Undang-undang Lagi Dibahas, Ada Usul Pajak Kendaraan Dihapus, Gantinya Kena Pajak Saat Isi Bensin
Di tengah pembahasan Revisi RUU LLAJ, ada usul agar pajak kendaraan dihapus. Sebagai gantinya, pengendara dikenakan pajak saat isi bensin di SPBU.
BANGKAPOS.COM - Saat ini, Komisi V DPR RI tengah menyusun pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUU LLAJ).
Di tengah pembahsan itu, ada usul agar pajak kendaraan dihapus.
Sebagai gantinya, pengendara dikenakan pajak saat isi bensin di SPBU.
Usulan agar pajak kendaraan dihapus dan diganti dengan pajak saat isi bensin tersebut disampaikan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Tulus mengusulkan pajak kendaraan dihapus dan dialihkan ketika pemilik kendaraan membeli bahan bakar minyak (BBM).
Usulan itu ditujukan kepada Komisi V DPR RI yang saat ini tengah melakukan penyusunan pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (RUU LLAJ).
"Kami mengusulkan dana preservasi ini bisa dipungut saat konsumen membeli BBM. Saya kira lebih adil
ketika konsumen membeli BBM dikenakan dana preservasi," ujar Tulus dalam keterangannya, Senin (6/6/2022).
Baca juga: Hindari Kebocoran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Akademisi: Perketat Pengawasan di Lapangan
Tulus menambahkan, pajak kendaraan bisa dihapus dan dialihkan pada saat membeli BBM agar tidak terjadi dobel pungutan.
Dia menyebutkan selama ini pemerintah kesulitan menaikkan harga BBM karena tingkat konsumsi masyarakat nyaris tidak terkendali.
Dengan adanya peralihan ke pembelian BBM, hal itu akan mengendalikan tingginya konsumsi masyarakat terhadap BBM.
Dengan terkendalinya konsumsi BBM secara langsung akan menekan tingkat pencemaran yang disebabkan oleh kendaraan.
Selain itu, melalui pembelian BBM itu nantinya pengelolaan dana preservasi jalan akan lebih maksimal.
Harga BBM Ancam APBN
Sementara itu, di tengah peningkatan harga energi global, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menahan harga energi dalam negeri, seperti bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan LPG 3 kg.
Konsekuensinya anggaran subsidi energi dan kompensasi energi melonjak.
Namun, Kepala Ekonom Citibank Indonesia Helmi Arman mengingatkan, pemerintah tak bisa selamanya melakukan hal ini.
Pasalnya, ini justru akan membawa risiko terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke depan.
“Bila pemerintah memutuskan tetap menjaga harga BBM setidaknya sampai 2024 atau sebelum pemilu,
ini malah membawa risiko terhadap APBN,” tutur Helmi dalam bincang bersama dengan Bank Pembangunan Asia (ADB), Rabu (8/6) secara daring.
Baca juga: Kontribusi Penerimaan Negara, Kuartal 1 TINS Setor Pajak Rp267,8 Miliar
Untuk saat ini, memang saat harga minyak naik, harga komoditas lain ikut naik.
Ini kemudian juga membawa potensi pendapatan yang lebih besar bagi Indonesia, baik itu dari pendapatan perpajakan maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Namun, bila pemerintah tetap ingin menahan harga BBM dalam negeri tetap stabil selama beberapa waktu ke depan, tetapi harga komoditas non migas mengalami normalisasi, maka bisa membawa risiko pada APBN karena akan besar pasak daripada tiang.
“Kalau skenario harga minyak tetap tinggi, tetapi harga non minyak kemudian turun. Pemerintah
mungkin makin terbatas ruang untuk menggelontorkan subsidi. Karena, pendapatan juga berpotensi
menurun. Ini merupakan skenario yang berisiko,” jelas Helmi.
Baca juga: Pertamina Setor Pajak Rp145,5 miliar, Satgas Pajak Optimalkan PBBKB Tiga Perusahaan Swasta
Helmi mengimbau pemerintah tetap waspada dan melihat perkembangan ke depan.
Langkah yang diambil haruslah langkah yang hati-hati dan tetap harus menjaga kestabilan dan pergerakan anggaran dalam negeri.
Namun sejauh ini, ia sangat mengapresiasi langkah pemerintah untuk menjaga harga energi dalam negeri.
Pasalnya, ini akan menjaga daya beli masyarakat dan bermuara pada penguatan pertumbuhan ekonomi domestik. (*/Tribunnews/Kontan)