Militer dan Kepolisian
Permohonan Perpanjangan Batas Usia Pensiun TNI Kandas di MK, Ini Alasannya
terdapat empat hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda, yakni Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams
BANGKAPOS.COM-Gugatan terhadap aturan batas usia pensiun TNI kandas di Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan gugatan tersebut.
Gugatan tersebut sebelumnya dilayangkan oleh pensiunan TNI, Euis Kurniasih serta lima pemohon lainnya agar batas usia pensiun prajurit perwira paling tinggi 58 tahun serta bintara dan tamtama 53 tahun disamakan dengan ketentuan usia pensiun anggota Polri.
Para pemohon mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Para pemohon menginginkan supaya batas usia pensiun prajurit perwira paling tinggi 58 tahun dan bintara-tamtama 53 tahun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI disamakan dengan ketentuan usia pensiun anggota Polri.
Adapun anggota Polri pensiun pada usia 58 tahun.
Namun, polisi yang mempunyai keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dapat dipertahankan sampai dengan usia 60 tahun.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya “ kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman ketika membacakan amar putusan, Selasa (29/3/2022) seperti dikutip dari kompas.com.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan bahwa pemohon II Jerry Indrawan, pemohon III Hardiansyah, pemohon IV Ismail Irwan Marzuki dan pemohon V Bayu Widiyanto tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Selain itu, pokok permohonan para pemohon juga dianggap tidak beralasan.
Namun dalam putusan Mahkamah, terdapat empat hakim konstitusi menyatakan dissenting opinion atau pendapat berbeda, yakni Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih.
Enny mengatakan bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon agar batas usia pensiun bintara dan tamtama disamakan dengan batas usia pensiunan anggota kepolisian dikabulkan.
“Berkenaan dengan batasan usia pensiun bintara dan tamtama disamakan dengan usia pensiun pada anggota kepolisian merupakan hal yang seharusnya dikabulkan oleh Mahkamah karena beralasan menurut hukum,” kata Enny ketika membacakan putusan sidang, Selasa (29/3/2022).
Selain karena faktor beralasan menurut hukum, Enny mengatakan bahwa permohonan tersebut seharusnya dikabulkan Mahkamah lantaran adanya ketidakjelasan waktu penyelesaian RUU Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Selain itu, Enny menilai, frasa usia pensiun paling tinggi 53 tahun bagi bintara dan tamtama dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU Nomor 34 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memiliki kekuatan mengikat.
Sementara, untuk batas usia pensiun perwira tinggi 58 tahun, Enny mengatakan bahwa frasa tersebut hanya berlaku bagi perwira yang pada saat aturan itu dibuat belum dinyatakan pensiun.
“Berkenaan dengan dalil pemohon yang menyatakan frasa dalam norma Pasal 53 yang menyatakan prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira, serta frasa dalam norma pasal 71 huruf a UU TNI yang menyatakan usia pensiun paling tinggi 58 tahun bagi perwira hanya berlaku bagi prajurit TNI yang pada tanggal undang-undang ini diundangkan belum dinyatakan pensiun dari dinas TNI,” imbuh dia.
Fenomena Non Job
Sebelumnya, erkaitan dengan gugatan terhadap aturan batas usia pensiun TNI ini, pengamat Militer, Anton Aliabbas mengungkapkan, ada sejumlah implikasi yang akan terjadi di institusi TNI apabila gugatan MK yang diajukan Euis Kurniasih dkk dikabulkan.
"Sebagai garda terdepan dalam pengelolaan pertahanan negara, personel militer dituntut memiliki tingkat kebugaran dan kesehatan tertentu guna optimal menjalankan tugas. Konsekuensinya, usia prajurit aktif mau tidak mau harus dibatasi," ujar Anton, Kamis (10/2/2022).
Menurut Anton, penambahan usia pensiun TNI juga akan membuat karir prajurit yang lebih muda terkendala.
Untuk itu pembatasan usia pensiun TNI penting dilakukan guna menjamin kesempatan promosi bagi prajurit-prajurit berusia lebih muda untuk meniti karir militer.
"Dengan menambah usia pensiun maka pengelolaan karir prajurit akan semakin kompleks akibat adanya pelambatan laju pensiun," jelas Anton.
Tak hanya itu, penambahan usia pensiun TNI pun membuka kemungkinan fenomena non-job semakin meluas ke berbagai jenjang kepangkatan.
Fenomena non-job ini seringkali terjadi lantaran pos jabatan tidak sebanding dengan banyaknya jumlah personel TNI, termasuk perwira menengah dan perwira tinggi.
Maka jika usia pensiun bertambah, kata Anton, imbasnya perwira non-job semakin lebih banyak.
"Dampak utama bagi organisasi TNI apabila gugatan ini dikabulkan adalah meluasnya bottleneck dalam pengelolaan karir prajurit TNI.
Penambahan usia pensiun akan dapat memperparah fenomena prajurit non-job dalam institusi militer," jelasnya.
Anton kemudian menyinggung mengenai penambahan usia pensiun TNI yang terjadi lewat UU TNI saat ini.
Sebab dalam UU No 2 tahun 1988 tentang ABRI, usia pensiun personel TNI lebih pendek dari aturan yang berlaku pada UU 34/2004.
Sebelum adanya revisi UU TNI, prajurit dapat dipensiunkan apabila sudah menjalani masa dinas keprajuritan selama 20 tahun.
Di dalam UU 2/1988, prajurit dapat dipertahankan untuk tetap berdinas sampai usia 55 tahun bagi perwira.
Sementara untuk bintara dan tamtama, hanya sampai usia 48 tahun.
Namun UU tersebut juga mengatur untuk memperbolehkan memperpanjang masa dinas prajurit ABRI hingga usia 55 tahun bagi pangkat pembantu letnan hingga kopral, apabila memiliki keahlian tertentu dan dibutuhkan oleh institusi ABRI.
Sementara bagi prajurit ABRI berpangkat kolonel ke atas yang memiliki keahlian tertentu dan dibutuhkan, serta menduduki jabatan keprajuritan tertentu, dapat pensiun hingga usia 60 tahun.
"Fenomena penumpukan perwira di kepangkatan tertentu sebenarnya merupakan efek dari perpanjangan usia pensiun seperti yang dituangkan dalam UU TNI.
Dan dampak tersebut baru terasa setelah 5 tahun pemberlakuan UU TNI," terang Anton.
Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) ini mengungkap data yang diperolehnya.
Hingga tahun 2008, ungkap Anton, sebenarnya masih terjadi defisit jumlah perwira untuk memenuhi pos jabatan bagi personel TNI.
"Defisit jumlah perwira untuk memenuhi jabatan pada kepangkatan tersebut hingga mencapai 156 pos.
Artinya, ada 156 pos jabatan yang sebenarnya masih kekurangan personel," urainya. Namun setelah 5 tahun UU 34/2004 diundangkan, dampaknya mulai terasa.
TNI mengalami kelebihan personel sehingga banyak yang akhirnya non-job atau tidak memiliki jabatan. "Pada tahun 2009, fenomena surplus mulai terjadi dengan adanya 211 perwira dengan kepangkatan kolonel dan perwira tinggi tidak mempunyai jabatan. Dan pada tahun 2018, angka surplus mencapai 1.183 orang," sebut Anton.
Untuk menyiasati hal tersebut, Mabes TNI sebenarnya sudah menyiapkan sejumlah inisiatif seperti menambah Masa Dalam Pangkat (MDP).
TNI juga melakukan reorganisasi dengan pemekaran struktur di lingkungan TNI sehingga memperbanyak jumlah jabatan.
"Hal tersebut tetap tidak mengakhiri fenomena non-job. Sebab, laju promosi dan laju pensiun tidak disertai intervensi kebijakan yang kuat dan konsisten," tegasnya.
Oleh karena itu, Anton menilai penambahan usia pensiun TNI bukanlah jawaban untuk pengelolaan karir prajurit TNI ke depan. Apalagi sampai batas usia 60 tahun.
"Frasa ‘mempunyai keahlian khusus’ dan ’sangat dibutuhkan’ juga berpotensi multitafsir sehingga sebaiknya dihindari," tutup Anton.
