Tribunners
Mengenal Audism dan Ableism
Padahal tidak semua penyandang tunarungu wicara dapat dilatih berbicara. Hal tersebut berdasarkan beberapa faktor

MEMPERINGATI Hari Disabilitas Internasional, 3 Desember lalu, Kementerian Sosial Republik Indonesia mengadakan acara yang menghadirkan para penyandang disabilitas. Sesuai dengan tujuan dari peringatan Hari Disabilitas Internasional adalah untuk mengampanyekan isu-isu terkait disabilitas sehingga memunculkan kesadaran dan dan meningkatkan kepedulian terhadap penyandang disabilitas.
Sayangnya, pada peringatan tahun 2021 ini, diwarnai berita kontroversi di mana Menteri Sosial, Tri Rismaharini, menuai kritik lantaran memaksa seorang tunarungu wicara untuk berbicara.
Padahal tidak semua penyandang tunarungu wicara dapat dilatih berbicara. Hal tersebut berdasarkan beberapa faktor, di antaranya derajat pendengaran, alat bantu dengar yang digunakan, terapi wicara yang diikuti, pendidikan luar biasa yang belum humanis.
Aktivis peduli penyandang disabilitas pun mengampanyekan tentang sikap audism dan ableism. Menurut Tom Humphries, 1975, audism adalah bentuk pemikiran seseorang yang menganggap orang yang dapat mendengar lebih superior dibanding orang tuli.
Contoh-contoh sikap audism yang dapat dilihat antara lain, tuli tidak mampu mencapai level orang yang mampu mendengar, seperti tingkat intelektual, kemampuan finansial, komunikasi, menyetir mobil, pendidikan, dan pekerjaan tertentu seperti menjadi guru, pilot, pengacara, dokter dan lain-lain.
Selain itu, memiliki anggapan bahwa bahasa isyarat membuat orang malas berbicara, tidak bisa berbaur dengan orang dengar, tidak pakai alat bantu dengar sehingga tidak bisa sukses, semua orang tuli harus dipaksa latihan berbicara supaya pintar dan sukses adalah contoh lain dari sikap audism. Pelakunya sendiri disebut sebagai audist.
Sedangkan ableism adalah istilah untuk fenomena sosial yang menggambarkan sikap diskriminatif dan kekeliruan cara pandang serta prasangka seseorang terhadap seorang penyandang disabilitas. Sikap ableism juga menitikberatkan perlakuan tidak setara terhadap individu hanya karena disabilitas yang disandangnya. Pelakunya disebut ableist.
Indonesia mungkin tidak separah Amerika yang memiliki sejarah kelam hukum "The Ugly Law", yaitu hukum yang berlaku pada pertengahan tahun 1700 hingga 1970 di mana melarang siapapun yang berpenyakit, lumpuh, atau cacat dalam bentuk apapun sampai dinilai tidak enak dipandang menjadi ilegal dan dilarang untuk menampilkan dirinya kepada publik. Namun, stigma yang masih beredar di masyarakat Indonesia pun sama menyedihkannya.
Tokoh-tokoh film atau peran tertentu yang masih dianggap lelucon karena menjadi disabilitas mental, cemoohan "autis" yang digunakan dan dilemparkan sembarangan sebagai hinaan, menirukan gerakan penyandang disabilitas yang masih ditertawakan. Hal-hal tersebut menjadi kenyataan bahwa sikap-sikap kita masih menganggap disabilitas sebagai hal yang pantas ditertawakan.
Sikap ableism dan stigma-stigma ini secara langsung dan tidak langsung memiliki pengaruh terhadap kondisi psikis penyandang disabilitas yang dapat menggerus kepercayaan diri, mematahkan semangat bahkan mengubur kemampuan yang mereka miliki.
Telah banyak upaya hukum yang diperjuangkan untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas, namun kenyataannya pelaksanaannya masih banyak mengalami hambatan. Contoh kecilnya saja adalah fasilitas umum yang masih belum ramah disabilitas.
Padahal, menjadi disabilitas bukanlah pilihan mereka. Kita pun, suatu waktu bisa saja menjadi penyandang disabilitas. Karena disabilitas bisa diperoleh dari berbagai faktor dan penyebab. Jadi, apakah kita masih termasuk audist dan ableist? (*)