Breaking News

IRT Tewas Diterkam Buaya

Pesan Leluhur, Ini Pantangan saat Berada di Kolong Desa Ranggi, Jika Dibawa Mengundang Buaya

Ada beberapa pantangan yang tidak boleh dibawa saat berada disekitar, Kolong Desa Ranggi Asam, Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat.

Penulis: Antoni Ramli | Editor: nurhayati
Darwinsyah/BangkaPos
Ilustrasi buaya di Bangka Belitung 

* Serangan buaya pada 2017-2018

Sementara itu, Kades Desa Telak , Kecamatan Parittiga,  Faharudin, Minggu (17/1/2021) kepada bangkapos.com. menyebutkan, serangan buaya di kolong Desa Telak, tempat jasad Yati ditemukan dengan kondisi mengenaskan, juga bukan kali ini saja terjadi.

Sebelumnya, sekira 2017-2018 silam, buaya ganas juga pernah menyerang korban bernama Muldi yang saat itu juga sedang mandi di kolong Desa Telak.

* Serangan buaya pada November 2020

Selain itu, pada November 2020 lalu, buaya ganas juga pernah menyerang warga bernama Rozi

Rozi adalah seorang ustaz.

Ustaz Rozi tengah menjalani perawatan dan pemulihan di RS Provinsi Ir. Soekano Babel.

"Antara tahun 2017-2018 lalu juga terjadi penyerangan oleh buaya yang menimpa korban Muldi cuma korban selamat, terus di bulan november 2020 kemarin tu Ustaz Rozi,  sedang mandi disambar buaya juga . Sekarang lagi pemulihan di rumah sakit provinsi," ujar Faharudin

Buaya penyerang warga Selapan bernama Yati dan Ustaz Rozi diduga adalah buaya yag sama.

Buaya itu diduga telah menyeret Yati ke kolong berlainan kampung.

"Cuma kasus yang ini kan kejadian di tempat lain (Ranggi Asam Jebus-red),  cuma dibawa dan diseretnya ke kami (Kolong Telak Parittiga). Dalam artian kami curiga nanti buaya yang nerkam korban Muldi dan ustad Rozi itulah yang memangsa korban Yati ini, dia maen dan nyari mangsanya ke kolong Desa Ranggi Asam sana," ujarnya.

Yati Tewas Diterkam Buaya, Tubuhnya Ditemukan Tak Utuh

Evakuasi Jasat Yati, korban terkaman buaya di Jebus
Evakuasi Jasat Yati, korban terkaman buaya di Jebus (istimewa)

Tubuh Yati, korban yang tewas usai diterkam buaya dan diseret saat mandi di kolong Ranggi Asam, Desa Jebus, Kabupaten Bangka Barat, akhirnya ditemukan warga mengapung di kolong tersebut.

Sayangnya, saat ditemukan, tubuh wanita perantauan asal Selapan ini kondisinya sudah tidak utuh lagi.

Kades Desa Telak Faharudin, mengatakan saat ditemukan, sebagian organ tubuh Yati, seperti tangan dan kaki sudah tidak ada. Dugaan sementara, kedua organ tubuh Yati, tersebut telah di cabik dan dimakan sang reptil.

"Waktu diketemukan kondisinya sudah tidak utuh. Tinggal badan dan kepala saja. Tangan dan kakinya sudah tidak ada," ungkap Faharundin, Minggu (17/1/2021) sore.

Yati, merupakan pendatang asal Selapan, yang diketahui baru beberapa hari tinggal di wilayah Parittiga.

Usai di evakuasi, pihak keluarga membawa jasad Yati ke Kampung halaman Selapan, Palembang untuk dimakamkan.

"Setelah di evakuasi ke darat tadi, jasadnya langsung di jemput pihak keluarga untuk di bawa ke tempat asal Selapan," pungkasnya.

Sebelumnya, Yati, pendatang asal Selapan, yang sempat dikabarkan hilang, Sabtu (16/1/2021) usai diterkam dan diseret buaya saat mandi di kolong desa Ranggi Asam, Kecamatan Jebus, Kabupaten Bangka Barat, akhirnya ditemukan.

Jasad Yanti, ditemukan warga sekitra dalam keadaan sudah tak bernyawa mengapung di Kolong Desa Telak, Kecamatan Parittiga, Kabupaten Bangka Barat,Minggu (17/1/2021) pagi tadi.

Kepala Desa Telak Faharudin, mengatakan jasad Yati ditemukan sekitar pukul 09.00 WIB tadi pagi dalam kondisi mengapung dan sudah tidak bernyawa.

"Korban ditemukan warga yang mau pergi ke sawit sekitar jam sembilan pagi tadi dalam kondisi sudah meninggal dunia. Hilangnya Sabtu sekitar jam delapan pagi kemarin," kata Faharudin kepada Bangkapos.com, Minggu (17/1/2021)

Menurut Faharudin, Yati hilang dan diterkam buaya saat mandi di kolong desa Ranggi Asam. Saat kejadian, Yati diketahui seorang diri.

Namun, sang anak sempat melihat sang reptil buas tersebut, menyeret Yati ke dasar kolong.

"Hilangnya waktu mandi di kolong Desa Ranggi, cuma mungkin diseret dan ketemunya di kolong Telak. Waktu turun mandi sendiri, cuma anaknya melihat saat di terkam buaya," bebernya.

Buaya Ganas Bawa Jasad Yati Keliling Kolong

Tak hanya memangsa dan mencabik cabik organ tubuh Yati saja, bak memberi isyarat, buaya pemangsa tersebut hampir dua jam membawa jasad Yati keliling kolong,  Desa Telak, Kecamatan Parittiga, Kabupaten Bangka Barat, Minggu (17/1/2021)

Kades Desa Telak , Kecamatan Parittiga,  Faharudin, mengatakan mulanya, secara kasat mata sang reptil dikira tengah memangsa dan menyeret seekor burung.

Namun setelah ditelaah lebih dekat,  rupanya yang diseret tersebut tubuh Yati,  yang sempat dikabarkan hilang saat mandi di kolong Desa Ranggi Asam, Kecamatan Jebus, Sabtu (16/1/2021) pagi kemarin.

"Kolongnya cukup besar, pertama kali buaya itu kayak memberi isyarat kalau yang dibawa dia itu tubuh manusia korban tadi. Awalnya dikira burung, ternyata manusia.  Habis itu diseret keliling kolong sekitar dua jamanlah," kata Faharudin,  Minggu (17/1/2021) sore tadi.

Menurut Faharudin, mulanya sang reptil enggan melepas jasad Yati.  Namun, beberapa kapal boat Wwarga Desa Ranggi, yang mencari keberadaan Yati, membuat sang reptil terkejut lalu membiarkan tubuh Yati mengapung begitu saja.

"Terakhir ada boat kawan kawan dari Desa Ranggi, setelah itu baru jasadnya bisa diambil.  Kalau tidak ada boat itu mungkin tidak akan dilepas oleh buaya itu,"  tegasnya.-- Baca edisi sebelumnya Kisah Yati Diterkam Buaya di Bangka Barat.

Buaya Ini Bersarang di Kolong Telak

Ilustrasi buaya.
Ilustrasi buaya. (Foto Tribun Solo)

Ternyata di daerah ini merupakan sarang buaya ganas. Bukan hanya satu warga yang jadi korbannya. Dalam waktu beberapa tahun terakhir sejumlah warga diserang sang predator.

Kejadian terkini, buaya menyerang Yati, perempuan asal Selapan Sumsel, saat korban mandi di Kolong Desa Ranggi Asam Jebus Bangka Barat, Sabtu (16/1/2021) kemarin.

Namun jenazah korban ditemukan di tempat lain, yaitu di Kolong Desa Telak Jebus Bangka Barat, keesokan harinya, Minggu (17/1/2021).

Diduga setelah menerkam korban, buaya kemudian menyeret jasad korban dari Kolong Ranggi ke Kolong Telak.

Sementara itu berdasarkan data yang berhasil dihimpun Bangkapos.com, menyebutkan, antara Tahun 2017-2018 silam, kawanan reptil buas tersebut juga pernah menyerang korban bernama Muldi, yang saat itu juga sedang mandi di kolong serupa.

November 2020 lalu, kawanan reptil buas tersebut juga kembali menyerang warga lain, yaitu Ustad Rozi. Bahkan saat ni Ustad Rozi masih menjalani perawatan dan pemulihan di Rumah Sakit Provinsi Bangka Belitung (Babel).

"Antara Tahun 2017-2018 lalu juga terjadi penyerangan oleh buaya yang menimpa korban Muldi, cuma korban selamat. Terus di Bulan November 2020 kemarin, korbannya Ustad Rozi, ketika itu sedang mandi disambar juga.
Sekarang lagi pemulihan di Rumah Sakit Provinsi (Babel)," kata Kades Desa Telak , Kecamatan Parittiga,  Faharudin, Minggu (17/1/2021)

"Cuma kasus yang ini kan kejadian di tempat lain (korban disambar di Kolong Ranggi Asam Jebus -red),  cuma jasad korban diseret hingga ke kami (Kolong Desa Telak Parittiga)," kata Fahrudin.

"Dalam artian, kami curiga, nanti (jangan-jangan -red) buaya yang nerkam korban Muldi dan ustad Rozi itulah yang memangsa korban Yati ini, dia main dan nyari mangsanya ke Kolong Desa Ranggi Asam sana," tambah Fahrudin.

Rusaknya DAS 

Saat pihak Alobi Bangka Belitung bersama BKSDA Resort Babel dan Satgas Pramuka melakukan evakuasi buaya di Sungai Upang, Tanah Bawah, Puding Besar, Bangka (Ist/Alobi Babel)
Ketua Yayasan Konservasi Pusat Penyelamatan Satwa Alobi Foundation Bangka Belitung, Langka Sani mengatakan kerusakan daerah aliran sungai (DAS) atau kerusakan habitat hidup buaya menjadi faktor utama konflik antar manusia dan buaya.

"Di Kepulauan Bangka Belitung kita ketahui sendiri bahwa sangat sulit sekali menemukan daerah aliran sungai (DAS) yang belum terjamah oleh aktivitas pertambangan ilegal," ungkapLangka, Senin (17/1/2021).

Padahal, diakuinya juga hampir seluruh konflik buaya dan manusia terjadi rata-rata ada tambang yang sedang aktif maupun bekas tambang timah.

"Akibat pertambangan ini, daerah aliran sungai kita menjadi rusak, tercemar dan keruh. Selain menganggu kehidupan buaya, dan juga menghilangkan makhluk yang hidup di sungai termasuk makanan alami buaya. DAS tercemar ini akibat pertambangan ilegal ini berdampak signifikan dengan lingkungan, ekosistem dan konflik buaya," kata Langka.

Kerusakan habitat buaya ini menyebabkan juga, buaya keluar dari tempat hidupnya, merangkak ke area pemukiman warga.

Beberapa waktu lalu, buaya betina bahkan pernah bertelur di area TPI Ketapang dan langsung diselamatkan oleh PPS Alobi Bangka Belitung.

"Jadi kemarin itu, kita ada serahan buaya betina dengan telurnya. Kebetulan buaya betina itu bertelur tidak jauh dari jalan raya. Jadi ditangkap masyarakat karena menganggu. Yang pasti ini tidak wajar lagi, karena habitatnya terganggu mau tidak mau mereka bertelur di luar habitatnya," jelas Langka.

Keberadaan buaya yang tak berada dihabitat ini juga bisa terjadi karena penyebaran buaya dikarenakan aliran sungai yang tak tentu arah.

"Misalnya ada banjir, apalagi di musim saat ini, jadi anak buaya yang panjangnya 17-18 cm bisa kebawa arus kapan pun, intinya karena kehancuran habitat. Ditakutkan itu jadi boom waktu, kalau tidak diselesaikan permasalahaan ini," kata Langka.

PPS Alobi Babel saat ini terdata sedang merehabilitasi sekitar 32 ekor buaya dengan biaya makan kisaran ratusan ribu per hari.

Kuota buaya yang dapat ditampung hanya 35 ekor, bila sudah melebihi kapasitas ini masih diupaya solusinya.

"Bila penuh, yang jelas belum ada solusi untuk ke depan ini, jadi PR. Karena kasus demi kasus konflik dengan buaya ini, kita dari Alobi dan BKSDA berharap semua pihak khususnya pemerintah untuk mencari solusi bersama menyelesaikannya," harap Langka.

Tumpang Tindih

Ilustrasi:Detik-detik bocah berumur 12 tahun bernama Andi Amin selamat dari amukan buaya berukuran 2,5 meter diceritakan paman korban.
Ilustrasi:Detik-detik bocah berumur 12 tahun bernama Andi Amin selamat dari amukan buaya berukuran 2,5 meter diceritakan paman korban. (Gambar oleh TeeFarm dari Pixabay)

Konflik buaya dan manusia terus terjadi saat ini di tempat-tempat yang dekat dengan aktivitas warga.

Seperti tewasnya warga yang diterkam buaya saat mandi di Kolong Ranggi Asam dan potongan jasadnya diseret ke Kolong Telak, Kabupaten Bangka Barat.

Dua kolong bekas penambangan timah itu berdekatan dengan kebun sawit dan sudah beberapa warga menjadi korban serangan buaya.

Mengenai kasus tersebut, Kepala Resort Bangka, BKSDA Sumsel, Septian Wiguna, mengatakan, lokasi tempat kejadian merupakan aliran sungai yang telah tergerus oleh aktivitas pertambangan timah.

"Ya betul Tim Satgas Penanganan Konflik Babel telah menerima informasi tersebut kemarin sore dari mitra kami Alobi. Bila melihat kondisi sekitar Desa Telak dari Satelit, dapat terlihat aliran sungai-nya telah tergerus oleh aktivitas pertambangan timah,"jelas Septian kepada Bangkapos.com, Senin (18/1/2021).

Ia menambahkan, ini menjadi salah satu indikasi kuat bahwa adanya fragmentasi habitat buaya.

"Sehingga menimbulkan tumpang tindih ruang aktivitas manusia dengan buaya dan juga semakin sedikitnya pakan alamiah buaya, berdasarkan kondisi tutupan lahan indikasinya mengarah kesana," ungkap Septian.

Disinggung, apakah buaya tidak ada lagi habitatnya sehingga menyerang manusia. Ia mengatakan lebih kepada fragmentasi habitat, habitat buaya terpotong dengan adanya aktivitas manusia.

"Lebih tepat adanya fragmentasi habitat, dimana habitat buaya terpotong oleh adanya aktivitas-aktivitas disana, salah satunya pertambangan timah. Habitat asli buaya kan di sungai, apabila keberadaannya di Kolong eks tambang, itu sudah mengarah pada ciri-ciri fragmentasi habitat," terangnya.

Ia menambahkan, untuk upaya konservasi pihak BKSDA saat ini masih kesulitan dalam melakukannya.

"Terus terang saat ini kami kesulitan untuk melakukan upaya konservasi. Idealnya adalah ada satu lokasi sebagai zona hidup buaya yang dialokasikan khusus dan jauh dari jangkauan/aktivitas manusia. Namun di Bangka Belitung ini rata-rata sungai yang ada merupakan wilayah hidup masyarakat juga. Itu yang menjadi kesulitan kami," lanjutnya.

Dia juga mengajak semua pihak untuk duduk bersama memikirkan solusi, BKSDA dan Alobi tidak  dapat bergerak sendiri. Perlu ada dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah daerah dalam penanganan konflik buaya ini. 

"Merencanakan ulang tata ruang sehingga aman bagi manusia dan aman bagi keberlangsungan hidup buaya," kata Septian.

Kemudian, terkait DAS, hutan dan aktivitas tambang sekitar yang rusak, Septian mengatakan pihak BKSDA tidak berwenang untuk menyampaikannya. 

"Itu ada pengelola pada masing-masing bidangnya," ujarnya.

Selanjutnya, untuk data pemetaan wilayah konservasi buaya di Babel, pada 2019 BKSDA telah memetakan habitat buaya berdasarkan histori kasus. 

"Lokus kajian di tiga kabupaten yakni Bangka Selatan, Bangka Tengah, dan Bangka teridentifikasi total 22 kantong habitat buaya dengan rincian Bangka Selatan 6 kantong habitat, Bangka Tengah 7 kantong habitat, dan Bangka 9 Kantong Habitat," jelas Septian.

( Bangkapos.com/ Anthoni Ramli / Cici Nasya Nita/ Dedy Qurniawan )

Sumber: bangkapos.com
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved