurannya seperti pasir dan batu, sehingga pasir timah akan tergerus air dan terjebak pada daratan paling renda dalam tanah. "Orang tua zaman dulu  juga bilang, jika lahan ditumbuhi pohon bambu maka itu tandanya di dalam tanah sekitar lokasi itu mengandung banyak timah," kata Agus.

Kisah seputar timah, tak sesederhana itu. Penambangan rakyat yang terjadi di Pulau Bangka, juga tak lepas pada kisah mistis. Sejumlah penambang percaya, ada mahluk ghaib penguasa timah yang kadang disebut dalam istilah "Pri Timah". Kisah-kisah hantu penunggu lokasi timah pun marak terdengar. Cerita ini muncul bisanya saat pengeboran dilakukan terlihat sempel yang memuaskan, namun setelah ditambang tiba-tiba timah menghilang atau hasil tak sesuai harapan.

"Kondisi seperti inilah yang kemudian dipercaya oleh sejumlah penambang rakyat sebagai lokasi berhantu. Mereka yakin, penambangan gagal karena ada '"pri timah" atau hantu dan segala macam," tambah penambang lainnya di Sungailiat Bangka, walau itu sebenarnya sulit dibuktikan secara akal sehat. 

Tak hanya kisah ghaib seputar "pri timah atau hantu timah" namun di Pulau Bangka, masih beragam cerita mistis soal dunia pertambangan. Di Kecamatan Puding Besar Kabupaten Bangka, misalnya. Di daerah Puding, nyaris tersentuh penambangan timah karena sejumlah perkampungan di kecamatan ini hampir dipastikan tak mengandung cadangan timah karena suatu alasan yang diyakini sejumlah warga terkait mistis.

"Sebenarnya timah itu banyak di Kecamatan Puding Besar dan sekitarnya, namun kisah orang tua dulu, timah di daerah ini "Diasal" oleh para "Orang Pintar" zaman dulu agar Belanda atau pihak tertentu tak bisa merusak lingkungan di daerah ini," kata Liyas (35), Warga Desa Puding, pekan lalu, November 2020, seraya menyebut pengertian "Diasal" adalah istilah jampe-jampe  sang dukun kampung agar penambang tak bisa mengeksploitasi timah di daerahnya.

Terlepas benar atau tidak cerita itu, yang jelas secara ilmiah tentu memiliki kajian tersendiri, termasuk asal dan penyebaran timah di Pulau Bangka maupun Belitung. Seperti ulasan Santi Dwi Pratiwi, Ph.D Candidate  Petroleum & Resources Sciences Institute of Applied Earth Sciences Faculty of Engineering and Resource Science Akita University dalam tulisannya enam tahun silam di Bangkapos.com, edisi 2013.

Alumni SMA Negeri 1 Manggar yang ketika itu mendapat program beasiswa kuliah gratis di Trisakti, sewaktu Basuki alias Ahok jadi Bupati Beltim memberikan pemahaman seputar dunia tambang timah, termasuk sejarah terbentuknya dua pulau ini, Bangka dan Belitung, sesuai keilmuannya. Berikut kajian Dwi Pratiwi, sebagai acuan pembaca, khususnya para penambang timah.

"Mengapa kita harus mengetahui karakteristik deposit timah di Pulau Bangka dan Pulau Belitung?" kata Dwi Pratiwi ketika itu. Untuk menjawab pertanyaan ini, Dwi lebih dulu mengulas perbedaan mendasar antar dua pulau yang dimaksud. --Sebagian artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Inilah Penyebaran Deposit Timah di Bangka Belitung, https://bangka.tribunnews.com/2013/12/04/inilah-penyebaran-deposit-timah-di-bangka-belitung.

Perbedaan yang mendasar antara ke dua pulau ini menurut Dwi Pratiwi, sangat penting untuk diketahui, karena perbedaan ini menjadi pertimbangan eksplorasi atau penambangan di masa mendatang, untuk menentukan metoda penambangan dan ekstraksi uang benar, sehingga tidak mengorbankan lingkungan dan air tanah.

Hal penting yang melatar belakangi perbedaan pola penyebaran deposit timah antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung adalah geologi atau proses terbentuknya pulau ini yang berbeda. Kita harus mengetahui sejarah geologi terbentuknya suatu daerah, karena merupakan kunci untuk mengetahui bagaimana terbentuknya pulau ini, mineral apa saja yang ada, sampai dengan berapa besar deposit atau cadangan timah yang ada, dimana keterdapatannya sampai dengan bagaimana cara penambangan yang berbasis lingkungan.

Timah berasal dari batu granit yang terdapat mineral logam casiterit mengandung timah dan logam sampingan lainnya seperti kuarsa, pyrite, galena, mallacite, zircon, hematite (batu besi). Batu granit itu terbentuk karena adanya aktivitas magma dari proses vulkanik atau letusan gunung berapi yang bersifat asam. Sehingga kalau daerah yang terdapat timah, pyrite, zircon, hematite air di sekitarnya relative bersifat asam yang berbahaya untuk kesehatan gigi dan ginjal.

Dari geologi dapat kita lihat bahwa Pulau Bangka merupakan daerah dengan beberapa bukit yang umumnya tersusun oleh batu granit. Bumi ini berlapis lapis dari tua ke muda. Secara logika untuk mempelajari susunan batu paling mudahnya kembali kita membayangkan kue lapis.  Di mana lapisan paling bawah adalah berumur paling tua, sedangkan paling atas berumur paling muda.

Dari mana bisa tahu umur batuan ini ? Umur dari suatu daerah diketahui dari batuan yang terbentuk, batuan ini diketahui umurnya dari fosil yang dikandung dan dengan menggunakan radioaktif (metoda absolute dan metoda realtif).

Batuan tertuanya adalah batuan metamorf atau batuan ubahan yang berumur paleo-perm yaitu sekis, pillit dengan sisipan kuarsa dan batu gamping. Kemudian pada zaman trias terbentuk batuan beku diabas yang diterobos oleh magma yang bersifat granitic. Kemudian yang paling muda yaitu batu pasir, lempung dan lensa batu gamping.

Setelah itu kembali terjadi vulkanik dimana magma ini keluar kepermukaan menerobos semua batuan dari yang paling bawah. Jadi Pulau Bangka ini terjadi dua kali penerobosan magma atau proses vulkanik. Sehingga umur batuan granit di Bangka terbagi menjadi dua yaitu granit tua yang berumur trias dan granit muda yang berumur yura.

Granit muda inilah yang dianggap sebagai pembawa kasiterit yang ekonomis ( timah yang berlimpah) baik timah putih maupun timah hitam yang dikenal sebagai timah primer, timah banyak dijumpai dalam urat-urat kasiterit (Katili,1967 ;Sitanggang,  1974).  Pada  pliosen diendapkan  formasi  ranggam  yang terdiri  dari  perselingan  batupasir  dan batulempung. Sementara  pada  Zaman Kuarter  (kala  Holosen)  terbentuk  endapan alluvial.

Struktur  geologi  yang  berkembang  di Pulau  Bangka  terdiri  dari  sesar  naik, sesar  geser,  sesar  normal,  struktur lipatan,  kekar  dan  beberapa  kelurusan struktur  lainnya.  Struktur  lipatan umumnya  terbentuk  pada  fasa  batuan berumur.

Diketahui bahwa Pulau Bangka dan Belitung dikelilingi oleh laut dan dominasi presentase kawasannya adalah air permukaan. Pada Zaman Tersier dan Kuarter, Pulau Bangka berada pada ketinggian yang tinggi di atas muka air laut. Sehingga pelapukan dan erosi batuan disini berlangsung sangat intensif. 

Hal inilah yang sangat berperan dalam pembentukan cebakan timah sekunder yaitu cebakan disungai-sungai purba yang bukan saja kaya akan timah, tetapi juga tersebar di banyak tempat. Intensitas erosi atau pengikisan  air laut yang sangat tinggi terhadap batu granit di Bangka, menyebabkan kualitas timah di cebakan primer ini tidak lebih baik dari pada kualitas timah di cebakan sekunder atau sungai-sungai. Jumlah dari timah primer di Bangka sangat sedikit karena sudah dibawa/tertransportasi oleh air laut menuju sungai-sungai purba.

Cebakan timah di Bangka yang berbentuk urat-urat dan mengandung banyak turmalin dan topaz (grup kuarsa) yaitu Pemali, Sambunggiri, Tebrong. Bagaimana bentuk timah yang terbentuk diurat-urat kassiterit??  Relatif berukuran besar-besar dan berbutir.

Untuk daerah Pamali ini sendiri spesial dan tidak mengherankan kalau disana banyak terdapat cebakan timah primer dan sampai ditemukan timah yang ukurannya besar, berlembar dan berupa jejaring tipis, karena Pamali merupakan salah satu daerah yang terjadi mineralisasi primer dengan Tipe ‘Greissen dan Stockwork”

Deposit  timah  alluvial  dalam  adalah  deposit  timah  alluvial  yang  ditemukan  pada  kedalaman  lebih  40  meter  dari permukaan.  Pulau  Bangka  memiliki cukup  banyak  deposit  ini,  terutama  di daerah  – daerah  pesisir  atau  lepas pantai.  Hal  ini  diduga  terjadi  karena pada  Zaman  Kuarter  Pulau  Bangka berada  di  tepi  Cekungan  Belakang Sumatera  (South  Sumatera  Back  Arc Basin) dan  terbagi menjadi pulau-pulau kecil  yang  dibatasi  oleh  laut.

Berbeda dengan pulau Belitung yang terjadi adalah sebaliknya. Di Pulau Belitung, mineralisasi terjadi jauh dari badan granit. Pada Zaman Tersier dan Kuarter, Pulau Belitung  berada pada elevasi  rendah  dari elevasi muka air laut sehingga proses  pelapukan  dan erosi  oleh air laut ini tidak  terlalu  intensif, menyisakan  indikasi  kehadiran  cebakan  primer  di  banyak  tempat.

Sehingga pembentukan  cebakan  sekunder  (placer)  di sungai sungai Belitung   tidak seintensif  seperti di Pulau Bangka. Kenapa seperti itu? Karena proses pembentukan batuan di Pulau Belitung sangat berbeda dengan Pulau Bangka. Pulau Belitung merupakan pulau yang memiliki perbukitan dengan ketinggian antara 120 meter hingga 510 meter di atas permukaan laut dan hal penting yang harus masyarakat tahu bahwa Pulau Belitung ini perbukitannya dialiri oleh sungai-sungai  pola aliran dendritik. Pola aliran dendritik itu adalah pola aliran seperti jari dan banyak cabang-cabangnya. Hal inilah yang menyebabkan daerah kita banyak anak sungai dan didominasi oleh air.

Batuan tertua adalah Formasi Kelapa Kampit yang terdiri dari batupasir, batusabak dan batulumpur yang merupakan cebakan timah primer. Kemudian terbentuk formasi tajam yaitu batupasir kuarsa sisipan lanau dan terjadi proses pergerakan bumi yang kuat sehingga terlipat dan terbentuklah Gunung Tajam. Kedua formasi diatas berumur karbon-permian,yang kemudian terjadi proses magma dari dalam bumi membentuk formasi siantu. Tetapi magma ini bersifat basa bukan asam. 

Jadi yang terbentuk bukan batu granit, tetapi batu basalt dan breksi. Kemudian setelah Masa Mesozoikum terjadi lagi proses magmatisme yang membentuk Batu Granite Tanjungpandan, disusul oleh Ademelit Baginda yang tidak terjadi endapan timah sekunder. Baru pada zaman Kapur terbentuklah Garnodiorit Burungmandi dan diorite Kuarsa Batubesi yang mengandung banyak hematite/batubesi dan timah primer. Sejak akhir Kapur  sampai  Kuarter  berlangsung proses  denudasi  dan  erosi  serta menghasilkan  endapan  pasir karbonatan  dan  endapan  alluvium (Baharuddin dan Sidarto, 1995).

Sejak zaman ini terjadi erosi dan denudasi yang menghasilkan endapan pasir karbonatan dan endapan alluvium. Endapan inilah yang mengakibatkan didaerah Belitung lebih  banyak tedapat kaolin, batubesi, pasir kuarsa dibandingkan timah sekunder.

Deposit timah primer di Pulau Belitung banyak ditemukan di Kelapa Kampit, Tikus, Selumar, Burungmandi, Batubesi, Selumar, dll. Kebanyakan dari daerah ini cebakan timah primer berada dalam batuan yang keras. Jadi dari sejarah geologi inilah kita tahu bahwa Pulau Bangka dan Pulau Belitung itu berbeda penyebaran cebakan timahnya. Kalau Pulau Bangka, cebakan sekundernya di sungai-sungai purba, lebih ekonomis dan berlimpah dibandingkan di cebakan primer (tubuh batuan granite). Sedangkan Pulau Belitung cebakan primernya lebih ekonomis dan jumlahnya lebih banyak daripada cebakan sekunder.

Hal ini disebabkan adanya perbedaan  keadaan  paleogeografis kedua  pulau  pada  Zaman Tersier dan Kuarter. Dari sinilah semuanya menjadi modal dalam proses penambangan dengan menggunakan metoda yang benar, tidak asal tambang dan merusak lingkungan terutama khusus untuk penambangan di cebakan sekunder/bukan ditubuh batu granitnya. Menjadi jawaban untuk masyarakat bahwa timah itu bukan berhantu tetapi karena banyaknya sungai-sungai purba yang menyebabkan transportasi dan perpindahan timah sangat cepat. Karena itu kalau mau menambang di cebakan sekunder pikirkan keekonomisan, kelimpahan, pencemaran airnya dan kecelakaan yang mengakibatkan kematian karena longsor dan pergerakan tanah. (SUMBER BACAAN PROSIDING PIT 37 IKATAN AHLI GEOLOGI INNDONESIA, 2008).

Pada  zaman  Kuarter,  terdapat perbedaan  mencolok  pada  kondisi geografis  antara  Pulau  Bangka  dan Belitung. Perbedaan  ini  sangat berpengaruh  dalam  intensitas pelapukan, erosi, dan transportasi. Pada  Zaman  Kuarter  Pulau  Bangka diduga  tersusun  dari  sejumlah  daratan kecil yang  terpisah  satu  sama  lain dan dihubungkan  oleh  perairan  (SutedjoSujitno,  Personal  Communication,2008).

Hal  ini disimpulkan berdasarkan pola penyebaran rawa-rawa pada masa sekarang, interpolasi  dari  letak  sungai-sungai utama  sekarang dan penelitian mengenai  batas  pantai  tua  Pulau Sumatera  pada  Zaman  Kuarter.  Pada zaman  Kuarter  lebar  Pulau  Sumatera tidak seperti sekarang, melainkan  lebih sempit. 

Berdasarkan  bukti-bukti  dan penelitian  yang  telah  dilakukan,  pada masa  Kerajaan  Sriwijaya,  Kota Palembang terletak di pinggir pantai.  Pada masa  sekarang  kita  bisa melihat Kota  Palembang  berada  sekian kilometer  dari  pantai  barat  Pulau Sumatera.  Dapat  diperkirakan  adanya peristiwa penurunan muka air laut yang sangat  besar  dan  transport  sedimen yang  sangat  intensif. 

Jika  Sumatera saja  mengalami  hal  seperti  ini  pada masa  itu,  bagaimana  jika  kita bandingkan  dengan  Pulau  Bangka yang  jauh  lebih  kecil?  Besar kemungkinan  pada  masa  itu  Pulau Bangka  hanyalah  kumpulan  daratan-daratan  kecil  yang  menjulang  tinggi menyerupai  pegunungan  karena berlitologikan granit.

Kemudian laut-laut kecil  yang  menghubungkan  daratan-daratan ini menerima transport sedimen yang  berasal  dari  pelapukan  dan  erosi dari daratan-daratan  tersebut. Sebegitu intensifnya  pelapukan,  erosi,  dan transportasi  yang  terjadi  sampai-sampai  granit  berbutir  kasar  yang harusnya  berada  jauh  di  bawah permukaan  bumi  tersingkap  di permukaan pada  topografi cukup  tinggi sekarang.  

Dan  laut-laut  kecil  yang tadinya  menghubungkan  daratan-daratan,  berubah  menjadi  rawa-rawa dan  flood  plain.  Deposit  timah  primer yang  tadinya  berada  dekat  dengan granit,  mengalami  transportasi  ke tempat  yang  lebih  jauh,  berupa cebakan sekunder.  Letak  geografis  Pulau  Bangka  pada masa  itu  adalah  tepat  di  sebelah Cekungan  Busur  Belakang  Sumatera (Sumatera’s  Back  Arc  Basin).  

Pada masa  itu  Pulau  Bangka  ibarat  puncak gunung  yang  berada  tepat  di  sebelah cekungan  sedimentasi.  Proses pengikisan  yang  terjadi  sangatlah intensif, karena morfologi Pulau Bangka mendekati  gunung  jika  dibandingkan dengan  dengan  Cekungan  Busur Belakang  Sumatera. 

Faktor  iklim,  dan litologi  sangat  berperan  dalam intensitas  pelapukan  yang  terjadi, sedangkan  kemiringan  lereng,  dan gravitasi  berpengaruh  pada  erosi  dan transportasi  yang  terjadi.  Dapat diperkirakan  pada  waktu  itu  intensitas dan  transportasi di Pulau Bangka lebih  tinggi  daripada  Pulau  Belitung yang  terletak  di  sebelah  timur  Pulau Bangka, dan berjarak lebih jauh dengan cekungan belakang Sumatera.

Berbeda halnya dengan Pulau Belitung, di mana  pada  zaman  tersebut  pulau  ini kemungkinan besar telah terbentuk dan tidak  terpisah-pisah  seperti  Pulau Bangka.  Hal  ini  disimpulkan berdasarkan sedikitnya  daerah  rawa-rawa,  dan  pola  aliran  sungai  yang tersebar  hampir  merata  di  seluruh pulau.  

Pada  Zaman  Kuarter  peristiwa yang  terjadi  adalah  peneplainasi,  yaitu proses  terbentuknya  peneplain  yang sekarang  meliputi  tiga perempat  dari  luas keseluruhan  pulau  ini.  Di  masa  lalu, Pulau  Belitung  hampir  seluruhnya sudah  menyatu  dan  tidak  terpotong oleh  selat-selat,  sehingga  proses  erosi dan  transportasi  terjadi  tidak  seintensif seperti di Pulau Bangka.(*)

Sumber: bangkapos.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved