Militer dan Kepolisian

Bisa Jadi Pembuka Perang Dunia III, Inilah Senjata Cuci Otak China yang Paling Berbahaya Saat Ini

Tiongkok disebut-sebut tengah mengembangkan sebuah senjata yang dianggap bisa menjadi pemicu terjadinya

Editor: Iwan Satriawan
Sky News
Militer China saat melakukan latihan militer. 

BANGKAPOS.COM-Negeri China membali menjadi sorotan dunia internasional.

Kali ini berkaitan dengan perkembangan persenjataan yang dilakukan oleh China.

Tiongkok disebut-sebut tengah mengembangkan sebuah senjata yang dianggap bisa menjadi pemicu terjadinya perang dunia III.

Sudah bukan rahasia lagi, China saat ini dianggap sebagai salah satu negara yang menduduki peringkat atas mengenai persenjataan militer.

Kemajuan militer China memang cukup mengejutkan dunia internasional dalam beberapa dekade terakhir.

Tak sampai di situ saja, kini China dalam tahap pengembangan senjata yang cukup menggemparkan.

Negeri Tirai Bambu dilaporkan tengah mengembangkan 'senjata pengendali otak' yang bisa melumpuhkan musuh dan bahkan mengendalikan mereka.

Ilustrasi militer China
Ilustrasi militer China (Tangkapan layar National Interest)

Melansir dari Washington Times via sosok id, China saat ini sedang mengembangkan serangkaian senjata pengendali pikiran yang termasuk dalam 'bioteknologi.'

Bahkan apa yang tengah dikembangkan oleh peneliti militer China ini disebut menjadi salah satu senjata kunci.

Hal itu berkaitan dengan anggapan bahwa China tengah melakukan penelitian mengenai senjata pengendali otak.

Gegara hal tersebut Amerika Serikat (AS) pun kembali menyoroti apa yang dilakukan oleh China saat ini.

Bahkan Minggu lalu, Departemen Perdagangan AS mem-blacklist 12 institusi dan firma China karena terlibat dalam perkembangan teknologi berbahaya ini.

Ada beberapa institusi yang diblokir oleh AS, salah satu adalah Beijing's Academy of Military Medical Sciences.

Sementara pemerintah tidak membeberkan rincian apapun mengenai persenjataan yang dimaksud sebagai senjata pengendali otak tersebut.

Namun dokumen militer tahun 2019 dilihat oleh Washington Times membeberkan rincian menakjubkan.

Berlawanan dengan senjata-senjata tradisional yang menyerang tubuh musuh menyebabkan luka fisik.

Ternyata senjata pengendali pikiran buatan China bisa digunakan untuk "melumpuhkan dan mengendalikan musuh".

Hal itu memanfaatkan dengan apa yang dimaksud sebagai "menyerang keinginan melawan musuh."

Setelah di-blacklist, perusahaan-perusahaan AS tidak bisa mengirimkan barang-barang ke institusi China tanpa sebuah lisensi.

Pemerintah AS baru-baru ini membunyikan alarm bahaya, mengatakan China mencoba mendapatkan teknologi AS untuk mengendalikan sektor-sektor kunci seperti bioteknologi.

Sebuah sumber yang baru-baru ini diwawancara oleh Financial Times mengatakan jika Partai Komunis China berupaya mengembangkan teknologi di area "mengubah gen manusia, kemampuan perilaku manusia dan mesin otak."

Ancaman terbesar dari senjata ini adalah orang-orang China sendiri, terutama umat Muslim yang mereka tahan di kamp konsentrasi seperti Nazi di wilayah Uighur China dan tempat tahanan lain di negara itu.

Tiga puluh tahun terakhir ini, kemampuan militer China telah meningkat dengan sangat menakjubkan, banyak yang takut jika Tentara Pembebasan Rakyat bisa mencapai tingkat yang sama dengan militer AS di tahun-tahun ke depan.

Australia-Jepang Jalin Perjanjian Pertahanan Keamanan untuk Hadapi China

Australia dan Jepang bakal menandatangani perjanjian pertahanan dan keamanan dalam pertemuan virtual.

Melansir ABC News via kompas.com, Kamis (6/1/2022), kesepakatan tersebut merupakan langkah terbaru untuk memperkuat hubungan di tengah meningkatnya pengaruh militer dan ekonomi China di kawasan Indo-Pasifik.

Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan, dia dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida akan menandatangani perjanjian bernama Perjanjian Akses Timbal Balik (RAA) tersebut.

RAA akan menjadi perjanjian yang untuk pertama kalinya menetapkan kerangka kerja bagi pasukan Australia dan Jepang untuk bekerja sama satu sama lain.

"(RAA) akan mengantarkan babak baru dalam kerja sama pertahanan lanjutan antara Australia dan Jepang untuk menghadapi lingkungan baru dan bahkan lebih menantang, khususnya di Indo-Pasifik," kata Morrison dalam konferensi pers.

Morrison menambahkan, RAA akan menjadi satu-satunya status perjanjian kekuatan timbal balik Jepang.

"Dan itu merupakan sesuatu yang sangat signifikan mengenai tingkat kepercayaan dan kemitraan membela keamanan Indo-Pasifik, dan nilai-nilai demokrasi yang kita junjung tinggi, dan kemitraan yang kita miliki dengan begitu banyak negara di kawasan ini, khususnya di seluruh ASEAN," imbuh Morrison.

Sebelumnya, Morrison dan mantan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga sudah mengumumkan "prinsip" mengenai RAA pada 2020.

Hubungan pertahanan dan keamanan terbaru antara Australia dan Jepang itu bakal mempererat kelompok Quad.

Quad merupakan kelompok yang terdiri dari empat negara yakni AS, Jepang, India, dan Australia.

RAA juga akan memperluas upaya Quad dalam mengatasi kekhawatiran bersama tentang China, termasuk tekanannya terhadap Taiwan, sengketa perdagangan, dan kebebasan navigasi di kawasan itu.

Di sisi lain, China menanggapi perjanjian tersebut dengan mengatakan bahwa perjanjian bilateral harus mempromosikan kepercayaan regional, perdamaian, dan stabilitas.

"Itu tidak boleh menargetkan atau merugikan kepentingan pihak mana pun," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin ketika ditanya tentang RAA dalam jumpa pers harian pada Rabu.

"Samudera Pasifik cukup besar untuk pembangunan bersama negara-negara di kawasan. Sepanjang garis yang sama, perdamaian dan stabilitas di Pasifik bergantung pada upaya bersama negara-negara di kawasan," tutur Wang.

"Kami berharap Pasifik akan menjadi lautan damai, bukan tempat untuk membuat gelombang," sindir Wang.

Australia dan Jepang juga berencana membahas peluang memperkuat kemitraan pemerintah dan bisnis di bidang energi bersih, teknologi, dan material penting.

"Kerja sama kami juga mencakup agenda yang diperluas untuk Quad dengan India dan AS, dan pendekatan berbasis teknologi bersama kami untuk mengurangi emisi karbon," kata Morrison sebelumnya.

Juru Bicara Pemerintah Jepang Hirokazu Matsuno mengatakan tantangan bersama akan dibahas secara gamblang dalam pertemuan tingkat tinggi yang akan berlangsung pada Kamis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved