ICW Ungkap Negara Rugi Triliunan Akibat Korupsi, Rata-rata Terdakwa Dituntut dan Divonis Ringan
ICW mencatat, negara rugi Rp 62 triliun dan rata-rata terdakwa kasus tindak pidana korupsi dituntut dan divonis ringan.
BANGKAPOS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara akibat kasus korupsi tidak sebanding dengan pengembalian ganti rugi dari terpidana korupsi.
ICW juga mencatat, rata-rata terdakwa kasus tindak pidana korupsi dituntut dan divonis ringan.
Dalam catatan ICW, sepanjang tahun 2021 negara rugi Rp 62,9 triliun akibat kasus korupsi yang diusut KPK dan Kejaksaan.
Jumlah tersebut melampaui tahun 2020 (Rp 56,7 triliun).
Akan tetapi, jumlah uang pengganti yang dimintakan dari para terpidana oleh majelis hakim hanya Rp 1,4 triliun.
"Tentu sangat miris dan jomplang dengan kerugian keuangan negara Rp 62,9 triliun," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam jumpa pers virtual, Minggu (22/5/2022) dikutip dari Kompas.com.
"Dan ini belum bisa kita klaim sebagai pemulihan kerugian keuangan negara karena ada proses eksekusi oleh jaksa eksekutor yang kadang terkendala 1-2 hal sehingga bisa menyebabkan turunnya uang ganti itu," jelasnya.
Total, ada 1.078 terdakwa kasus korupsi yang divonis dengan pasal korupsi kerugian keuangan negara pada 2021.
Penjatuhan hukuman uang pengganti terbesar terdapat pada perkara yang melibatkan Maria P Lumowa, pembobol kas Bank BNI Cabang Kebayoran Baru, sebesar Rp 158,5 miliar.
Kurnia menganggap, tuntutan maupun vonis hukuman uang pengganti harus ditingkatkan pada masa mendatang.
"Karena ini berkaitan langsung dengan perekonomian negara dan juga pemulihan kerugian keuangan negara," ujarnya.
ICW menemukan, rendahnya jumlah uang pengganti ini tak terlepas dari pidana penjara pengganti pada 2021 yang jika dirata-rata hanya selama 1 tahun 2 bulan penjara.
Kurnia menyebutkan, hal ini membuat para terpidana memilih untuk menjalani pidana penjara pengganti, ketimbang harus membayar uang pengganti yang jumlahnya bisa mencapai puluhan, ratusan juta, atau miliaran rupiah.
"Kita tahu pemberian efek jera tidak cukup mengandalkan pemenjaraan tapi mesti paralel dengan pengembalian kerugian negara," kata Kurnia.
Dituntut Tak sampai 4,5 Tahun Penjara oleh KPK dan Kejaksaan
Sepanjang tahun 2021, ICW juga mencatat, rata-rata terdakwa kasus tindak pidana korupsi hanya dituntut 4 tahun 5 bulan penjara.
Ini merupakan jumlah kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan, baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana beranggapan, tuntutan semacam ini tidak memberi jera kepada para koruptor.
"Kita tahu surat tuntutan tidak berdampak langsung pada terdakwa karena hakim memutus berdasarkan surat dakwaan. Namun, dari tuntutan, kita bisa melihat perspektif penegak hukum, apalagi mereka dianggap sebagai representasi korban, yaitu dalam hal ini negara dan masyarakat," ungkap Kurnia.
Dari 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani KPK dan Kejaksaan selama 2021, ICW membagi kasus-kasus yang dikenai pasal dengan hukuman maksimum 20 tahun penjara dengan kasus-kasus yang diancam hukuman maksimum 5 tahun penjara.
"Hasilnya, yang maksimum 20 tahun, (rata-rata) tuntutannya hanya 55 bulan penjara atau 4 tahun 7 bulan. Jomplang sekali dengan kemungkinan dapat dihukum 20 tahun. Begitu pula yang (maksimum dipenjara) 5 tahun, hanya (dituntut rata-rata) 2 tahun 9 bulan penjara," jelasnya.
Berdasarkan catatan ICW, tren tuntutan kepada terdakwa koruptor pada 2021, meski masih terbilang rendah, sudah meningkat dibandingkan 2020.
Namun, ICW menganggap, hal ini masih belum memuaskan.
Pasalnya, jika upaya pembuktian KPK dan Kejaksaan telah mengakomodasi berbagai hal, mulai dari dampak korupsi yang signifikan hingga latar belakang pelaku sebagai pejabat publik, misalnya, tuntutan maksimal harus diterapkan kepada pelaku.
"Yang dituntut dari korupsi sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) adalah treatment (penanganan) yang juga luar biasa dan tidak sama dengan tindak pidana umum, termasuk di dalamnya tuntutan penegak hukum dan juga vonis majelis hakim," ungkap Kurnia.
Berdasarkan penelusuran ICW, Kejaksaan pada 2021 menuntut lebih berat ketimbang pada 2020.
Namun, hal itu tak membuat Korps Adhyaksa mengungguli KPK dalam hal jumlah kasus korupsi yang dituntut ringan (0-4 tahun penjara).
Total, Kejaksaan menuntut ringan 623 terdakwa selama 2021, sedangkan yang dituntut sedang (4-10 tahun) 587 terdakwa, dan dan dituntut berat (>10 tahun) 44 terdakwa.
"Kejaksaan dari awalnya (menuntut terdakwa koruptor rata-rata) 4 tahun naik jadi 4 tahun 6 bulan. KPK hanya naik 3 bulan, tahun kemarin 58 bulan lalu menjadi 5 tahun 1 bulan penjara (61 bulan)," ujar Kurnia.
Rata-rata Terdakwa Kasus Korupsi pada 2021 Divonis Ringan
Rata-rata kasus korupsi di Indonesia pada 2021 yang diusut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan berujung vonis ringan oleh majelis hakim.
Hal tersebut merupakan hasil riset yang dilakukan ICW berdasarkan penelusuran pada SIPP pengadilan, direktori keputusan Mahkamah Agung, dan pemberitaan daring sepanjang tahun lalu.
Total, selama 2021, terdapat 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK dan Kejaksaan, baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Negeri.
"Rata-rata hukuman penjara bagi koruptor pada 2021 hanya 3 tahun 5 bulan penjara. Angka ini naik dari 2020, tapi tetap saja, angka 3 tahun 5 bulan ini tidak menggambarkan pemberian efek jera," ungkap Kurnia Ramadhana.
"Ini tidak mengejutkan masyarakat, karena sejak Januari hingga Desember 2021, Mahkamah Agung kerap kali menghasilkan kontroversi dengan mendiskon hukuman para koruptor," lanjutnya.
Penyebab pertama, tuntutan yang dilayangkan oleh KPK dan Kejaksaan pun sudah rendah, yakni rata-rata 4 tahun 5 bulan penjara.
"(Tuntutan rendah) dikorting lagi oleh majelis hakim dalam putusan, itu yang tergambar. Tuntutan berat tadi ada 40-an orang, divonis tinggal 13 orang, itu juga dipotong majelis hakim," kata Kurnia.
Padahal, sama seperti pada penuntutan, jumlah koruptor yang divonis ringan oleh majelis hakim didominasi oleh pejabat publik.
"Sebanyak 80 persen perangkat desa diproses dihukum ringan. Lalu, 70 persen ASN dihukum ringan. Lebih dari setengah kepala daerah dan legislatif dihukum ringan," tambahnya
Kedua, sebanyak 24 terdakwa yang melakukan praktik korupsi dengan memanfaatkan anggaran penanganan pandemi Covid-19 hanya divonis 3,5 tahun penjara.
ICW menemukan, ada pergeseran pasal yang digunakan hakim dalam memvonis para koruptor selama 2021, yang membuat hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku rasuah menciut daripada tuntutan KPK dan Kejaksaan.
Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang umum digunakan untuk kasus korupsi dengan kerugian negara yang tinggi, lebih banyak digunakan KPK dan Kejaksaan dalam menuntut koruptor pada 2021.
Namun, majelis hakim lebih banyak memutus para koruptor bersalah melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang umum digunakan untuk kasus korupsi dengan kerugian negara yang tidak begitu tinggi.
Konsekuensinya, ini mengakibatkan putusan ringan kepada pelaku korupsi. Kami mencuplik beberapa tuntutan Pasal 2, diubah Pasal 3, dalam konteks penjara dan denda. Ini membuktikan bahwa tujuan majelis hakim mengubah itu adalah menghukum ringan pelaku korupsi," jelas Kurnia.
"Karena, kalau diubah menjadi Pasal 3, minimal hukumannya 1 tahun, sementara Pasal 2 (hukumannya) 4 tahun," lanjutnya.
Pengadilan Negeri Bandung tercatat sebagai pengadilan dengan jumlah vonis ringan kasus korupsi paling banyak sepanjang 2021, yakni 75 vonis ringan.
Di bawahnya adalah PN Medan dan PN Makassar sebanyak 58 vonis ringan, kemudian PN Palembang dan PN Surabaya dengan 45 vonis ringan
(Kompas.com/Vitorio Mantalean)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bangka/foto/bank/originals/20220304-ilustrasi-kasus-korupsi.jpg)